Bekas Tambang Ilegal Semburkan Lumpur

Rabu, 16 Januari 2019 - 21:20:06


Semburan Lumpur dari Tambang Minyak di Unit 7, Desa Bukit Subur, Kecamatan Bahar Selatan
Semburan Lumpur dari Tambang Minyak di Unit 7, Desa Bukit Subur, Kecamatan Bahar Selatan /

Radarjambi.co.id - SENGETI – Warga Unit 7, Desa Bukit Subur, Kecamatan Bahar Selatan, Kabupaten Muaro Jambi dikejutkan dengan peristiwa semburan lumpur di salah satu kebun kelapa sawit di desa tersebut.

Informasi yang diperoleh, semburan lumpur tersebut berasal dari lubang bekas tambang minyak ilegal. Semburan itu pertama kali terjadi Selasa (15/1) kemarin sekira pukul 12.30 WIB.

Kasat Intelkam Polres Muari Jambi AKP Dastu Gutiawan saat dikonfirmasi membenarkan temuan tersebut, dan mengatakan bahwa polisi langsung melakukan pemasangan police line untuk mengamankan lokasi.

"Di sekitar lokasi telah kami amankan dengan memasang police line. Kami meminta warga untuk tidak mendekat hingga diketahui jenis material yang disemburkan," ujar Dastu, Rabu (16/1).

Lebih lanjut Dastu mengatakan, atas kejadian ini pihak kepolisian langsung melakukan koordinasi dengan instansi terkait, yaitu Dinas ESDM Provinsi Jambi dan pihak Pertamina.

"Kami sudah koordinasi dengan ESDM Provinsi Jambi dan mereka sepakat akan melakukan tinjauan ke lokasi dan mereka juga akan berkoordinasi dengan pihak Pertamina untuk mengetahui apakah lokasi itu milik Pertamina atau bukan," pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Muaro Jambi Firmansyah, saat dikonfirmasi juga mengakui adanya kejadian tersebut.

Terkait kejadian ini, Firmansyah mengatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan kepolisian.
“Saya telah mendapatkan informasi tersebut. Setahu kami itu adalah bekas tambang ilegal. Material yang disemburkan adalah clay atau lumpur bercampur air dan juga mengandung gas Metan sehingga ada semburan, berbau busuk karena juga ada kandungan tanaman yang telah membusuk," terang Firmansyah.

Lebih lanjut Firman mengatakan, ia memprediksi semburan ini tidak akan berlangsung lama. Paling lama hanya 7 hari dan tidak berbahaya serius bagi lingkungan.

"Kami juga akan ikut melakukan peninjauan lapangan melihat apa yang terjadi,” tandasnya.

 

 

Reporter : Ansori