Sartana,
Radarjambi.co.id-Beberapa hari terakhir, beranda media sosial dipenuhi gambar perusakan alam akibat penambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat. Salah satu foto memperlihatkan bukit yang digali habis-habisan untuk eksploitasi tambang. Peristiwa ini menyita perhatian publik karena terjadi di kawasan konservasi laut dan darat yang diakui dunia.
Namun Raja Ampat bukan satu-satunya. Di luar sorotan media, kerusakan lingkungan terus berlangsung di berbagai penjuru Indonesia, sering kali dengan skala lebih luas dan dampak lebih serius.
Data Global Forest Watch menunjukkan bahwa antara 2001 dan 2023, Halmahera Tengah kehilangan sekitar 27.900 hektar tutupan pohon. Halmahera Timur kehilangan 56.300 hektar, dan Halmahera Selatan 79.000 hektar.
Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi melaporkan bahwa sepanjang 2021 saja, sekitar 6.968 hektare hutan di Sumatera Barat rusak. Sementara itu, Forest Declaration Assessment (Fda) menyebutkan bahwa pada tahun 2023, Indonesia kehilangan sekitar 1,18 juta hektare tutupan hutan.
Kerusakan itu tidak hanya terjadi di daratan, tetapi juga di laut. Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (2023) mencatat bahwa sekitar 33,82% terumbu karang di Indonesia mengalami kerusakan atau dalam kondisi kurang baik.
Yang tak kalah mengkhawatirkan adalah kerusakan yang kerap dianggap biasa, seperti konversi lahan pertanian menjadi kawasan permukiman, atau penebangan pohon secara sporadis. Jika dibiarkan, semua itu mempercepat krisis ekologis.
Berbagai kerusakan alam tersebut membawa konsekuensi serius. Ia potensial memicu bencana, mengganggu stabilitas ekonomi, mempercepat perubahan iklim, mengikis keanekaragaman hayati, dan memperburuk krisis sumber daya. Namun ada satu dampak lain yang jarang dibicarakan, padahal sangat penting, yaitu dampaknya terhadap nasionalisme.
Kerusakan alam itu memengaruhi cara kita membayangkan dan merasakan diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Sebab alam bukan sekadar sumber daya ekonomi, melainkan juga sumber makna yang membentuk identitas kolektif.
Kondisi geografis dan bentang alam merupakan bagian penting dari konstruksi nasionalisme. Keindahan dan kekayaan alam menjadi alasan utama mengapa kita mencintai dan bangga terhadap negeri ini.
Peran sentral alam dalam nasionalisme tercermin dari respons masyarakat ketika wilayah Indonesia diganggu oleh negara lain. Banyak orang rela mempertaruhkan segalanya demi membela tanah air. Hal ini tidak hanya dilandasi oleh kewajiban hukum, tetapi juga oleh keterikatan batin dengan tanah dan air yang mereka anggap sebagai bagian dari dirinya sebagai bangsa.
Penelitian saya menunjukkan hal serupa. Para peserta menempatkan alam sebagai unsur utama dalam identitas nasional mereka. Ketika ditanya siapa mereka sebagai bangsa, banyak yang menggambarkan Indonesia sebagai negeri kepulauan yang luas, subur, dan indah.
Mereka menjadikan keunggulan alam sebagai alasan utama rasa bangga menjadi warga negara Indonesia. Bagi mereka, alam adalah sumber cinta, kebanggaan, dan keterikatan emosional.
Namun seluruh imajinasi itu kini terancam terkikis. Ketika alam rusak, gambaran positif tentang Indonesia ikut memudar. Kita mulai membayangkan negeri ini bukan lagi sebagai tanah air yang kaya dan indah, tetapi sebagai pemandangan penuh luka yang menyedihkan. Kondisi demikian memunculkan perasaan malu, sedih, khawatir, bahkan cemas. Dan ikatan emosional kita terhadap tanah air pun potensial melemah.
Itu menunjukan bahwa dari peristiwa kerusakan alam, yang rusak bukan hanya bukit, hutan, atau terumbu karang, tetapi juga simbol dan makna kebangsaan yang hidup di dalamnya. Imajinasi tentang Indonesia sebagai tanah yang memberi kehidupan digantikan oleh citra kehancuran yang menyakitkan.
Oleh karena itu, merawat alam bukan sekadar kewajiban ekologis. Ia adalah bagian dari menjaga identitas bangsa. Sebaliknya, ketika kita merusak alam, kita tidak hanya menggerogoti sumber daya, tetapi juga melemahkan rasa kebangsaan, dan menghancurkan masa depan.
Jika kerusakan ini terus berlangsung, maka yang kita wariskan bukan hanya lingkungan yang tercemar, tetapi juga nasionalisme yang rapuh. Generasi mendatang mungkin tidak lagi membayangkan Indonesia sebagai negeri yang indah dan membanggakan, melainkan sebagai tanah air yang penuh luka. Dalam situasi semacam itu, nasionalisme kehilangan pijakannya.
Karena itu, jika kita sungguh ingin mempertahankan Indonesia, maka kita harus menjaga alam Indonesia. Nasionalisme tidak tumbuh dari slogan dan upacara semata. Ia berakar pada tindakan nyata yang melindungi tanah tempat kita berpijak dan laut tempat kita bernapas sebagai bangsa.(*)
Penulis : Sartana, M.A. Dosen Psikologi di Departemen Psikologi Universitas Andalas