Reyhan Syahru Ramadhan

Kampusnya Bersih, Tapi Hatinya?

Posted on 2025-06-20 11:26:08 dibaca 103 kali

Radarjambi.co.id-Menelusuri Parodi Kesadaran Mahasiswa Melalui Permasalahan Sampah di Universitas Andalas

Di balik penampilan kampus yang teratur dan hijau, ada sebuah pertanyaan penting: apakah kebersihan area kampus mencerminkan kesadaran penghuninya terhadap lingkungan? Pertanyaan ini menjadi latar belakang penelitian menarik yang kami lakukan dari Kelompok 7 Mahasiswa Universitas Andalas.

Kami mengangkat tema yang sering dianggap remeh, tetapi dampaknya sangat signifikan: yaitu tentang masalah sampah.

Penelitian ini tidak hanya memberikan data, tetapi juga memperlihatkan sisi sosial mahasiswa dengan jujur.

Menggunakan metode kuantitatif deskriptif, kami menyebar kuesioner kepada 10 mahasiswa dari berbagai fakultas untuk menilai tingkat kesadaran dan perilaku mereka dalam pengelolaan sampah. Meskipun jumlah responden tidak besar, hasilnya cukup mengejutkan.

Sekitar 90,9% responden mengakui bahwa sampah adalah permasalahan serius. Namun, hanya 9,1% yang mengatakan bahwa mereka selalu memilah sampah. Ini bukan sekedar angka ini mencerminkan ketidaksesuaian antara kesadaran intelektual dan tindakan nyata.

Sering kali mahasiswa mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, tetapi tetap tidak peduli. Apakah ini disebabkan oleh kurangnya fasilitas? Atau karena kebiasaan “asal buang” yang terus dibiarkan?

Sampah: Lebih dari Sekadar Isu Fisik

Masalah sampah bukan sekadar berkaitan dengan kebersihan. Ini adalah isu etika sosial.

Ketika seseorang membuang sampah sembarangan, itu bukan hanya masalah penampilan, tetapi juga menunjukkan sikap terhadap ruang publik dan tanggung jawab sosial.

Dalam konteks kampus, kondisi ini semakin rumit. Mahasiswa yang dilatih untuk menjadi pemimpin masa depan, namun masih saja banyak yang memilih untuk tidak bertindak saat melihat temannya membuang sampah sembarangan. Bahkan mayoritas responden dalam studi ini memilih untuk tidak menegur.

Mengapa sikap tidak aktif ini bisa berkembang? Mungkin karena budaya kolektif yang membiarkan, di mana keteraturan tidak dianggap sebagai tanggung jawab individu.

Atau bisa juga karena tidak adanya sistem penghargaan dan konsekuensi yang jelas dari pihak kampus. Dalam penelitian, 45,5% responden menyebut rendahnya kesadaran mahasiswa sebagai masalah utama.

Sementara itu, yang lain menyoroti kurangnya fasilitas (36,4%) dan pengetahuan yang minim mengenai pengelolaan sampah (18,2%).

Padahal, Universitas Andalas sebenarnya sudah memiliki infrastruktur kebersihan. Namun, sebagaimana yang biasa terjadi, fasilitas tanpa dukungan budaya hanya akan menjadi benda mati.

Tempat sampah yang terpisah memang ada, tetapi tidak semua orang menggunakannya. Dalam survei, hanya 27,3% responden yang mengaku selalu menggunakan fasilitas tersebut. Sebagian besar lainnya mengatakan jarang atau kadang-kadang saja.

Edukasi dan Budaya Baru: Jalan Menuju Kampus Hijau

Solusi tidak hanya berkaitan dengan tempat sampah dan petugas kebersihan. Lebih dari itu, edukasi menjadi inti dari perubahan.

Dalam penelitian ini responden menilai bahwa edukasi adalah kunci utama. Tidak hanya sekadar penyuluhan, tetapi pendidikan yang berkelanjutan, yang menyentuh nilai, dan terintegrasi dalam kegiatan kampus sehari-hari.

Edukasi lingkungan tidak hanya menjadi tanggung jawab fakultas teknik atau biologi. Ini harus menjadi kewajiban Bersama terintegrasi dalam orientasi mahasiswa baru, kegiatan organisasi, hingga konten kampanye digital kampus.

Ketika mahasiswa tidak hanya menyadari bahwa sampah adalah masalah, tetapi juga merasa memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikannya, perubahan dapat dimulai.

Pendekatan ini harus disertai dengan penguatan sistemik: adanya peraturan yang jelas, pengawasan yang konsisten, konsekuensi untuk pelanggaran, serta penghargaan bagi mereka yang peduli. 

Paradoks Kebersihan: Nyaman di Luar, Diam di Dalam

Uniknya, ketika diminta untuk mengevaluasi kebersihan kampus, semua responden, yaitu 100%, menyatakan bahwa keadaan kampus dalam keadaan bersih.

Tidak ada yang menyebutkan bahwa kampus dalam kondisi kotor, apalagi sangat kotor. Hal ini menunjukkan bahwa secara visual, kampus terasa nyaman.

Namun, di balik kenyamanan tersebut masih ada budaya pembuangan sampah yang tidak tertib.

Kebersihan kampus tercapai karena adanya petugas yang bekerja untuk membersihkan. Akan tetapi, jika kesadaran bersama di kalangan mahasiswa belum terbangun, maka kebersihan kampus ini bukanlah hasil partisipasi, melainkan hasil dari proses pembersihan yang dilakukan.

Inilah yang menjadi paradoksnya. Kampus yang tampak bersih dapat saja menyimpan masalah yang lebih serius, seperti ketergantungan pada tenaga kebersihan dan rendahnya rasa kepemilikan dari penggunanya.

Kesimpulan: Sampah Bukanlah Masalah, Melainkan Cermin

Lebih dari sekadar barang kosong, sampah itu adalah refleksi dari sikap kita terhadap ruang publik, cara kita memandang tanggung jawab sosial, serta penilaian kita terhadap hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari.

Jika mahasiswa tidak peduli dengan sampah, jangan harap mereka akan memperhatikan isu-isu lingkungan yang lebih besar.

Melalui penelitian ini, kami dari anggota kelompok 7 Universitas Andalas telah memberikan lebih dari sekadar data, tetapi juga sebuah refleksi.

Refleksi yang menunjukkan bahwa perubahan besar selalu diawali dengan kebiasaan-kebiasaan kecil. Bahwa tanggung jawab terhadap lingkungan bukanlah sebuah proyek jangka pendek, melainkan budaya yang harus ditanamkan.

Oleh karena itu, kampus yang bersih bukan hanya berkaitan dengan kebersihan lantai. Tetapi juga menyangkut hati mahasiswa — yang peduli, sadar, dan beraksi.(*)

 

 

 

Penulis: Reyhan Syahru Ramadhan Mahasiswa Universitas Andalas 

Copyright 2018 Radarjambi.co.id

Alamat: Jl. Kol. Amir Hamzah No. 35 RT. 22 Kelurahan Selamat Kecamatan Danau Sipin Kota Jambi, Jambi.

Telpon: (0741) 668844 / 081366282955/ 085377131818

E-Mail: radarjambi12@gmail.co.id