Iis Suwartini
Radarjambi.co.id-Pada tanggal 22 Oktober diperingati sebagai hari santri. Peringatan tersebut merupakan momentum untuk mengenang perjuangan kaum santri dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Nilai-nilai luhur yang tercermin pada santri perlu kita renungkan kembali. Sikap Takdim atau penghormatan kepada ulama dan guru merupakan salah satu bentuk karakter santri. Sayangnya sikap takdim kini justru kerap disalah artikan bahkan dianggap bentuk feodalisme.
Sejatinya sikap takdim bukanlah tunduk karena kedudukan, melainkan bentuk penghormatan para ulama dan guru sebagai penyalur ilmu. Dalam konteks kekinian, semangat takdim perlu dipupuk untuk meminimalisasi penyakit sosial dalam dunia pendidikan.
Lunturnya sopan santun, mudahnya menghujat guru, dan menurunnya wibawa lembaga pendidikan menjadi permasalahan yang belakangan ini kerap terjadi. Bahkan tidak sedikit orang tua yang ingin memenjarakan guru karena memberikan hukuman pada anak yang melanggar tata terbit sekolah. Padahal hukuman yang diberikan untuk menertibkan siswa agar terhindar dari perilaku amoral.
Hari Santri menjadi momentum mengembalikan makna takdim sebagai pilar pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan upaya sistematis untuk menanamkan nilai-nilai moral, etika, serta budi pekerti luhur kepada peserta didik, agar mereka berkembang menjadi individu yang berintegritas dan berperilaku mulia. Untuk itu, pendidikan karakter perlu di pupuk dan dijaga agar melahirkan generasi bangsa yang bermartabat.
Adapun upaya yang dapat dilakukan sebagai berikut. Pertama, adanya panutan ulama dan guru yang menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam hidup bermasyarakat. Kedua, integrasi nilai adab dalam kurikulum dan kegiatan harian. Di pesantren, santri dibiasakan mencium tangan guru, memberi salam dengan sopan, dan menjaga tutur kata.
Ketiga, melibatkan orang tua dalam pendidikan adab. Sikap menghormati ulama dan guru harus ditanam sejak di rumah. Orang tua perlu menanamkan pada diri anak bahwa guru dan ulama adalah sosok yang harus dihormati.
Bukan sebaliknya ketika anak diberi hukuman karena melanggar peraturan justru tidak terima. Keempat, menanamkan kesadaran spiritual tentang sumber ilmu. Ulama dan guru merupakan perantara yang menyampaikan ilmu dari Allah sehingga perlu menghormatinya.
Maka takdim akan lahir bukan dari paksaan, melainkan dari kesadaran iman. Dengan begitu sikap takdim kepada ulama dan guru akan tetap terjaga sebagai identitas santri.
Semangat Hari Santri harus menjadi pengingat bagi kita semua bahwa adab lebih tinggi dari pada ilmu. Santri yang beradab akan melahirkan generasi bangsa yang bermartabat.Takdim kepada guru bukanlah bentuk feodalisme, melainkan wujud penghormatan terhadap sumber ilmu dan peradaban. Dengan meneladani sikap takdim, kita meneguhkan kembali jati diri bangsa yang berakar pada nilai luhur budaya bangsa. “Dari Santri Beradab, Lahir Generasi Bermartabat.”.(*)
Penulis : Iis Suwartini, M.Pd. dosen Universitas Ahmad Dahlan mahasiswa S3 UNS