Oleh: Acep Syahril (Seniman Jambi tinggal di Indramayu)
Pagi itu Sabu 12 Maret 1994, pukul 9.00 aku datang ke rumah Mbah (Wiro A Sanie), di Lorong Sikam Jambi, pagi itu rencananya aku mau meneruskan tulisanku yang membahas puisi-puisi Dimas Arika Mihardja,”Upacara Gerimis”. Hampir dua jam lebih aku menunggu di teras rumahnya (di Lorong Sikam) Jambi, kadang tiduran kadang baca buku dan kadang mengintip dari kaca jendela transparan itu. Di ruang tengah yang agak memanjang hanya ada gitar, partitur, tikar pandan, beberapa gelas kopi dan asbak rokok yang sudah penuh.
Beberapa waktu kemudian, sekira pukul 11.45 aku mendengar suara pintu kamar dibuka menyusul sosok tubuh krempeng tinggi (bungkuk udang) dengan rambut diikat sekenanya, Mbah. Ya….itulah Wiro A Sanie yang sejak mengenalnya sudah melekat panggilan Mbah itu padanya.
Lalu dengan buru-buru aku berdiri mendekati pintu sembari mengetuk dan melemparkan senyum. Mbah membalasnya dan membukakan pintu untukku.
“Maaf kito tadi malam begadang sampai jam tigo. Sudah lamo yo….hehehehe,” sambutnya lalu berjelan ke kamar mandi.
Tanpa ba bi bu aku langsung ke ruang belakang mengambil mesin tik dan melanjutkan tulisan kemarin. Tak berapa lama Mbah keluar kamar mandi, bikin kopi dua gelas. Begitulah setiap kali aku ke rumahnya, jarang sekali aku bikin kopi sendiri.
Sosok yang sangat akrab, ramah dan dekat dengan semua orang. Yang lebih sangat luar biasa lagi sejak aku mengenalnya, aku tidak pernah melihat Wiro A Sanie marah.
Aku mengenal Wiro dari Iif Ranupane sekiat tahun 1983, sejak perkenalan itu aku sering main dan tidur di rumahnya. Kadang sendirian tapi lebih sering waktu itu dengan Iif dan Thomas Herus Sudradjat. Setiap kami datang ke rumahnya, Wiro selalu sedang berada di ruang belakang, menulis (membuat aransmen lagu-lagu daerah). Dan orang ini tidak pernah diam.
Secara pribadi aku sangat menghormati beliau, karena dedikasinya dalam berkesenian sudah sangat teruji, walaupun secara dokumentatif aku tidak pernah pernah melihat karya-karyanya yang telah dia sumbangkan untuk Jambi selama ini. Namun paling tidak aku sudah mendapatkan banyak informasi soal perannya di dunia musik dari tgingkat regional, nasional dan internasional yang dia persembahkan untuk Jambi.
Idealismenya dalam berkesenian bukan tanpa alsan, dan sepengatahuanku belum ada ada orang yang bisa menyeretnya ke luar dari link atau gaya berkeseniannya selama ini. wiro A Sanie memilih suntuk bergulat secara total di musik, melatih, mengajar dan atau membuat atau mempersiapkan aransmen lagu-lagu.
Siapapun orangnya yang pernah terlibat di dunia musik sejak paruh 70-an dari mulai vocal group, pop song, paduan suara, band, musik daerah, sampai klasik dan sejenisnya. tidak ada yang tidak kenal sosok Wiro A Sanie. Kalaupun tidak langsung atas sentuhan tangannya, paling tidak mereka mengenal sosoknya uang unik tersebut.
Keunikan Miro A Sanie bukan hanya pada fisik dan kehidupan bohimnya, tapi juga indra pendengarannya yang sudah menyatu dengan bunyi yang kadang bisa membuatnya sakit kepala ketika mendengar suara musik dari biola, gitar, sakshopon, piano atau berbagai jenis alat musik apapun yang diaminkan seseorang tidak tepat dengan matnya.
“Sakit pala’ kito kalau ada orang yang memainkan alat musik da tepat mat-nyo. Nak marah kito da biso, nak ngasih tau kage dia tersinggung. Lebih bae’ kito tinggalin bae,” seperti itulah kira-kira dia pernah menyampaikan soal kepekaan indra pendengarannya.
Dan pernah suatu kali aku mendengar Wiro, musisi dari afrika (kalau tidak salah) yang dibawa Iif. Lalu mereka bertiga memainkan gitar di kediaman Wiro, saat itu aku menyaksikan mereka seperti hanyut dan trend dengan permainannya.
Disini yang aku nilai bukan cara mereka memainkan alat musik tapi lebih pada ketotalitasan mereka dalam menghormati disiplin belajar dan menguasai musik sebagai suara dunia.
Hampir 20 tahun kami jarang melakukan kontak, tapi melalui Mang Alloy atau Sakti Alam Watir aku sering menanyakan keberadaannya, sampai kemudian dia menikah. Dan kabar menikahnya Wiro sedikit membuatku bertanya-tanya selain ada rasa senang dan lucu. Sebab aku kira selama ini menikah baginya dianggap sebagai hal yang tabu. Makanya banyak pertanyaan yang muncul di benakku ketika mendengar kabar itu.
Dan kemarin malam aku mendapatkabar kalau beliau di jemput pulang keharibaan Illahi Robby, semoga Allah memberinya tenpat yang mulya. Selamat jalan sahabat.**
KPU Gelar Debat Publik Kedua Calon Bupati dan Wakil Bupati Merangin