Panic Buying saat Pandemi, Salah Siapa?

Rabu, 14 Juli 2021 - 20:56:48


Agusti Oktania Zulfa
Agusti Oktania Zulfa /

Radarjambi.co.id-Sejak ditemukannya virus varian baru yaitu SARS-Cov-2 atau yang lebih dikenal dengan Covid-19, seluruh tatanan dunia berubah total.

Para stake holder atau pemangku kebijakan pun meminta masyarakat untuk mengikuti berbagai protokol kesehatan seperti memakai masker, rajin mencuci tangan dengan sabun, serta menjaga jarak, makan makanan bergizi, serta rajin berolahraga.

Semua hal ini dilakukan guna untuk memutus rantai penyebaran virus corona serta menurunkan morbiditas dan mortalitas dari adanya virus ini.

Tak hanya itu, pada awal masa pandemi Covid-19 di tahun 2020 pemerintah juga membuat kebijakan terkait lock down atau membatasi kegiatan masyarakat di rumah.

Kebijakan pemerintah terkait pelaksanaan protokol kesehatan dan lock down ini memiliki dampak positif dan negatif.

Dampak positifnya yaitu masyarakat menjadi lebih paham dalam mengimplementasikan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) yang selama ini gencar di gaungkan oleh para tenaga kesehatan namun masih kurang dalam praktiknya.

Sedangkan dampak negatifnya yaitu adanya golongan masyarakat tertentu yang memiliki sikap impulsif dalam membeli barang atau bahan hingga akhirnya terjadilah “panic buying”.

Istilah panic buying ini merujuk pada masyarakat yang cenderung membeli bahan atau barang dalam jumlah yang sangat besar dengan maksud untuk mencegah atau mengantisipasi hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.

Seperti yang kita tahu saat awal pandemi korona secara resmi telah masuk ke Indonesia masyarakat berbondong-bondong membeli masker medis dan hand sanitizer hingga belasan bahkan puluhan kardus untuk disimpan dan digunakan secara pribadi.

Akibatnya, stok masker di pasaran menipis bahkan kosong, serta harganya melambung tinggi.

Hal tersebut mengakibatkan  tenaga kesehatan yang sangat membutuhkan masker sebagai alat pelindung diri (APD) kesulitan untuk memperolehnya.

Kejadian panic buying ini pun terulang kembali pada tahun 2021. Seperti yang kita tahu saat ini baik di media massa maupun media sosial ramai dibicarakan terkait tingginya, daya beli masyarakat terhadap suatu jenis susu merk tertentu yang dipercaya dapat menyembuhkan Covid-19.

Sama seperti masker dan hand sanitizer, stock susu merk ini pun menjadi langka di pasaran dan harganya dapat dikatakan tidak masuk akal untuk satu kaleng susu.

Pada hakikatnya, sesuatu yang berlebihan sifatnya tidak baik. Fenomena panic buying yang terjadi di masyarakat dapat menjadi contoh bahwa masih banyak masyarakat yang cenderung langsung memercayai suatu informasi tanpa menelaah lebih lanjut.

Seperti misalnya fenomena kelangkaan suatu jenis merk susu tertentu di pasaran yang disebabkan oleh viralnya konten di media sosial yang mengatakan bahwa susu tersebut dapat menyembuhkan Covid-19 secara cepat.

Padahal apabila masyarakat mau mencari tau kebenarannya, semua jenis susu pada dasarnya memiliki nilai gizi yang tidak jauh berbeda.

Selain itu, untuk mencegah dan menyembuhkan Covid-19 zat gizi yang diperlukan tidak hanya yang terdapat dari jenis susu tersebut saja.

Diperlukan juga asupan zat gizi lain yang tak kalah penting seperti protein, vitamin C, vitamin D, dan zinc yang banyak terkandung dalam sayur dan buah-buahan. 

Dari kejadian panic buying ini kita dapat mengtahui bahwa masyarakat cenderung kurang mendapatkan edukasi yang baik dan benar.

Oleh karena itu penting dilakukan edukasi kepada masyarakat luas supaya mencari dan menelaah lebih lanjut informasi yang didapatkan.

Dengan hal tersebut diharapkan tidak ada lagi fenomena panic buying yang disebabkan karena kurangnya minat masyarakat untuk meninjau lebih lanjut informasi yang didapatkannya. (***)

 

Penulis   : Agusti Oktania Zulfa, dari prodi pendidikan bahasa inggris, universitas ahmad dahlan.