Radarjambi.co.id-Marhaban Ya Ramadan. Merantau untuk bekerja atau belajar adalah sebuah pilihan. Karena, pada akhirnya akan bertemu disatu titik yang sama bernama kesabaran.
Apalagi di momen-momen tertentu yang bisa mengorek ingatan lama kembali menyapa. Ya, seperti momen bulan suci Ramadan sekarang ini.
Bulan Ramadan yang biasanya dijalani bersama keluarga, kini anak rantau dipaksa oleh keadaan agar mampu menjalani sendiri.
Di dunia perantaun kita dituntut untuk mengirit, bukan bermaksud untuk pelit, tetapi meminimalisir hal-hal sulit yang datang melilit. Mie instan, minuman bersereal, dan roti tawar adalah senjata andalan, berbeda jika menjalani Ramadan di rumah.
Di mana kita tidak perlu merasa khawatir akan berbuka dengan apa dan sahur dengan apa. Akhir bulan pun tidak akan menjadi suatu peringatan horor yang menghantui setiap tahunnya.
Namun, kita tidak boleh memandang sebelah mata. Hidup di perantauan dan menjalani Ramadan sendirian bukanlah hal yang terkutuk dan buruk.
Dari sini kita bisa belajar, bahwa dengan menjalankan puasa bulan suci Ramadan di perantauan, kita bisa tahu tradisi-tradisi luar daerah dan hal-hal baru yang sebelumnya tidak ada atau bahkan berbeda dari tempat asal kita.
Sangat disayangkan hal-hal kecil seperti ini sering terabaikan, karena kebanyakan dari mereka menganggap puasa tanpa keluarga adalah sebuah cobaan yang cukup sedih untuk dijalani.
Memang benar kalau itu adalah cobaan, tetapi cobalah untuk melihat ke arah yang berbeda. Tidak selamanya Ramadan di perantauan lekat dengan kesedihan, kebahagiaan juga berhak untuk dirasakan.
Penguat Karakter
Puasa tanpa ditemani keluarga ataupun ditemani sama-sama akan menjadikan kita sebagai manusia yang memiliki jiwa sabar dan tegar, karena pada dasarnya bahwa puasa memang melatih kestabilan emosi dan kemampuan untuk menahan diri dari rasa haus, lapar, dan yang membatalkan puasa.
Sebab, “Puasa adalah separuh dari kesabaran.” (HR Abu Dawud). Sebenarnya tidak hanya di bulan suci Ramadan saja kita harus bersabar, baiknya sikap sabar itu harus selalu ada pada diri kita di mana pun dan kapan pun.
Di samping sabar, sikap ikhlas juga perlu dimiliki oleh kita. Apalagi sebagai mahasiswa dari luar kota dan para pekerja yang jauh dari orang tua, tentunya perlu kesabaran dan keikhlasan yang mutlak dalam menjalani Ramadan yang berkah ini.
Karena, “Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya ujian, dan bahwa Allah SWT, apabila menyayangi atau mencintai suatu kaum, maka Allah SWT akan mengujinya, dan bagi siapa saja ridha, maka baginya keridhaan dari Allah SWT, dan barang siapa yang membenci, maka baginya kebencian dari Allah SWT.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Maka untuk menghilangkan pemikiran-pemikiran yang menyebabkan munculnya rasa sedih karena Ramadan di perantauan dan sendirian, ada beberapa cara yang bisa dilakukan.
1) Meskipun dalam keadaan sibuk, luangkanlah waktu untuk mengaji.
Sebab, amalan unggul ini dapat menenteramkan jiwa, menghilangkan rasa gundah, dan stres.
2) Membaca buku atau sebagainya yang dapat meningkatkan keimanan dan menambah pengetahuan.
3) Hadir dalam majelis, karena selain mendapat ilmu, banyak keutamaan-keutamaannya.
4) Berolahraga. Meskipun dalam keadaan puasa bukan berarti tidak melakukan aktivitas fisik. Dengan ini, mudah-mudahan teman-teman dapat memahami, bahwa menjalani puasa Ramadan di perantauan tak jauh berbeda ketika di rumah.
Lihatlah kembali sisi kebahagiaan sederhana di perantauan yang kita anggap bencana, tidak semestinya hanya menyimpan duka, tentu juga suka. (***)
Penulis : Nur Khofifah
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Tingkatkan Perlindungan Konsumen, Satgas PASTI Lakukan Soft Launching Indonesia Anti-Scam Centre