Implementasi Pendidikan Karakter Wujud Ketahanan Identitas Nasional

Senin, 26 Desember 2022 - 20:26:22


Syafrillah najjar
Syafrillah najjar /

Radarjambi.co.id-Gaya hidup masa kini pada dasarnya mencerminkan dominasi dari paradigma kehidupan modern yang semakin berpusat pada manusia (anthroposentrisme).

Paradigma ini telah menggiring bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia, pada gairah eksploitasi sumberdaya secara berlebihan dengan kurang memperhatikan kelestarian lingkungan hidup dan nilai-nilai luhur yang hidup di masyarakat.

Hubungan antara manusia dengan alam diwarnai oleh egoisme manusia untuk mengeksploitasi, menguasai, dan mengendalikan.

Egoisme tersebut tumbuh subur baik dalam masyarakat yang individualistik maupun komunalistik dan telah mampu mendorong kemajuan teknologi, hingga mencapai satu taraf yang di satu sisi semakin mendorong kemajuan iptek dan di sisi yang lain telah menciptakan kesenjangan-kesenjangan sosial, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat.

Kesenjangan-kesenjangan tersebut menyimpan potensi konflik baik horizontal maupun vertikal yang mampu menggerus nilai-nilai luhur dari karakter bangsa khususnya Indonesia.

Penataan kembali pendidikan karakter bangsa diperlukan tidak hanya karena infrastruktur kebangsasaan, kenegaraan, dan kemasyarakatan yang rawan krisis, melainkan juga karena dinamika perubahan tatanan dunia dengan semakin menguatnya arus globalisasi (arus orang, modal, barang, jasa, informasi, gaya hidup, nilai-nilai, budaya, lintas batas negara).

Globalisasi, otonomi daerah, ketersediaan sumberdaya alam secara terbatas, degradasi lingkungan, degradasi moral dan intelektual serta potensi konflik antar kelompok (ras, suku, agama) telah menciptakan berbagai krisis multi dimensi dalam konteks yang komplek.

Karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti, perilaku dan watak. Karakter inilah yang membedakan antara individu satu dengan individu lain di dunia ini.

Bagaimanapun juga, karakter adalah kunci keberhasilan dari setiap orang yang merupakan faktor penentu keberhasilan bangsa dan negara dalam menyiapkan masa depannya.

Bagi Indonesia sekarang ini, pendidikan karakter juga berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sistematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkan karakter.

Lickona (1992) menjelaskan beberapa alasan perlunya Pendidikan karakter, di antaranya :

(1) Banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral.

(2) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama.

(3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orangtua, masyarakat, atau lembaga keagamaan.

(4) masih adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab.

(5) Demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, untuk dan oleh masyarakat.

(6) Tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain.

(7) Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus menjadi guru yang baik dan

(8) Pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performansi akademik yang meningkat.
Pengaruh Karakter terhadap Proses Belajar

Pendidikan adalah kebutuhan bagi setiap manusia. Karena itu, pendidikan menjadi suatu keharusan dan wajib diberikan kepada seluruh anak bangsa sebagai pengejewantahan konsep keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pendidikan merupakan pondasi bangunan peradaban, sehingga sangat penting memerhatikan bagaiman kita memperoleh pendidikan.

Dengan pendidikan, maka seseorang akan mendapatkan ilmu pengetehuan yang akan mengarahkan cara pandang dan sikap manusia dalam menilai fenomena yang ada. Perkembangan pendidikan dan teknologi semakin pesat dari waktu ke waktu.

Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai transaksi dan pembelajaran yang dikemas dan dibalut dalam dunia digital.

Pada awal tahun 2019, Society 5.0 atau bisa diartikan masyarakat 5.0 pertama kali diluncurkan di Jepang dengan tujuan menciptakan tatanan masyarakat yang berpusat pada manusia (human–centered) dan berbasis teknologi (technology based).

Society 5.0 merupakan kecerdasan buatan yang memperhatikan sisi kemanusiaan yang berhubungan dengan semua bidang kehidupan diharapkan menjadi suatu kearifan baru dalam tatanan bermasyarakat.

Konsep society 5.0 tidak hanya terbatas untuk faktor manufaktur tetapi juga memecahkan masalah sosial dengan bantuan integrasi ruang fisik dan virtual (Skobelev & Borovik, 2017).

Society 5.0 akan berdampak pada semua aspek kehidupan mulai dari kesehatan, tata kota, transportasi, pertanian, industri dan pendidikan (UndangUndang Republik Indonesia Tentang Sistem Pendidikan Nasional).

Salah satu upaya untuk mengimplementasikan pendidikan karakter adalah melalui Pendekatan Holistik, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan.

Setiap individu memberikan gambaran karateristik yang berbeda-beda. berbeda dalam hal agama, adat, maupun suku. Ketiga perbedaan tersebut membawa dampak yang besar bagi kehidupan. Kemampuan, pembawaan, dan lingkungan menjadi sebuah karakter tersendiri yang mempunyai pola perilaku tertentu.

Pola perilaku yang terbentuk tersebut akan menentukan aktivitas yang dilakukan. Perbedaan setiap individu merupakan salah satu faktor pendukung untuk mewujudkan kualitas masing-masing individu.

Belum lagi perbedaan dalam bakat, emosional, dan sosial. Individu yang berbakat, emosional stabil, dan lingkungan sosial yang baik akan lebih mudah mengikuti proses pembelajaran bila dibandingkan dengan individu yang kurang dari ketiga elemen tersebut.

Karakter individu yang dapat memengaruhi kegiatan proses belajar antara lain, latar belakang dan taraf pengetahuan, gaya belajar, usia kronologi, tingkat kematangan, spektrum dan ruang lingkup minat, lingkungan sosial-ekonomi, kebudayaan, keselarasan da attitude, serta motivasi.

Proses pendidikan harus dilaksanakan dengan memanfaatkan semua komponen yang terkait dengannya agar mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas. Pendidikan karakter mutlak harus direvitalisasi kembali.

Hal tersebut dikemukakan mengingat dekandensi moral di era globalisasi dewasa ini, dinilai telah sangat mengkhawatirkan. Ini juga merupakan bentuk-bentuk liberalisasi budaya.

Karenanya, agar masyarakat dapat terjaga dari serangan budaya yang tidak sesuai dengan norma-norma budaya Pancasila sebagai moral bangsa, pendidikan karakter perlu di revitalisasi.

Suka atau tidak suka, saat ini bangsa Indonesia sedang berada di tengah pusaran hegemoni dunia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya menghadirkan kemudahan dan kenyamanan hidup bagi manusia, tetapi juga mengundang sejumlah permasalahan baru.

Kondisi karakter atau watak manusia saat ini, khususnya bangsa Indonesia kelihatan mengalami disorientasi identitas.

Karena itu, harapan dan seruan dari berbagai kalangan untuk pembangunan kembali watak atau karakter kemanusiaan menjadi semakin meningkat dan nyaring.

Pada tingkat internasional, kesejahteraan, hidup layak, dan perdamaian masih jauh dari apa yang diharapkan, bahkan saat ini masih banyak konflik, kekerasan dan perang di berbagai bagian bumi.

Pada level bangsa (nation) Indonesia, harus segera diakui bahwa tidaklah sepenuhnya dalam keadaan inorder, bahkan sebaliknya dalam banyak segi masih dalam kondisi disorder.

Banyak orang mengalami disorientasi identitas karena menghadapi krisis serbuan globalisasi serta nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai nilai dan norma-norma agama, sosial-budaya nasional dan lokal Indonesia.

Sebagai contoh, gaya hidup hedonistik, materialistik dan permissif sebagaimana banyak ditayangkan dalam telenovela dan sinetron pada berbagai saluran TV Indonesia, hanya mempercepat disorientasi dan dislokasi keluarga dan rumahtangga.

Akibatnya, tidak heran kalau banyak anak-anak yang keluar dari keluarga dan rumahtangga hampir tidak memiliki watak dan karakter.

Banyak di antara anak-anak yang alim dan bajik di rumah, tetapi nakal di sekolah, terlibat dalam tawuran, penggunaan obat-obat terlarang, pergaulan bebas, dan bentuk-bentuk tindakan kriminal lainnya, seperti penodongan, pencopetan, pencurian, dan sebagainya.

Inilah anak-anak yang bukan hanya tidak memiliki kebajikan (righteousness) dan inner beauty dalam karakternya, tetapi malah mengalami kepribadian terbelah (split personality).

Sekolah menjadi seolah tidak berdaya menghadapi kenyataan ini dan sekolah selalu menjadi kambing hitam dari merosotnya watak dan karakter bangsa.

Padahal, sekolah sendiri menghadapi berbagai masalah berat menyangkut kurikulum yang overload, fasilitas yang tidak memadai, kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan yang rendah. Menghadapi beragam masalah ini sekolah seolah kehilangan ”relevansinya dengan pembentukan karakter”.

Sekolah, sebagai konsekuensinya, lebih merupakan sekadar tempat bagi transfer of knowledge daripada character building, tempat pengajaran daripada pendidikan.

Semakin derasnya arus globalisasi yang membawa berbagai bentuk dan ekspresi budaya global merupakan faktor tambahan penting yang mengakibatkan pengikisan watak bangsa berlangsung semakin lebih cepat dan luas.

Akibat lebih lanjut, krisis watak bangsa menimbulkan disrupsi dan dislokasi dalam kehidupan sosial dan kultural bangsa, sehingga dapat mengancam integritas dan ketahanan bangsa secara keseluruhan.

Padahal, yang diharapkan adalah terciptanya masyarakat Indonesia yang memiliki jati diri (identitas) dan ketahanan, berkepribadian dan berkarakter yang tangguh, berpegang teguh pada nilai-nilai demokratis, menghargai tinggi law and order, berkeadilan (sosial, politik, dan ekonomi); memiliki kesalehan individual formal dan kesalehan komunal-sosial, dan sekaligus berkeadaban (civility) dalam lingkup civil society, menghargai keragaman dan kehidupan multikultural, dan memiliki perspektif lokal, nasional dan sekaligus global.

Banyak anak bangsa telah kehilangan “rasa malu”, sehingga keadabannya hampir tidak terlihat sama sekali. Bisa dipastikan, kenyataan ini merupakan gejala terjelas dari krisis sosial yang semakin parah dalam masyarakat kita.

Karena itulah perlu kiranya kembali berbicara tentang pendidikan karakter bangsa guna merevitalisasi ketahanan bangsa. (*)

 

Penulis  : Syafrillah najjar Mahasiswa prodi Sistem Informasi, UAD