Radarjambi.co.id-Di Indonesia terdapat suatu undang-undang yang mengatur tentang penggunaan teknologi informasi dan transaksi elektronik, yaitu Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik).
Pemerintah menyatakan bahwa mereka telah selesai membahas RUU ITE pada Agustus 2003, namun pembahasan RUU ITE ini sempat tertunda karena tidak segera dikirimkan ke DPR untuk disahkan.
Pada akhirnya, Rancangan UU ITE disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 21 April 2008 sebagai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. UU ITE terdiri dari 13 bab dan 53 pasal.
Dalam Undang-Undang ITE terdapat beberapa pasal yang mengatur berbagai aspek penggunaan teknologi informasi dan transaksi elektronik, seperti hak dan kewajiban pengguna internet, perlindungan data pribadi, tindakan pidana terkait dengan penyalahgunaan teknologi informasi, serta prosedur penyelesaian sengketa elektronik.
Sehingga, undang-undang ini bertujuan untuk mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan internet, komputer, dan perangkat elektronik lainnya. Dalam pelaksanaanya, pasal UU ITE memiliki beberapa pasal yang dianggap mengambat kebebasan berpendapat. Selama ini, setidaknya ada dua pasal yang menjadi subjek perdebatan.
Isu kebebasan berpendapat sempat disinggung dalam acara “bacapres mata Najwa”. Dalam acara tersebut, masing-masing pasangan calon (paslon) memberikan jawaban skor yang berbeda terkait dengan kebebasan berpendapat di Indonesia.
Anies Baswedan memberikan skor 5-6. Menurut beliau selama masyarakat Indonesia masih menggunakan kata wakanda dalam berpendapat, maka skornya masih rendah.
Padahal sudah diatur dalam 28E ayat (3) UUD NRI 1945 yang berisi “Kebebasan berpendapat di Indonesia sudah merupakan sebuah hak yang dilindungi oleh konstitusi”
Pasal tersebut menjamin setiap warga negara untuk berpendapat dengan bebas. Melihat dari situasi rakyat Indonesia tentang kebebasan berpendapat saat ini, sebenarnya kebebasan berpendapat itu boleh atau tidak?
Dengan adanya undang-undang ITE maka kebebasan berpendapat di Indonesia terjamin, namun ada juga yang mengatakan bahwa dengan adanya undang-undang ITE, dianggap mengancam kebebasan berpendapat.
Kebebasan berpendapat juga diatur dalam pasal 27 ayat 3 UU ITE yang berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
Namun banyak kalangan yang menginginkan pasal 27 ayat 3 UU ITE dihapuskan, karena pasal tersebut disebut dengan “pasal karet” sebagai undang-undang yang berbahaya. Terlebih lagi jika diterapkan oleh pihak-pihak yang tak paham soal dunia maya.
Selain itu, pasal tersebut juga bisa digunakan dengan mudah untuk menjerat orang-orang demi membungkam kritik.
Menanggapi hal tersebut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), saat itu, Rudiantara secara tegas mengatakan pasal 27 ayat 3 di UU ITE tersebut tidak mungkin dihapuskan.
Karena jika pasal tersebut dihilangkan, efek jera terhadap para pelanggar hukum akan hilang. Menurutnya pasal tersebut sebenarnya memiliki peran besar dalam melindungi transaksi elektronik khususnya di dunia maya. Penerapannya pun sering terjadi kesalahan, yang salah bukan pasalnya melainkan penerapannya.
Abdul Fiqqar Hajar, pakarhukumpidanaUniversitasTrisakti,menilaiUUITEsebenarnya berfungsiuntukmembungkamsuara-suarayangtidaksetujudanmengkritikpemerintah.
Ia menilai, pada dasarnyatidakadayangsalahdenganUUITE(sebagaimanatelahberulang kalidiujioleh Mahkamah Konstitusi), namun penafsirandanpenerapanundang-undangtersebutseringkali salah.
Sebagian masyarakat Indonesia masih belum paham tentang UU ITE, terlebih kebebasan berpendapat di media sosial, aplikasi chatting, dan lainnya dibatasi oleh adanya UU ITE.
Artinya masyarakat Indonesia harus menyadari bahwa postingan-postingan yang sifatnya menyinggung orang lain, mencemarkan nama baik bisa melanggar undang-undang.
Jadi berhati-hatilah dalam berbicara atau menulis postingan di media sosial. Think before posting,” kata Amelia. Bukan berarti tidak diperbolehkan berpendapat namun dibatasi dalam berpendapat.
Ketika pengguna media sosial mengungkapkan kebencian, ungkapan kejahatan, hinaan, ancaman, serta pelecehan maka hal tersebut sudah dapat dikatakan sebagai cyber bullying bukan lagi sebagai bentuk kebebasan berpendapat.
Salah satu cara berpendapat yang baik ialah dengan memikirkan dahulu pendapat yang akan disampaikan, selain itu kita juga harus memperhatikan siapa yang menerima pendapat kita. Lebih baik menghindari konten sensitif sebelum berpendapat.
Penulis : Shofi Aulia, Hafiz Indrakusuma, Raden Roro Dinda Florensia Kusuma Salindra, Syahdani Ade Putra, Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum FH Universitas Ahmad Dahlan
Pentingnya Adaptasi Bagi Akuntan yang Berperan Dalam Menghadapi Era Society 5.0
Cegah Penyebaran Narkoba dan HIV/AIDS, Pemkot Jambi Gelar Rakor Bersama Stakeholder