Penulis : Prof. Dr. As'ad
(Rektor UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi)
Surat edaran Menteri Agama No. P-2036/SJ/B.II/1/KP.00/06/2024 tentang Pencegahan Perjudian Daring di Lingkungan Kementerian Agama adalah sebagai bentuk kehadiran Negara untuk menyikapai fenomena judi online di Indonesia.
Saat ini Indonesia mengalami darurat Judi Online, mulai dari tahun 2017 hingga tahun 2024 Data Boks mencatat telah terjadi transaksi ratusan triliun, pada tahun 2022 transaksi judi online tembus sampai Rp. 100 triliun.
Di tahun 2024 terdeteksi sebanyak empat juta orang Indonesia terlibat dalam permainan judi online, mulai dari kelompok umur 10 tahun sampai 50 tahun. Rata-rata pecandu judi online sebanyak 80% berasal dari masyarakat kelas menegah ke bawah. Dua faktor penyebab meledaknya permainan judi online mulai dari ingin cepat kaya hingga hanya sekedar mengisi waktu dan menghindari kesepian.
Kartitni Kartono, seorang ahli patologi sosial mengatakan perjudian merupakan sebuah tindakan mempertaruhkan suatu nilai secara sengaja dengan sebuah kesadaran akan resiko dan harapan yang belum pasti hasilnya.
Sedangkan judi online adalah tindakan individu yang dengan sengaja mentransmisi atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan perjudian.
Praktik judi online berbeda dengan praktik judi konvensional yang membutuhkan kehadiran fisik dan interaksi langsung para pemain.
Pada judi online seorang pelaku bisa berjudi di manapun dan sambil menjalankan berbagai aktifitas, mulai dari dalam toilet bahkan sambil duduk di mesjid mendengarkan ceramah agama! Judi online memiliki kelebihan terbebas dari batas-batas ruang dan waktu, sehingga aman dari penggerebekan aparat hukum, sebagaimana yang sering terjadi pada judi konvensional seperti sabung ayam atau jenis judi lainnya.
Karakteristik judi online yang sangat tersembunyi dan menjaga privasi inilah yang membuat judi online menjadi penyakit masyarakat yang tersembunyi.
Ia tidak diketahui tapi akan meledak dan muncul ke permukaan publik ketika terjadi satu kasus seperti yang terjadi baru-baru ini, seorang polisi wanita membakar suaminya hingga tewas karena suami terlibat judi online, dan terdapat kasus seorang anggota TNI yang bunuh diri karena hutang judi online.
Ketika menulis opini ini, penulis sempat melakukan dialog dengan seorang pelaku judi online yang mengatakan bahwa hobinya bermain judi online sudah sangat mengganggu psikologisnya yang cenderung menjadi sangat emosional dan tidak terkendali.
Ia mengatakan bahwa candu judi online tidak kalah berbahayanya dengan candu narkoba, sangat merusak mental seseorang.
Pada kasus lain penulis juga melihat bagaimana satu keluarga yang orang tuanya (ayah dan ibu) adalah pecandu judi online, yang pada akhirnya orang tua tersebut menelantarkan anak-anak mereka. Orang tua tidak lagi memperhatikan pendidikan dan menafkahi anak-anaknya dan berbagai kewajiban orang tua lainnya. Bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana caranya agar mendapatkan modal untuk deposit yang ditransfer ke bandar judi online.
Proses transaksi transfer judi online sangatlah gampang, seorang pemain dapat mendeposit dana ke bandar judi online tanpa banyak proses administrasi, dengan cara gampang, pemain dapat bisa langsung memilih jenis permainan judi. Proses yang sangat mudah ini membuat judi online mudah diakses dan dimainkan oleh siapapun.
Biasanya website judi online berkamuflase dengan nama lembaga, bahkan para bandar sering menggunakan nama lembaga Pendidikan, Ketika di klik yang muncul adalah tawaran judi online. Pemerintah bukan tidak melakukan upaya blokir website judi online, tetapi tetap saja para bandar judi memiliki cara dan strategi lebih canggih.
Daya rusak judi online jelas tidak dapat dipungkiri lagi, mulai dari dampak rusaknya mental dan psikologis seorang pecandu judi online, sampai kepada terganggunya perekonomian seseorang yang bisa memunculkan efek domino seperti tindakan kriminal karena membutuhkan modal deposit.
Agar dapat mencegah dahsyatnya daya rusak judi online ini, maka sangat membutuhkan kehadiran Negara agar judi online tidak semakin meluas. Aparat hukum harus menegakkan perundangan tentang judi online yang telah termaktub dalam UU ITE pasal 27 (ayat 2) yang secara jelas mengatakan bagi mereka yang melanggar adalah pidana dengan hukuman penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu miliar).
Selain itu Pemerintah harus menghambat dengan sistematis permainan judi online, hal ini sudah dilakukan oleh Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) yang sudah memblokir sekitar lima ribu rekening karena judi online.
Selain aspek hukum, bagi masyarakat yang terpapar dan sudah kecanduan judi online yang mengalami kerusakan psikologis perlu penanganan khusus. Pemerintah sangat perlu mendirikan sebuah lembaga rehabilitasi yang ditujukan bagi masyarakat yang membutuhkan konsultasi, dan terapi agar dapat terlepas dari kecanduan judi online.
Jika tidak ada kehadiran negara dalam bentuk nyata untuk mengatasi judi online, maka judi online akan menjadi pemicu utama dalam persoalan penyakit masyarakat.
Kementerian dan instansi Pemerintah idealnya juga melakukan apa yang dilakukan oleh Gus Yaqut di Kementerian Agama yang akan memberikan sanksi bagi pegawainya yang terlibat judi online.
Selain itu judi online dapat dicegah secara kultural dan pendidikan, lembaga pendidikan sudah harus memulai berbagai cara untuk dapat mencegah peserta didik agar tidak terlibat dalam judi online.
Perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan yang paling rawan mahasiswanya akan terlibat judi online, maka seharusnya di perguruan tinggi juga mulai melakukan langkah strategis agar para mahasiswa tidak masuk dalam pusaran judi online.(*)
Cegah Penyebaran Narkoba dan HIV/AIDS, Pemkot Jambi Gelar Rakor Bersama Stakeholder