Merdeka Jiwa dan Raga

Senin, 19 Agustus 2024 - 13:28:27


Sudaryanto
Sudaryanto /

Radarjambi.co.id-Apa bedanya makna kemerdekaan bagi para pendiri bangsa (founding fathers) ini dan bagi kita generasi sekarang? Pertanyaan sederhana itu tetiba muncul saat menyambut Dirgahayu Republik Indonesia (RI) pada 17 Agustus 2024.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI menyebut, merdeka itu bebas (dari perhambaan, penjajahan, dsb); atau berdiri sendiri.

Atau, merdeka itu tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu.

Benarkah begitu?
Penulis mengimajinasikan, apabila Bung Karno mendapat pertanyaan: apa makna kemerdekaan bagi dirinya? Presiden pertama RI sekaligus penulis buku Dibawah Bendera Revolusi itu menjawab ringkas: kemerdekaan adalah jembatan emas, jembatan inilah yang leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi. Berkat jawaban ringkas itu, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan Kemerdekaan RI pada 79 tahun silam.

Spirit Kemerdekaan

Bung Karno menggelorakan spirit Kemerdekaan RI kepada seluruh masyarakat Indonesia saat itu. Gelora serupa juga terasa oleh Mr. Soewandi, Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaaan. Akhirnya, Mr. Soewandi menerbitkan Surat Keputusan No. 264/Bhg. A tanggal 19 Maret 1947, guna memperkenalkan sistem ejaan Latin untuk bahasa Indonesia pengganti Ejaan van Ophuijsen. Kelak, sistem ejaan itu dikenal Ejaan Suwandi atau Ejaan Republik.

Ejaan Suwandi atau Ejaan Republik tak sekadar nama ejaan belaka. Penamaan ejaan itu, secara semiotika, dapat dimaknai sebagai upaya merdeka dari penjajahan Belanda. Bisa dibayangkan, jika bangsa-negara ini tidak memiliki kemerdekaan, bisa jadi Ejaan van Ophuijsen masih berlaku sampai sekarang.

Dan, bisa jadi pula bahasa Belanda menjadi bahasa nasional kita sekarang. Karena itu, bersyukurlah kita merasakan Kemerdekaan RI pada 79 tahun lalu.
Lain Bung Karno, lain pula Bung Hatta.

Apabila Bung Hatta mendapat pertanyaan: apa makna kemerdekaan bagi dirinya? Wakil Presiden pertama RI menjawab ringkas: Indonesia merdeka tidak ada gunanya bagi kita, apabila kita tidak sanggup untuk mempergunakannya memenuhi cita-cita rakyat kita: hidup bahagia dan makmur dalam pengertian jasmani maupun Rohani.

Pendek kata, bagi Bung Hatta, kemerdekaan jalan untuk memenuhi cita-cita rakyat Indonesia.

Terkait itu, Bung Hatta mendamba seluruh rakyat Indonesia hidup bahagia dan makmur. Indikator hidup bahagia dan makmur beragam, setidaknya tiga hal, yaitu kesehatan, pendidikan, dan keagamaan.

Bung Hatta mendamba seluruh rakyat Indonesia sehat walafiat, berpendidikan mumpuni, dan bertakwa kepada Tuhan.

Apabila kesehatan, pendidikan, dan keagamaan terpenuhi baik, kelak rakyat Indonesia hidup bahagia dan makmur, baik jasmani maupun rohani.
Kini, apabila kita mendapat pertanyaan serupa: apa makna kemerdekaan bagi kita? Sebagian kita, terutama elite bangsa yang demagogis, menjawab: bebas merdeka (dapat berbuat sekehendak hatinya).

Berbeda dengan kedua Bung tadi, elite bangsa kita cenderung mengutamakan kepentingan kelompok/pribadi daripada kepentingan rakyat.

Akibatnya, rakyat yang semestinya hidup bahagia dan makmur, justru kian lama kian sengsara di tengah kehidupan bangsa.

Indonesia Emas 2045

Diakui, pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin telah mencanangkan visi Indonesia Emas 2045. Visi itu menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, maju, adil, dan makmur pada tahun 2045.

Terdapat empat pilar utama mencapai visi itu. Pertama, pilar pembangunan manusia dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, pilar pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Kemudian, ketiga, pilar pemerataan pembangunan. Dan keempat, pilar pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan.

Bidang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi berjalan baik. Berikutnya, bidang ekonomi berkelanjutan ditopang integrasi ekonomi rakyat dan ekonomi modern.

Jika kedua pilar tadi terkoneksi, kelak pemerataan terkoneksi pula. Pilar pemerataan mendorong tata kelola pemerintahan yang adil, benar, dan amanah.

Akhir kata, saat menjelang peringatan Dirgahayu RI, penulis mengajak semua anak bangsa, termasuk Presiden dan Wakil Presiden RI, berefleksi kata-kata Bung Karno. Ia berkata, kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, daripada makan bestik tapi budak.

Bagi Bung Karno, bangsa Indonesia adalah bangsa merdeka. Bangsa merdeka harus memiliki kemerdekaan jiwa dan raga.(*)

 

 

Penulis : Sudaryanto, M.Pd., Dosen FKIP UAD; Mahasiswa S-3 UNY; Anggota Majelis Tabligh dan Pustaka Informasi PRM Nogotirto; Humas ADOBSI (2024-2029)