Guru di Maluku Tanggapi Kritikan Jusuf Kalla kepada Mendikbudristek

Selasa, 24 September 2024 - 22:47:06


/

Radarjambi.co.id-Halmahera Selatan – Seorang guru di Halmahera Selatan, Ady Saputra Wansa, memberikan respons terhadap kritik yang dilontarkan oleh mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK), mengenai tantangan pendidikan di Indonesia.

Rilis yang diterima radarjambi.co.id , Diskusi ini terjadi dalam kegiatan dinamika komunikasi koordinator wilayah  Hoshizora Foundation di seluruh tanah air. Hoshizora Foundation, sebuah yayasan non-profit yang fokus pada pendidikan di Indonesia.

Dalam diskusi tersebut, Ady adalah seorang guru sekaligus pembina sebuah sekolah yayasan pendidikan di Halmahera Selatan Provins Maluku Selatan yang ingin berbagi pengalamannya mengajar di daerah terpencil serta pandangannya terhadap asesment dan sistem pendidikan yang berlaku saat ini.

Kritikan terhadap Nadiem Makarim viral di media sosial, disampaikan oleh mantan Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla.

Secara singkat, kritik tersebut menyoroti pendidikan Indonesia yang dinilai terlalu mengadopsi model Finlandia. Menurut mantan Wapres, meskipun Finlandia diakui memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia, Indonesia tidak bisa sepenuhnya mengikuti jejaknya karena perbedaan mendasar, terutama dalam hal ekonomi.

Finlandia memiliki pendapatan per kapita sebesar 75.000 USD per tahun dengan jumlah penduduk 5,5 juta jiwa, sementara Indonesia hanya 4.500 USD dengan populasi mencapai 285 juta jiwa.

Perbedaan ini berdampak pada kualitas fasilitas, gaji guru, dan kebutuhan pendidikan lainnya. Beliau juga merekomendasikan Indonesia untuk meniru model pendidikan dari negara-negara seperti India, China, dan Korea yang memiliki sumber daya manusia terbesar di dunia dan telah berhasil mencetak banyak pemimpin global. 

Ady mengawali tanggapannya dengan menyetujui pernyataan JK terkait pentingnya ujian, namun ia menyoroti persoalan teknis di lapangan.

"Saya sepakat ujian itu harus ada. Ujian yang benar-benar mengukur mata pelajaran yang dipelajari di sekolah. Tetapi, saya belum paham betul soal ANBK (Asesmen Nasional Berbasis Komputer), dan sekolah kami baru pertama kali akan melaksanakannya tahun ini," ujar Ady.

Ia menambahkan, kendala teknis seperti mengunduh dan menginstal aplikasi ANBK masih menjadi masalah yang belum terselesaikan hingga hari ini.

Mengenai kebiasaan belajar siswa menjelang ujian, Ady tidak sependapat dengan pernyataan JK yang mengatakan bahwa anak-anak baru belajar ketika ujian mendekat.

"Di Halmahera Selatan, kenyataannya anak-anak memang baru diajari secara serius ketika mendekati ujian nasional. Ketika UN masih ada, itulah momen mereka untuk belajar lebih serius," ungkapnya.

Ady menyebutkan bahwa penghapusan Ujian Nasional (UN) telah menyebabkan hilangnya motivasi untuk mengikuti bimbingan belajar yang biasanya diadakan menjelang ujian.

Kritik terhadap Sistem Pendidikan Finlandia

Ady juga menanggapi pernyataan JK yang menolak penerapan sistem pendidikan Finlandia di Indonesia karena perbedaan kondisi demografis dan ekonomi. Ia sependapat bahwa meniru sistem pendidikan asing secara langsung bisa menjadi kesalahan.

"Kalau benar Kurikulum Merdeka (KM) ini copy-paste dari Finlandia atau Eropa, maka itu kesalahan besar. Namun saya tidak tahu pasti, apakah ini benar-benar hasil duplikasi atau hanya sebagian konsep yang dicoba untuk diadaptasi."

Ia kemudian mengkritik sistem pendidikan di Halmahera Selatan, yang menurutnya rusak di berbagai tingkat, mulai dari sekolah, pengawas, hingga pemerintah daerah. Ady menyebut sekolah-sekolah di daerahnya dijalankan secara "serampangan", tanpa memedulikan hasil belajar.

"Banyak siswa di tempat les saya masih belum bisa membaca dengan lancar meskipun mereka sudah di kelas 4 atau 5 SD, dan bahkan beberapa dari mereka adalah juara di sekolahnya," ungkapnya. Ironisnya, siswa-siswa yang bermasalah ini bukan berasal dari sekolah-sekolah di pelosok, melainkan sekolah-sekolah favorit di kota kabupaten.

Pengawas dan Dinas Pendidikan

Lebih lanjut, Ady juga mengungkap praktik tidak etis yang dilakukan oleh pengawas pendidikan di daerahnya. Ia bercerita tentang kasus di mana seorang siswa memiliki dua raport—satu yang asli dan satu lagi yang telah direvisi untuk memperbaiki nilai agar memenuhi syarat masuk universitas negeri.

Ketika Ady melaporkan hal ini kepada pengawas, ia terkejut mendengar respon pengawas yang justru mendukung praktik tersebut. "Mereka bilang kita harus mendukung siswa-siswi agar bisa lolos passing grade kampus negeri," ujarnya dengan kecewa.

Selain itu, ia juga menyoroti tingginya nuansa politik dalam penempatan kepala sekolah dan guru di daerahnya. "Penempatan kepala sekolah lebih didasarkan pada kedekatan politik, bukan prestasi. Kepala sekolah bisa menduduki posisi yang sama selama puluhan tahun tanpa ada rotasi, sementara guru yang tidak memiliki kedekatan harus mengajar di pulau-pulau terpencil," jelasnya.

Ady menegaskan bahwa masalah utama bukan pada duplikasi sistem pendidikan luar negeri, tetapi pada pelaksanaan pendidikan di Indonesia sendiri. "Yang paling penting adalah bagaimana setiap pihak yang berwenang menjalankan fungsinya dengan baik, mulai dari sekolah, pengawasan, hingga kebijakan pemerintah daerah."

Diskusi ini mencerminkan tantangan nyata yang dihadapi oleh para pendidik di daerah-daerah seperti Halmahera Selatan, di mana masalah struktural dalam sistem pendidikan menjadi penghambat utama bagi kemajuan siswa.

Kesimpulannya, Ady menegaskan bahwa masalah utama pendidikan di Indonesia bukan terletak pada sistem mana yang diadopsi, tetapi bagaimana semua pihak yang berwenang menjalankan fungsinya dengan baik.

"Yang penting bukan apakah kita meniru sistem pendidikan dari Finlandia atau negara lain, tapi bagaimana sekolah, pengawas, dan dinas pendidikan menjalankan pendidikan dengan sungguh-sungguh," pungkasnya.(*)