Bahasa Indonesia : Dulu, Kini dan Nanti

Minggu, 27 Oktober 2024 - 23:01:47


Sudaryanto
Sudaryanto /

Radarjambi.co.id-Tanggal 28 Oktober kita rayakan sebagai Hari Sumpah Pemuda. Dalam perayaan itu, ingatan kita melayang jauh pada peristiwa pembacaan ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Ikrar itu memuat pernyataan politis para pemuda Indonesia yang hadir dalam Kongres Pemuda II di Jakarta. Salah satu ikrar itu ialah pernyataan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Kini, usai 96 tahun berlalu, kita refleksikan ulang perihal bahasa Indonesia dulu dan nanti.

Dulu, seperti termaktub dalam teks Sumpah Pemuda, kita “putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Pernyataan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan memiliki efek politis yang terasa hingga kini.

Betapa tidak, jikalau tidak ada peristiwa Sumpah Pemuda pada 96 tahun silam, bisa jadi bahasa Belanda menjadi bahasa nasional kita sekarang. Dengan begitu, fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan berdampak luas.

Bahasa Resmi Negara

Setidaknya dua dampak dari fungsi terkait, yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa internasional. Perihal bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dimulai dari munculnya Kongres Bahasa Indonesia (KBI) I pada 1938 di Solo.

Berkat KBI I itu, istilah bahasa Indonesia mulai dikenal. Salah satunya melalui penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara, sebagaimana termaktub dalam UUD 1945, pada 18 Agustus 1945 silam.

Berikutnya, berkat penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara, muncullah ejaan Suwandi atau ejaan Republik pada 1947. Ejaan yang digagas atas keputusan Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Mr. Soewandi itu, menjelma fondasi atas pemodernan bahasa Indonesia.

Disebut ejaan Republik lantaran kita masih dalam suasana kemerdekaan. Pun, kita ingin melepaskan diri dari pengaruh kolonialisme penjajah Belanda.

Habis ejaan Suwandi, terbitlah Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Ejaan itu diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia (saat itu), Soeharto, pada 1972.

Di antara sistem ejaan bahasa Indonesia yang ada selama ini, EYD berlaku dalam kurun waktu 43 tahun (1972-2015). Berikutnya, EYD berganti menjadi Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) pada 2015-2022. Sejak 2022 hingga kini kita kembali ke EYD, tepatnya EYD Edisi V.

EYD Edisi V menjadi bagian integral dari pemodernan bahasa Indonesia. Berkat EYD Edisi V, kita, bangsa Indonesia, berliterasi baca tulis secara baik dan benar. Literasi baca tulis secara baik diarahkan pada ranah komunikasi yang efektif.

Sementara itu, literasi baca tulis secara benar difokuskan pada ranah implementasi kaidah kebahasaan yang komprehensif. Dengan begitu, EYD Edisi V dapat menjadi inkubator literasi baca tulis kita pada masa kini dan nanti.

Selain EYD Edisi V, pemodernan bahasa Indonesia ditunjang dari aspek regulasi. UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan menjadi pionir atas penguatan peran, fungsi, dan kedudukan bahasa Indonesia. Berikutnya terbitlah regulasi tentang pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra Indonesia. Pun, regulasi terkait Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) yang adaptif.

Adaptabilitas

Adaptabilitas merupakan sifat kebijakan pemerintah dalam multibidang, termasuk bidang bahasa dan sastra Indonesia. Sekadar contoh, pewujudan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional ditempuh lewat pengajaran dan pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA).

Hingga sekarang sudah 54 negara yang mengajarkan bahasa Indonesia. Demikian catatan Badan Bahasa per 15 Desember 2023 lalu.

Perihal fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional diperkuat melalui UU Nomor 24 Tahun 2009. Penguatan fungsi itu, sekali lagi, ditempuh lewat pengajaran dan pembelajaran BIPA.

Terkait itu, pemerintah secara rutin mengadakan Program Darmasiswa dan Kemitraan Negara Berkembang (KNB) bagi pemelajar asing. Selain itu, sejumlah kampus memiliki program BIPA kerja sama dengan kampus luar negeri, seperti program “3+1” dan “2+2”.

Akhir kata, refleksi tentang bahasa Indonesia dulu, kini, dan nanti, mendorong kita bersyukur sekaligus menggugat diri. Kita bersyukur, bahasa Indonesia dapat melintasi ruang dan waktu, serta mendorong kita untuk mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa Indonesia.

Dan, kita menggugat diri betapa bahasa Indonesia belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Kita perlu mendorong pemodernan bahasa Indonesia lebih baik lagi.(*)

 

Penulis : Sudaryanto, M.Pd., Dosen PBSI FKIP UAD; Mahasiswa S-3 UNY; Anggota PRM Nogotirto; Divisi Humas ADOBSI