Dengan Pendampingan WWF, Petani Karet di Tebo Masih Bertahan di Tengah Gempuran Tanaman Sawit

Jumat, 27 Desember 2024 - 13:00:03


Haris Asal Lampung Petani Karet Desa smambu Kecamatan Sumay Kabupaten Tebo
Haris Asal Lampung Petani Karet Desa smambu Kecamatan Sumay Kabupaten Tebo /

RADARJAMBI.CO.ID - WWF bersama Jurnalis melakukan peninjauan terhadap para petani karet dan sawit yang menjadi binaan dari WWF, yang terletak di wilayah Bentang Alam Bukit Tiga Puluh, Kabupaten Tebo. Rabu(18/12/2024).

Diketahui bahwa Saat ini sudah banyak petani karet yang beralih ke sawit, Faktor utama yang memengaruhinya adalah harga sawit lebih tinggi dibandingkan karet.

Harga karet yang terus merosot, tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan petani, membuat banyak petani merasa lebih memilih untuk beralih ke sawit, yang dianggap lebih menjanjikan dari segi profit.

Budi Ardiansyah, Ketua dari Kelompok Tani Maju Bersama yang terletak di Desa Muara Sekalao bersama para petani lainnya di Kabupaten Tebo, menceritakan bahwa perbedaan antara kelapa sawit dan karet sangat terasa dalam hal hasil dan kebutuhan perawatan.

Sawit, di anggap dengan harga yang stabil dan lebih mudah dalam hal perawatan, menjadi pilihan yang lebih menguntungkan bagi banyak petani.

Sementara itu, karet membutuhkan perhatian lebih, apalagi dengan musim yang memengaruhi hasilnya. Ketika harga karet tidak lagi menguntungkan, tak jarang petani memilih untuk menebang pohon karetnya dan menanam sawit.

Namun, Budi dan kelompoknya mendapat dukungan dari Yayasan WWF Indonesia melalui program yang bertujuan mendorong pembangunan berkelanjutan untuk masyarakat sekitar hutan. Program ini memberikan pengetahuan baru kepada para petani tentang cara-cara yang lebih efisien dalam mengelola perkebunan karet.

“Dulu kami tidak tahu, ternyata karet itu tidak harus dipotong setiap hari. Sekarang dengan memotong setiap dua atau tiga hari sekali, kami bisa memaksimalkan hasil getah karet kami," terangnya.

Budi juga menyampaikan bahwa Melalui pelatihan yang diberikan oleh WWF, petani saat ini tahu bagaimana mengatasi penyakit karet yang selama ini sering menjadi masalah besar. Mereka diajarkan untuk bekerja secara berkelompok, saling berbagi pengalaman dan menimbang hasil karet secara adil. Pendekatan baru ini tidak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga memperbaiki kesejahteraan petani karet.

“Bangkit lagi kami para petani, dulu kami tidak tahu bahwa karet itu tidak harus dipotong setiap hari,” ujar Budi dengan semangat.

Dulu, para petani karet melakukan penyadapan atau motong karetnya setiap hari, namun setelah mengikuti pelatihan dari WWF, mereka belajar bahwa cukup memotongnya setiap dua atau tiga hari sekali. Hal ini ternyata mampu memaksimalkan hasil getah tanpa harus mengorbankan kualitasnya.

“Ilmu yang kami dapatkan benar-benar mengubah cara kami bekerja,” lanjut Budi.

Selain itu, program WWF juga mengajarkan mereka untuk lebih peka terhadap penyakit yang bisa menyerang tanaman karet. Sebelumnya, banyak petani yang tidak tahu tentang penyakit karet, seperti Jamur Akar Putih. Namun kini mereka lebih siap menghadapi berbagai ancaman yang bisa merugikan hasil panen.

Namun, tak hanya soal harga dan pengetahuan yang menjadi masalah. Ada tantangan yakni gajah, Gajah menjadi hama atau penggangu tanaman para petani karet tersebut.

Gajah-gajah liar yang berkeliaran di sekitar kawasan Bentang Alam Bukit Tiga Puluh kadang-kadang memakan pohon karet muda, merusak kebun petani.

Para petani juga memanfaatkan peluang dengan menggabungkan tanaman karet dengan tanaman lainnya. Misalnya, mereka menanam pinang, pete, jengkol, nangka, kopi, dan coklat di kebun karet mereka. Tak hanya memberi manfaat ganda, dengan cara ini mereka juga bisa mengurangi dampak negatif dari hama atau satwa liar.

Gajah, yang dikenal suka memakan pohon karet muda, ternyata tidak menyukai tanaman seperti jeruk, lada, atau kopi. Dengan menanam tanaman-tanaman ini di sekitar kebun karet, petani bisa melindungi pohon karet dari ancaman gajah.

Di sisi lain, untuk perkebunan kelapa sawit, tantangannya berbeda. Gajah sangat menyukai kelapa sawit, terutama buah yang masih muda. Keberadaan gajah yang sering berkeliaran di sekitar kebun sawit menjadi ancaman besar bagi para petani, karena kawanan gajah dapat dengan cepat merusak seluruh tanaman sawit dengan memangkas atau memakan buahnya.

Tidak seperti perkebunan karet yang bisa dicampur dengan tanaman lain, sawit tidak memungkinkan untuk ditanam bersama tanaman lain, karena membutuhkan ruang yang luas dan kondisi yang cukup spesifik. Hal ini membuat sawit lebih rentan terhadap serangan gajah. Tanpa perlindungan atau penanganan khusus, petani sawit sering kali mengalami kerugian besar akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh hewan-hewan besar tersebut.

Kendati begitu, satu masalah besar tetap ada: banyak petani yang beralih ke sawit. Sejak 15 tahun lalu, pohon karet yang dulu melimpah kini hanya tersisa sekitar 20 persen. Ini menciptakan kekhawatiran bagi masa depan sektor karet di Kabupaten Tebo. Namun, dengan adanya dukungan dari program-program berkelanjutan, seperti yang diberikan oleh WWF, ada harapan bagi petani karet untuk kembali bangkit dan melanjutkan usaha mereka dengan lebih cerdas dan efisien.

Di Desa Semambu RT 7, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Haris salah seorang petani karet yang tetap setia menjalani aktivitasnya sebagai penyadap karet, meskipun usianya telah menginjak 60 tahun. Baginya, menjadi petani karet adalah tradisi yang telah melekat sejak ia tinggal di Lampung. Kini, di tengah banyaknya tantangan, Haris tetap memilih bertahan.

“Kalau hujan deras malam sebelumnya, saya harus menunggu pohon tidak terlalu basah untuk mengambil getahnya, sambil olahraga, jalan beberapa meter dari pohon ke pohon. Alhamdulillah, badan tetap bugar, tidak pernah ada sakit parah,” terangnya.

Haris menyampaikan bahwa harga karet pernah mencapai Rp30.000 per kilogram. Meskipun harga karetsaat ini tidak semahal dulu, ia tetap setia menjadi petani karet. Baginya, karet memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan sawit.

“Walaupun harga karet rendah, tanpa pupuk pun masih bisa mengeluarkan getah. Itu yang membuat saya bertahan,” jelas Haris.

Haris mengatakan bahwa perbedaan mendasar antara sawit dan karet adalah pada perawatannya. Sawit memang menghasilkan, tetapi memerlukan pupuk dan perhatian yang intens. Sementara karet, meski lebih sederhana, tetap memberikan hasil yang cukup untuk kebutuhan hidupnya.

"Karet ditanam tanpa pupuk pun hidup juga,"ujarnya.

Haris mengatakan bahwa dirinya mulai bertani karet di Desa Semambu pada 2011, gajah sering menjadi tantangan utama. Gajah-gajah liar yang berkeliaran kerap memakan pohon karet muda. Namun, sejak banyak pendatang mulai menanam sawit pada 2013, situasi berubah.

“Sekarang gajah sudah tidak mau makan pohon karet lagi, maunya sawit. Itu juga yang membuat saya tetap menjadi petani karet,” katanya.

Haris juga menyampaikan bahwa UPPB merupakan hasil kolaborasi erat antara berbagai pihak, termasuk Dinas Perkebunan. WWF Indonesia mendukung UPPB melalui penyediaan infrastruktur seperti gedung, sementara Dinas Perkebunan berperan dalam membantu registrasi UPPB dan memfasilitasi musyawarah serta diskusi terkait penjualan karet.

“Dinas Perkebunan membantu proses registrasi UPPB. UPPB juga menjadi ruang diskusi bagi petani untuk membahas strategi pemasaran karet mereka,” jelasnya.

Dengan pendekatan holistik ini, UPPB tak hanya menjadi pusat pengelolaan dan pemasaran, tetapi juga ruang kolaborasi untuk mendukung petani karet meningkatkan daya saing mereka di pasar.

Tumidi, petani karet lain di Desa Semambu Kecamatan Sumay, menambahkan bahwa tanaman kopi dapat melindungi pohon karet dari penyakit jamur akar putih, yang sering menyerang tanaman karet.

“Kopi Liberika tahan terhadap jamur akar putih, yang merupakan penyakit umum di kebun karet. Kopi juga membantu menjaga kestabilan ekosistem di sekitar kebun, sehingga pohon karet menjadi lebih sehat dan hasil getahnya pun lebih baik,”pungkasnya. (*ria/akd)