Radarjambi.co.id-Memaknai emansipasi tidak hanya semata-mata tentang perjuangan perempuan dalam menyetarakan gender pada ranah publik. Belakangan ini ketidakadilan gender justru marak terjadi pada ranah domestik.
Berapa banyak perempuan yang tidak dapat menyuarakan keadilan karena dibungkam oleh stigma di masyarakat bahwasanya istri harus patuh dan tunduk kepada suami dalam kondisi apapun. Tidak sedikit perempuan yang justru kehilangan jati dirinya setelah menikah.
Pernikahan sejatinya menjadi rumah tempat dimana perempuan dapat menjalankan perannya sebagai seorang istri dan ibu bagi anaknya. Namun dalam perjalanannya ketidakadilan gender dalam ranah domestik inilah yang sulit diatasi.
Jika menyuarakan kesetaraan gender dalam dunia pendidikan, tentu saat ini tidak lagi menjadi masalah. Perempuan berpendidikan tinggi kini sudah menjamur. Kedudukan perempun dalam dunia kerja pun telah banyak yang berhasil menduduki posisi penting.
Peran perempuan dalam rumah tangga seolah hanya sebagai pelengkap saja. Mereka dituntut untuk memahami segala kondisi suami. Tidak sedikit perempuan yang kerap terpojokan baik dalam mengelola keuangan, parenting anak, bahkan dalam mengurus rumah tangga.
Perempuan kerap dianggap sebagai beban yang harus ditanggung laki-laki. Tak jarang mereka kerap menerima perlakuan kasar ketika meminta hak mereka sebagai seorang istri.
Kini banyak isteri yang memilih bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ketimbang meminta haknya untuk dinafkahi suami. Perempuan yang bekerja pun tetap menjadi korban ketidakadilan gender.
Mereka memiliki beban ganda dimana perempuan memiliki beban kerja yang lebih besar ketimbang laki-laki. Ia berperan sebagai wanita karir dan juga sebagai seorang ibu yang mengurus rumah tangga tanpa adanya bantuan suami.
Perempuan yang bekerja pun kerap disalahkan karena tidak becus mengurus rumah tangga. Belum lagi kehadiran orang ketiga dalam rumah tangga kerap kali perempuan yang disalahkan. Perempuan dianggap tidak dapat membahagiakan suami maka wajar jika suami berselingkuh.
Pembenaran seperti inilah yang kerap terjadi, menormalisasikan perselingkuhan. Ketika tidak memiliki keturunan pun perempuan kerap disalahkan. Tidak sedikit yang menceraikan istri ataupun menikah lagi dengan alasan tidak memiliki keturunan. Namun sangat berbeda jika masalah tersebut menimpa laki-laki. Perempuan diharuskan bersabar menerima segala kondisi suami.
Lalu bagaimana perempuan bisa memperjuangkan haknya sebagai seorang istri jika stigma masyarakat memandang bahwa perempuan harus bersedia menerima takdir untuk tunduk pada laki-laki sekalipun hidup dalam tekanan.
Banyak perempuan yang terpaksa bertahan walaupun mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Bukan karena mereka takut menjadi janda, tetapi perlakuan masyarakat yang lebih menyeramkan. Pelabelan negatif terhadap janda melekat kuat, perempuan yang bercerai dianggap sebagai perempuan tidak baik dan pembangkang.
Stop menormalisasikan pembunuhan karakter pada perempuan. Pembunuhan karakter pada perempuan yang selama ini terjadi memiliki dampak yang besar. Kesehatan mental seorang perempuan kerap kali luput dari perhatian. Tidak sedikit yang mengalami depresi bahkan sampai bunuh diri.
Ironisnya masyarakat seolah tidak memiliki empati terhadap permasalahan yang dialami perempuan. Perempuan korban ketidakadilan gender pada ranah domestik seringkali tidak memiliki tempat bercerita.
Mereka kerap kali menyembunyikan luka batinnya. Mereka lelah mencari tempat untuk mengeluarkan keluh kesahnya karena ketika mereka berbicara akan dibungkam dan dipaksa untuk bersabar. Sampai kapan perempuan menjadi korban ketidakadilan gender dalam ranah domestik.(*)
penulis : Iis Suwartini, M.Pd. dosen PBSI Universitas Ahmad Dahlan mahasiswa S3 UNS
Kiat PKM Dosen UAD Dalam Kaderisasi dan Kualitas Kepemimpinan
Mahasiswa KKN Reg 138, Bantu Posyandu Lansia dan Cek Gula Darah di Dukuh Kwalangan