Biaya Sosial Kekerasan Kampus: Ancaman Investasi Bangsa dan Hilangnya Ruang Aman

Selasa, 28 Oktober 2025 - 21:48:02


Gea Dwi Asmara
Gea Dwi Asmara /

Radarjambi.co.id-Isu krusial kembali mengguncang nurani bangsa dengan tragedi meninggalnya seorang mahasiswa di kampus ternama akibat dugaan perundungan. Tragedi ini bukan sekadar persoalan moral atau psikologis, melainkan juga peringatan keras bahwa kekerasan di kampus merupakan ancaman serius bagi investasi negara dalam Modal Manusia (Human Capital).

Lebih jauh, fenomena ini menjadi penghambat nyata bagi tercapainya tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Karena itu, penting untuk menelaah “biaya tersembunyi” atau Social Cost dari budaya kekerasan yang masih bercokol di lingkungan pendidikan tinggi.

Mahasiswa sejatinya adalah bentuk investasi publik dan swasta yang diharapkan memberi “return” berupa sumber daya manusia berkualitas tinggi. Mereka merupakan hasil dari alokasi dana, waktu, dan harapan yang besar untuk kemudian berperan sebagai inovator, pemimpin, dan tenaga terdidik yang menggerakkan produktivitas serta pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun, tragedi yang menimpa mereka menunjukkan betapa rapuhnya aset vital bangsa tersebut. Kasus kekerasan yang berujung pada kematian atau putus kuliah berarti hilangnya seluruh investasi pendidikan yang telah ditanamkan adalah sebuah kerugian tidak terpulihkan (irrecoverable loss).

Bagi mahasiswa yang tetap bertahan, perundungan dapat meninggalkan trauma mendalam, depresi, serta gangguan konsentrasi yang menurunkan kualitas mental dan intelektual lulusan. Inilah bentuk kerusakan kualitatif pada Human Capital yang sulit diukur, tetapi berdampak langsung pada daya saing bangsa.

Perundungan juga menimbulkan biaya eksternal negatif (negative externalities) yang ditanggung oleh masyarakat luas, tidak hanya korban dan keluarganya. Biaya ini meliputi pemulihan psikologis, penegakan hukum, operasional Satgas PPKPT, hingga kerugian reputasi institusi. Lebih jauh, ia menimbulkan hilangnya kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan.

Berulangnya kasus kekerasan menunjukkan kegagalan institusi dalam menjamin keamanan dan suasana belajar yang suportif (Safety Service). Kondisi ini menciptakan perangkap sosial (Social Trap), di mana korban enggan melapor karena sistem yang lemah dan sanksi yang tak pernah ditegakkan.

Akibatnya, budaya kekerasan terus tumbuh tanpa pertanggungjawaban. Penelitian menunjukkan akar perundungan sering kali muncul dari faktor senioritas dan ketimpangan kekuasaan (power imbalance), baik antara senior dan junior maupun antar-mahasiswa yang memiliki status sosial lebih tinggi.

Budaya hierarkis yang permisif terhadap intimidasi secara historis menumbuhkan siklus balas dendam, di mana pelaku yang pernah menjadi korban melampiaskan traumanya pada generasi berikutnya. Karena itu, kampus harus menjadi ruang aman yang bebas dari siklus kekerasan turun-temurun.

Budaya kekerasan yang mengakar juga mencerminkan lemahnya tata kelola (governance) dan akuntabilitas kepemimpinan dalam melakukan pengawasan preventif. Dalam konteks regulasi, Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi perlu dipahami bukan sekadar aturan administratif, melainkan juga instrumen ekonomi penting untuk mengoreksi market failure - kegagalan internal kampus dalam melindungi aset manusianya.

Karena itu, langkah nyata harus diarahkan pada investasi jangka panjang yang produktif dengan fokus pada pencegahan dan penanganan akar masalah. Upaya ini dapat dimulai dengan meningkatkan kesadaran dan pendidikan karakter melalui kampanye, seminar, dan integrasi nilai moral, etika, serta empati dalam kurikulum.

Perguruan tinggi juga perlu memperkuat pelatihan keterampilan sosial dan pengelolaan emosi agar mahasiswa mampu membangun kepercayaan diri, mengurangi agresivitas, dan memutus rantai balas dendam yang diwariskan.

Selain itu, penguatan sistem kesejahteraan mental menjadi fondasi penting dalam menciptakan lingkungan akademik yang sehat. Kampus perlu menyediakan layanan konseling profesional yang proaktif dan mudah diakses, sekaligus memperkuat peran Satgas PPKPT sebagai garda terdepan yang berpihak pada korban, bukan sekadar pelengkap administratif.

Dalam waktu bersamaan, penegakan aturan yang tegas juga menjadi kunci. Sanksi seperti Drop Out (DO) atau pencabutan beasiswa harus diterapkan tanpa kompromi agar pelaku menanggung konsekuensi sosial dari tindakannya, bukan membebankannya pada korban atau masyarakat.

Masa depan pembangunan ekonomi Indonesia, khususnya dalam mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045, sangat bergantung pada kualitas serta kesejahteraan Modal Manusianya. Kekerasan dan perundungan di kampus tidak boleh dibiarkan merusak generasi calon pemimpin bangsa.

Kampus harus kembali menjadi ruang yang humanis, egaliter, dan aman, serta menjadikan pemberantasan kekerasan sebagai bagian tak terpisahkan dari agenda pembangunan nasional. Melindungi mahasiswa dari kekerasan bukan sekadar tanggung jawab moral, melainkan investasi terbaik untuk menjamin masa depan bangsa yang produktif, adil, dan sejahtera.(*)

 

 

Penulis: Gea Dwi Asmara, Dosen Ekonomi Pembangunan, Universitas Ahmad Dahlan