Guru dan Perlawanan Intelektual

Rabu, 26 November 2025 - 21:30:18


Iis Suwartini,
Iis Suwartini, /

Radarjambi.co.id-Banyaknya para pejuang yang sering terlupakan diantaranya ialah sosok guru. Padahal mereka turut mengobarkan semangat perlawanan. Pada masa penjajahan, perlawanan tidak hanya semata-mata mengangkat senjata.

Perjuangan yang tak kalah penting yaitu perjuangan melawan kebodohan. Hal tersebut merupakan bentuk perlawanan paling nyata terhadap penjajahan, karena bangsa yang cerdas tidak mudah ditaklukkan.

Para guru dan tokoh pendidikan seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Hasyim Asy’ari menyadari bahwa penjajahan terbesar bukanlah penguasaan atas kekayaan alam, namun penguasaan atas pikiran.

Rakyat Indonesia dibodohkan, mereka tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Ketika pembodohan itu dibiarkan, maka pemiskinan dan perbudakan semakin merajalela. Itulah yang menyebabkan bangsa Indonesia dijajah dalam waktu yang cukup lama.

Pendidikan menjadi sarana untuk membuka wawasan, menanamkan rasa cinta tanah air, dan mengobarkan semangat perjuangan. Dari ruang-ruang belajar lahirlah kesadaran nasional untuk bersatu melawan segala bentuk penindasan.

Tokoh lain seperti Dr. Sutomo dan kelompok Budi Utomo juga menjadi pelopor pergerakan nasional melalui jalur intelektual. Mereka menggunakan pendidikan untuk membangun kesadaran kebangsaan dan memperjuangkan hak-hak rakyat.

Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir melawan penjajah melalui diplomasi, tulisan, dan orasi. Betapa pentingnya pendidikan untuk merubah nasib suatu bangsa. Guru memiliki andil dalam kemerdekaan bangsa Indonesia. Tidaklah cukup perjuangan hanya dengan berbekal senjata tanpa diimbangi dengan ilmu.

Belakangan ini guru yang menjadi simbol kehormatan dan kebijaksanaan kerap kali dipandang sebelah mata. Guru yang menegur dianggap mengekang, guru yang menasihati dianggap ikut campur.

Bahkan ada murid yang berani melawan, mencaci, atau mempermalukan guru di ruang publik. Begitu juga tidak sedikit guru yang dipenjarakan oleh orang tua siswa akibat memberi sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan.

Fenomena ini menunjukkan betapa rapuhnya adab dalam dunia pendidikan kita. Ketika integritas seorang guru dalam melaksanakan tugas justru menjadi bumerang bagi mereka. Padahal, tanpa penghormatan terhadap guru, ilmu kehilangan keberkahan. Seperti pepatah, “Ilmu tanpa adab ibarat api tanpa cahaya.”

Hari Guru bukan sekadar peringatan untuk mengenang masa lalu, melainkan momentum untuk meneguhkan kembali nilai-nilai perjuangan dan penghormatan. Guru adalah pahlawan yang berjuang dengan kesabaran, keteladanan, dan kasih sayang.

Mereka berjuang untuk membentuk karakter generasi penerus bangsa yang bermartabat. Walaupun Indonesia sudah merdeka, namun guru masih berjuang melawan krisis moral generasi penerus bangsa. Untuk itu, perlulah kita menghargai jasa mereka, karena perjuangan mereka belum usai.

Untuk mengembalikan marwah guru, dibutuhkan kesadaran kolektif antara sekolah, orang tua, dan masyarakat. Pertama, pendidikan karakter harus kembali menjadi ruh utama di sekolah.

Siswa tidak hanya diajarkan pengetahuan, tetapi juga ditanamkan nilai adab, empati, dan penghormatan kepada guru. Kedua, orang tua perlu menjadi teladan dalam bersikap. Anak akan belajar menghormati guru jika di rumah ia melihat orang tuanya menghargai peran pendidik.

Ketiga, sekolah perlu membangun komunikasi yang sehat dan saling menghargai antara guru, murid, dan wali murid. Selain itu, pemerintah juga harus hadir dengan kebijakan yang melindungi profesi guru dari kekerasan verbal maupun sanksi pidana.

Guru merupakan mitra dalam membentuk generasi bangsa. Maka, menghormati guru sejatinya bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga bagian dari tanggung jawab bersama. Perjuangan tidak lagi dilakukan di medan perang, melainkan di ruang-ruang pendidikan tempat karakter dan peradaban bangsa dibentuk.

Guru tetap menjadi pahlawan yang menyalakan cahaya ilmu menuntun kejalan yang benar. Sebagaimana para pahlawan dahulu mengorbankan jiwa demi kemerdekaan.

Untuk meneruskan perjuangan mereka, maka generasi muda berjuang dengan akhlak mulia dan keteladanan. Karena sejatinya“Menghormati guru, berarti menjaga martabat ilmu dan bangsa.” (*)

 

Penulis : Iis Suwartini, M.Pd. dosen Universitas Ahmad Dahlan mahasiswa S3 UNS