Radarjambi.co.id-Berita tentang gantung diri di Gunungkidul atau yang selama ini lebih dikenal dengan pulung gantung agaknya bukan isapan jempol belaka. Korban gantung diri mayoritas merupakan orang tua ataupun lanjut usia yang notabene sudah kenyang makan asam garam kehidupan. Konon faktor pemicunya beragam mulai dari kesepian, penyakit kronis, dan tekanan ekonomi. Gantung diri seolah sudah menjadi pola untuk mengakhiri hidup.
Hal ini tentu sangat menarik jika dibahas dari berbagai aspek. Secara psikologis, pilihan cara bunuh diri merupakan cara seseorang memaknai kematian itu sendiri. Dalam kondisi depresi berat, seseorang mengalami penyempitan cara berpikir.
Mengakhiri hidup merupakan pilihan paling tepat untuk lepas dari permasalahan hidup. Pada fase ini, seseorang tidak lagi dapat berpikir logis. Individu yang merasa hidupnya penuh kegagalan, hutang, atau kehilangan peran sosial sering kali mencari satu tindakan yang memberi rasa kendali terakhir atas hidupnya.
Keyakinan psikologis terhadap upaya mengakhiri permasalahan hidup ternyata dibentuk oleh cerita, pengalaman kolektif, dan lingkungan sosial. Maka setiap orang ketika memilih mengakhiri hidup tentu dengan cara yang berbeda-beda tergantung dari letak geografis, budaya dan kepercayaan masyarakat.
Ada beberapa orang yang memilih mengakhiri hidup dengan terjun ke sungai, lompat dari atap gedung bertingkat, ada pula yang meminum racun. Alam bawah sadar mereka telah merekam terkait peristiwa bunuh diri yang kerap mereka dengar dan saksikan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Hal inilah yang kemudian menimbulkan spekulasi bahwa pulung gantung merupakan warisan leluhur. Psikologi menyebut ini sebagai cultural scripting dimana budaya memberi ruang untuk mengakhiri perjalanan hidup dengan pola yang sama seperti yang dilakukan para leluhur.
Maka ketika orang bertanya, mengapa tidak memilih cara lain yang lebih mudah misalnya menenggak racun. Secara psikologis, orang yang sedang depresi mengalami penyempitan cara berpikir. Sehingga ia hanya tinggal melanjutkan pola yang telah mengakar dari zaman nenek moyang yaitu dengan menggantung diri. Pulung gantung adalah jawaban dari semua pertanyaan.
Dalam berbagai sumber bacaan, konon sebelum korban menggantung diri akan ada bola api yang berkeliaran disekitaran rumah. Ketika bola api itu singgah maka tak lama salah seorang pemilik rumah akan ada yang menggantung diri.
Bahkan ada yang menyebutkan bahwa pulung gantung akan selalu mencari mangsa. Ia akan memangsa warga yang sedang diliputi kesulitan hidup yang tak berkesudahan.
Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa faktor ekonomi memiliki korelasi kuat dengan tingkat bunuh diri, terutama di daerah pedesaan. Hal tersebut dapat diakibatkan karena kebutuhan hidup sulit terpenuhi, hutang menumpuk dan kurangnya perhatian keluarga.
Di sinilah mitos bekerja dengan sangat efisien. Pulung gantung berfungsi sebagai jalan pintas penjelasan. Ia memindahkan sebab dari ranah sosial ke ranah gaib. Bunuh diri tidak lagi dibaca sebagai kegagalan sistem yang ada tetapi karena mistik.
Secara historis, konsep pulung dalam budaya Jawa dapat dimaknai sebagai pertanda turunnya wahyu atau keberuntungan. Namun berbeda halnya di Gunungkidul, pulung mengalami penyempitan makna berubah menjadi simbol kematian (gantung diri).
Sayangnya mitos ini masih bertahan di tengah modernitas. Mitos akhirnya menutup ruang empati sekaligus diskusi kritis terkait permasalahan yang ada. Perbincangan terkait pulung gantung lebih menarik ketimbang membahas permasalahan kemiskinan yang kerap mendera masyarakat. Permasalahan ekonomi inilah yang sesungguhnya perlu mendapat perhatian khusus.
Sebagian orang sibuk menengadah ke langit mencari asal muasal pulung gantung. Padahal persoalannya tertanam di tanah. Tanah yang keras, kering, dan sulit untuk ditanami sebuah harapan. Sudah saatnya pulung gantung tidak lagi dibawa kedalam ranah budaya kita perlu mengembalikannya kedalam persoalan sosial.
Gantung diri, ekonomi, dan kebijakan berkaitan erat. Sebab kita akan terus percaya pada cahaya misterius, sambil menutup mata pada gelapnya kehidupan yang nyata. Mitos pulung gantung adalah kemiskinan yang terus diwariskan, tanpa pernah benar-benar dibicarakan.
Dari Gunungkidul, kita belajar bahwa yang membunuh harapan bukan semata kematian itu sendiri. Pola pikir yang dibiarkan tumbuh di tengah kemiskinan dan keputusasaan itulah yang membunuh manusia. (*)
Penulis : Iis Suwartini dosen Universitas Ahmad Dahlan mahasiswa S3
Direksi PalmCo Pastikan Target Produksi PTPN Regional 4 Tercapai
Bhumi Bambu Destinasi Wisata Alam Berbasis Lingkungan di Banyu Mas