Sudaryanto
Radarjambi.co.id-Dalam kepustakaan ilmu linguistik, tidak dikenal istilah bahasa yang teberkati (blessed language). Namun, dalam lembaran sejarah bangsa-negara ini, bahasa Indonesia menjadi bahasa yang teberkati.
Terutama sejak peristiwa pembacaan ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 silam. Sejak itulah, bahasa Indonesia sudah diberi berkat Tuhan sebagai bahasa persatuan. Terkait itu, bagaimana merawat berkat bahasa Indonesia pada saat ini dan mendatang?
Bahasa Indonesia memiliki dua berkat. Pertama, berkat kebahasaan. Pada 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia memiliki berkat sebagai bahasa persatuan. Berkat itu berdampak luas, salah satunya ialah menguatkan peran bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia.
Bahasa Melayu akhirnya mengalami transformasi status. Awalnya status bahasa etnis di daerah Riau (Sumatra) menjadi status bahasa persatuan/bahasa nasional (Indonesia). Kita patut bersyukur atas hal itu.
Bahasa Negara
Selanjutnya, bahasa Indonesia memiliki berkat lainnya sebagai bahasa negara (18 Agustus 1945; UUD 1945) dan bahasa internasional (9 Juli 2009; UU No. 24 Tahun 2009 dan 20 November 2023; Sidang Umum UNESCO). Atas kedua berkat itu, bahasa Indonesia dipelajari di dalam dan luar negeri. Para siswa dan mahasiswa belajar bahasa Indonesia di sekolah dan kampus. Sementara itu, warga negara asing (WNA) belajar bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA).
Tiga berkat kebahasaan di atas tentu berdampak positif. Salah satu dampaknya ialah banyaknya negara yang mengajarkan bahasa Indonesia. Sebut saja, Thailand, Vietnam, Australia, Jepang, dan Tiongkok.
Khusus di Tiongkok, penulis pernah mengajarkan bahasa Indonesia di Guangxi University for Nationalities (GXUN) pada 2013-2015. Saat ini, tercatat 54 negara yang mengajarkan bahasa Indonesia, baik di sekolah maupun di kampus/tempat kursus.
Kedua, berkat nonkebahasaan. Salah satu berkat nonkebahasaan ialah terbitnya produk hukum tentang bahasa Indonesia. Dimulai UUD 1945 (Pasal 36, Bab XV), UU No. 24 Tahun 2009, Perpres No. 63 Tahun 2019, hingga Permendikdasmen No. 2 Tahun 2025. Semua regulasi itu memperkuat peran dan kedudukan bahasa Indonesia. Di simpul ini, kita patut bertanya: apakah semua regulasi itu benar-benar telah diterapkan?
Terhadap pertanyaan di atas, penulis menjawab ringkas: sebagian telah diterapkan, sebagian lagi belum. Proses kodifikasi terhadap bahasa Indonesia sudah baik, bahkan maju. Contohnya, terbitnya pedoman ejaan (EYD Edisi V; 2022), pedoman pembentukan istilah (PUPI; 2017), dan kamus (KBBI Edisi VI; 2025). Kemudian Kongres Bahasa Indonesia telah digelar secara rutin lima tahunan. Ditambah lagi perkuliahan Bahasa Indonesia di kampus juga telah baik.
Tapi, kita juga masih prihatin betapa bahasa asing (baca: bahasa Inggris) masih bertaburan di ruang-ruang publik. Nama perumahan, pusat perbelanjaan, hingga institusi sekolah ditulis dalam bahasa Inggris.
Padahal, nama-nama tadi telah memiliki padanan Indonesia-nya. Kita juga masih mengelus dada betapa sebagian dari kita suka ber-Inggris ria (Jawa: keminggris). Lidah dan jemari kita lebih suka ber-Inggris ria daripada ber-Indonesia ria.
Trigatra Bangun Bahasa
Fenomena orang Indonesia ber-Inggris ria atau keminggris telah dikritik oleh George Quinn, Indonesianis asal Australian National University (ANU). Atas kritik itu, mestinya kita sadar dan tidak bawa perasaan (baper). Untuk itu, mari kita gelorakan kembali spirit Trigatra Bangun Bahasa.
Kita utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing. Spirit itu menjadi cermin prioritas kita terhadap penggunaan ketiga bahasa tersebut.
Sebagai penutup, kita patut renungkan kata-kata Agustinus Wibowo, penulis dan fotografer kenamaan. Dia berkata, bangsa yang kehilangan bahasa adalah bangsa yang kehilangan identitas.
Tentu, kita tidak ingin bangsa Indonesia kehilangan bahasa Indonesia sebagai identitasnya. Alih-alih kehilangan, justru kita rawat dan utamakan bahasa Indonesia dalam kehidupan saat ini dan mendatang. Semoga kita menjadi bangsa yang teberkati oleh bahasanya sendiri.(*)
Penulis : Sudaryanto, M.Pd., Dosen PBSI FKIP UAD; Anggota Majelis Tablig, Pustaka, dan Informasi PRM Nogotirto; Mahasiswa S-3 UNY; Humas ADOBSI