RADARJAMBI.CO.ID, JAKARTA,- Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memperkirakan baju impor baru maupun bekas yang masuk secara ilegal ke Indonesia bisa mencapai Rp 22 triliun per tahun. Angka itu berarti sekitar 15 persen dari total konsumsi produk pakaian jadi (garmen) nasional.
"Karena itu API mendukung upaya pemerintah memberantas impor baju ilegal, baik yang baru maupun bekas. Bea Cukai dan Kementerian Perdagangan perlu tegas memberantas dari pelabuhan-pelabuhan tikus hingga pasar-pasar tradisional," ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G Ismy, kemarin (16/2).
Dia mengatakan, maraknya impor baru maupun bekas membuat industri tekstil nasional semakin kehilangan pasar. Pasalnya baju impor ilegal menguasai sekitar 10-15 persen pasar tekstil nasional. "Itu antara baju baru dan baju bekas komposisinya hampir sama, sekitar 50:50 persen. Jadi dua-duanya harus diberantas karena nilainya besar," tuturnya.
Ernovian menerangkan, nilai impor baju resmi yang melalui izin Kementerian Perdagangan sebesar Rp 48,02 triliun. Sedangkan yang dipasok industri dalam negeri senilai Rp 95,35 triliun sehingga total pasokan ke pasar domestik seharusnya Rp 143,37 triliun.
"Tapi anehnya konsumsi pakaian Indonesia pada 2014 lalu mencapai Rp 154,3 triliun, jadi ada selisih Rp 10,9 triliun," ungkapnya.
Pihaknya memperkirakan angka itu merupakan baju-baju impor yang masuk secara ilegal sehingga tidak tercatat dalam daftar impor. Itu pun kemungkinan berupa baju baru yang diperjualbelikan di ritel modern.Â
"Sementara baju bekas yang dijual di pasar-pasar tradisional itu nilainya mungkin sama, sekitar Rp 11 triliun," lanjutnya.
Lebih lanjut Ernovian menambahkan, bila pakaian bekas impor tersebut masih banyak terjual di pasar Indonesia, maka akan berdampak signifikan bagi produksi pakaian lokal, terutama yang berasal dari pihak Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
"Yang paling banyak menderita tentu UMKM tekstil yang penjualannya juga ritel," sebutnya.
API menyayangkan masih banyaknya celah impor yang bisa dimanfaatkan untuk memasukkan pakaian jadi secara ilegal ke Indonesia. Seharusnya ceruk pasar itu bisa diisi oleh produk dalam negeri.
"Tidak hanya soal kerugian ekonomi, impor pakaian bekas juga menyangkut harga diri bangsa. Di luar negeri sudah dibuang kok masih dibeli," tandasnya.
Dia menawarkan solusi untuk memusnahkan pakaian bekas tersebut dengan cara mencacah dan mengembalikannya ke industri daur ulang untuk dibersihkan, kemudian bahannya digunakan sebagai barang untuk kebersihan, seperti alat pembersih lantai.
"Kalai dibakar nanti bertentangan dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup," jelasnya. (jpnn)