Oleh: Abd Mukti SAg
Sebuah istilah terkadang mampu menyihir dan memperdaya siapa pun, terlebih jika dikatakan dengan penuh retorika oleh tokoh terpandang. Hal ini nampaknya berlaku dalam wacana "Islam moderat" yang belakangan dikampanyekan kembali sebagian pihak, setelah sebelumnya gagasan ini sempat diusung gerakan liberal, yang akhirnya kandas dan ditolak umat Islam. Karenanya patut disayangkan jika beberapa tokoh negeri ini, malah mempropagandakan kembali gagasan basi "Islam moderat" ini.
Masih hangat dalam memori kita, ketika sambutan acara taaruf Kongres Umat Islam Indonesia VI di Yogyakarta, Menteri Agama menyatakan bahwa Islam Indonesia yang moderat adalah versi Islam yang diharapkan dunia (8/2/2015). Di hari berikutnya, Selasa (10/2/2015), pada acara yang sama, Wapres mengatakan pemikiran Islam Indonesia diharapkan bisa menjadi referensi terbesar di dunia, karena itu, umat Islam di Indonesia harus bisa menunjukkan Islam yang moderat dan toleran, menjadi jalan tengah, serta mampu menjaga kebersamaan dan kedamaian.
Apa yang disampaikan Wapres dan Menteri Agama itu, sebetulnya sudah pernah diopinikan juga mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidatonya di depan peserta APEC CEO Summit tahun 2011 di Honolulu, Amerika Serikat (12/11/2011).
SBY mengatakan Indonesia akan menjadi model Islam moderat yang berkomitmen menekan radikalisme dengan cara yang tidak melanggar HAM dan menjunjung demokrasi. Di sini terlihat, tokoh politik di negeri ini memiliki irama dan pandangan yang senada tentang Islam. Bahwa Islam harus menjadi moderat, jalan tengah, damai, anti radikal, toleran, sesuai HAM, menjunjung demokrasi dan dicintai ‘dunia’.
Sepintas gagasan "Islam moderat" merupakan gagasan yang seolah asli dan elegan. Akan tetapi, setelah ditelusuri, kampanye "Islam moderat" tidak lepas dari peristiwa WTC 11 September 2001, dimana kelompok Muslim dituduh bertanggungjawab atas kejadian tersebut. Akhirnya umat Islam menjadi tertuduh, dan diciptakanlah istilah "Islam radikal" untuk menggiring kaum Muslim agar menerima istilah "Islam moderat".
Dari berbagai pernyataan para politisi dan intelektual Barat terkait klasifikasi Islam menjadi "Islam moderat" dan "Islam Radikal" atau Ekstrimis, kita akan menemukan bahwa yang mereka maksud "Islam Moderat" adalah Islam yang tidak anti Barat (baca: anti Kapitalisme); Islam yang tidak bertentangan dengan sekularisme Barat, serta tidak menolak berbagai kepentingan Barat. Substansinya, "Islam Moderat" adalah Islam sekular, yang mau menerima nilai-nilai Barat seperti demokrasi dan HAM, serta mau berkompromi dengan imperialisme Barat dan tidak menentangnya. Kelompok yang disebut "Islam Moderat" ini mereka anggap sebagai "Islam yang ramah" dan bisa jadi mitra Barat.
Sebaliknya, menurut Barat, yang disebut "Islam radikal" atau "ekstrimis" adalah Islam yang menolak ideologi Kapitalisme-Sekular, anti demokrasi, dan tidak mau berkompromi dengan Barat. Dengan kata lain, "Islam radikal" adalah Muslim yang setia dengan pandangan hidup dan nilai-nilai Islam, serta taat pada ideologi dan syariat Islam. Atau, orang radikal adalah orang yang ingin menerapkan Islam kaffah. Bagi Barat, kelompok Islam ini bukan saja dianggap sebagai Islam yang "keras" dan anti-Barat, tetapi juga dianggap sebagai ancaman buat peradaban mereka.
Padahal dalam keilmuan Islam, tidak ada yang namanya Islam moderat, Islam ramah, Islam radikal, ataupun Islam ekstrimis. Karena Islam adalah agama (diin) yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad SAW, untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, dengan sesamanya, dan dengan dirinya sendiri.
Karena itu, Islam tidak cuma mengajarkan akidah yang mengharuskan setiap pemeluknya mengimani rukun iman. Islam juga mengharuskan setiap pemeluknya untuk terikat dengan syariat-Nya, baik yang berkaitan dengan masalah ibadah, muamalat (seperti sistem ekonomi), munakahat (seperti sistem pergaulan pria-wanita), hudud dan jinayat (seperti sistem sanksi dan peradilan), jihad, maupun ahkam sulthaniyah (seperti sistem pemerintahan), dsb. Inilah yang disebut Islam kaffah. Inilah keberislaman yang diperintahkan oleh Allah Swt. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya (kaffah), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimuâ€.(QS.Albaqarah : 208).
Jadi, Muslim yang baik adalah Muslim yang kokoh imannya, tekun ibadahnya dan baik pergaulannya. Profil orang semacam ini biasa kita sebut sebagai orang yang bertakwa kepada Allah Swt, Muttaqin. Parameternya adalah dengan syariat Islam yang tertuang dalam Kitab Suci Alquran dan Hadis Rasulullah.
Kalau ada seorang Muslimah yang berjilbab dan mungkin memakai cadar di mukanya, tentu ini salah satu upaya menjalankan syariat Islam yang wajib dilaksanakan. Begitu pula, kalau ada seorang Muslim yang berjubah, berjenggot dan celana "cekak" juga merupakan indikasi ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itu semua bukan sikap radikal tapi semata-mata menjalankan syariat-Nya. Sama halnya, seorang Muslim-Muslimah yang tidak mau nikah dengan orang yang beda agama, bukan berarti radikal, tapi memang itulah aturan dalam Islam.
Namun demikian, Islam juga punya konsep apa yang populer dengan sebutan Ukhuwah Islamiyah, persaudaraan atas dasar dan nilai-nilai Islam, baik sesama Muslim maupun dengan non Islam. Bahkan, orang zalim, seorang koruptor sekalipun tidak boleh kita benci, tapi justru kita disuruh untuk menolongnya, yaitu dengan cara mencegahnya agar tidak korupsi. Pandangan kita kepada seorang Koruptor bukan pandangan benci tapi iba dan kasihan. Karena mereka telah terjerumus dalam kemaksiatan dan kezaliman. Siapa lagi yang akan menolongnya kalau bukan kita sesama umat.
Itulah sejatinya hakikat Islam yang disepakati para ulama. Akan tetapi dilapangan, pelaksanaan Islam oleh para pemeluknya tidak selalu berbanding lurus dengan ajaran yang dipeluknya. Misal, korupsi jelas diharamkan Islam, tetapi para koruptor di negeri ini ada yang Muslim. Demikian pula dengan satu-dua aksi pengeboman terhadap rakyat sipil, juga jelas dilarang Islam, meski pelakunya ternyata ada yang Muslim. Jika kasus korupsi tersebut mewakili Muslim moderat, kemudian kasus pengeboman mewakili Muslim radikal, apakah masuk akal jika kemudian Islam yang disalahkan? Jelas tidak, karena kesalahan bukan pada Islam, tetapi pada masing-masing oknum pelakunya.
Semua tindakan itu jelas bertentangan dengan Islam, dan tidak ada kaitan dengan Islam. Jika kemudian ada oknum Muslim yang melakukan kesalahan, seharusnya ia dilihat sebagai orang yang melakukan pelanggaran terhadap (hukum) Islam, dan bukan sedang mempraktikan ajaran Islam. Wallahu Alam. (Penulis adalah Pemerhati Kehidupan Beragama).
Mewakili Pj Wali Kota, Staf Ahli Moncar Tutup Diklat PKA Pemerintah Kota Jambi