RADARJAMBI.CO.ID, JAMBI- Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Jambi mengecam dukungan dan kunjungan Duta Besar Denmark kelokasi PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) di Jambi, yang kabarnya didampingi oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Men-LHK) dan Gubernur Provinsi Jambi, Selasa (27/9).
Koordinator AGRA Jambi, Pauzan Fitrah menyatakan bahwa dukungan pendanaan yang selama ini dikucurkan oleh Pemerintah Denmark terhadap PT REKI, berkontribusi menyokong praktek pengusiran Suku Anak Dalam (SAD) yang hidup di hutan tersebut jauh sebelum negara ini dibentuk.
“Jika pelestarian hutan untuk penopang kehidupan seperti yang digemborkan negara Eropa dan PT REKI, lantas kenapa kehidupan manusia di hutan tersebut diusir,†tegas Pauzan.
“Kenapa SAD yang sejatinya penjaga hutan dan praktisi konservasi hutan sejak dulu tidak pernah dianggap ada dalam setiap rencana dukungan mereka,†tandasnya.
Depati SAD Dusun Pangkalan Ranjau menyesalkan kunjungan tersebut. Â Â Â
“Keluarga besar SAD dirayu agar numpang di perusahaan, padahal hutan kami adalah warisan nenek moyang, untuk masa depan generasi kami,†kata Jupri.
Bahkan, sambung Jupri, kami diancam dan dituduh sebagai perusak hutan. Â Â Â
“Kami diancam akan dihukum karena hidup berdampingan memfaatkan tanah ulayat kami sendiri,†aku Jupri.
Ditambahkan Pauzan, pihaknya meminta berbagai pihak termasuk Pemerintah Denmark, agar lebih objektif dalam memberikan dukungan.
“PT REKI yang selama ini terbukti melakukan pelanggaran Hak Azazi Manusia (HAM) terhadap petani dan SAD, justru mendapat dukungan yang dibungkus atas nama pembangunan hijau berkelanjutan," tegasnya.
Ditambahkan Pauzan, PT REKI merupakan perusahaan patungan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang konservasi hutan dan keanekaragaman hayati, mendapat dukungan dari dana public internasional, salah satunya dari Bank Pembangunan Denmark.
"Perusahaan yang bergerak di bidang industri jasa lingkungan ini merupakan penyumbang angka pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi terhadap SAD dan petani yang lebih dulu berada di wilayah konsesi mereka," jelasnya.
"Perusahaan ini juga tidak pernah menjalankan prinsip Free, Prior, Informed, Conset (FPIC), sebagai standar HAM internasional yang engedepankan persetujuan masyarakat setempat untuk mengatakan iya atau tidak terhadap sebuah rencana pembangunan yang memiliki efek pada kehidupan mereka," pungkasnya.
Reporter: Gustav
Soal Pengangkatan Kades Pelawan Jaya, Pj Bupati Sarolangun Tunggu Balasan Penafsiran Resmi PTUN
Sidak Proyek ke Limun, Komisi III Temukan Banyak Kejanggalan
Siswi SMA 2 Tebo Bicara Tentang Krisis Iklim Di KTT Iklim PBB