PT Reki Bantah Tuduhan AGRA Jambi, Joni: PT Reki Sangat Menjunjung HAM

Senin, 03 Oktober 2016 - 22:24:16


/

RADARJAMBI.CO.ID, JAMBI - PT Retorasi Ekosistem Indonesia (Reki) adalah perusahaan  Restorasi Ekosistem di Hutan Produksi yang mendapat mandat dari pemerintah indonesia untuk memulihkan kawasan hutan yang telah terdegrasi di hutan harapan. Dalam menjalankan aktivitasnya, PT Reki sangat menjunjung tinggi  Hak Asasi Manusia (HAM) dan mengakui keberadaan masyarakat adat, sesuai deklarasi HAM dan The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP).

Untuk mendukung hal tersebut PT Reki telah melakukan dialog dengan masyarakat Batin Sembilan yang berada di dalam kawasan Hutan Harapan.  Hasil dari dialog, sekitar 104 keluarga dari 228 keluarga yang berada di Hutan Harapan telah sepakat untuk menjalin kerjasama pengembangan ekonomi berkelanjutan dan pengelolaan ruang serta kesepakatan tata kelola kawasan untuk menunjang kehidupan dan keberlanjutan budaya Batin Sembilan. Kelompok yang telah mencapai kesepakatan ruang dan tata kelola tersebut adalah kelompok Gelinding, Tanding, Mitrazone dan Simpang Macan Luar.

"Untuk Kelompok Batin Sembilan lainya sedang dalam proses kesepakatan ruang dan tata kelola areal yang diklaim dengan melibatkan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),  pemerintah provinsi dan kabupaten," sebut Joni Rizal, Manajer Komunikasi PT Reki, kemarin.

"Terkhusus kelompok Batin Sembilan Pangkalan Ranjau yang diketuai Jupri proses mencapai kesepakatan justru difasilitasi oleh AGRA. Pada tahun 2016 telah dua kali dilakukan pertemuan yang difasiltasi oleh Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat KLHK," sambungnya.

Menurut Joni, salah satu hasil pertemuan tersebut adalah bahwa untuk penyelesaian klaim kelompok Pangkalan Ranjau akan  dilakukan pendataan anggota kelompok dan luasan areal untuk proses mediasi selanjutnya.  Disamping itu, jika usulan masyarakat sebagai hutan adat, disarankan Kelompok Jupri dan AGRA segera melakukan proses pengusulan ke Pemerintah Daerah.

"Kami sangat menghargai keberadaan masyarakat Batin Sembilan yang hidup bergantung kepada hutan  dan menjadi mitra utama dalam melakukan restorasi ekosistem di Hutan Harapan untuk peningkatan ekonomi dan kesejahteraan Batin Sembilan," ungkapnya.

Pada akhir 2015, PT Reki merupakan pengelola konsesi restorasi ekosistem (RE) pertama di Tanah Air yang menyatakan komitmen penghormatan hak asasi manusia (HAM), sosial dan pelibatan masyarakat atau Human Rights, Social and Community Engagement Commitment (HARSCEC). Komitmen ini menjadi acuan pengelolaan Hutan Harapan di Jambi dan Sumatera Selatan.

Melalui komitmen ini, lanjut Joni Manajemen Hutan Harapan akan memastikan kegiatan restorasi ekosistem memberikan dampak peningkatan kehidupan masyarakat. Komitmen tersebut disampaikan di Palembang pada Senin, 30 Novembr 2015 dan di Jambi pada 2 Desember 2015. Inti dari komitmen ini antara lain uji tuntas (due diligent) penghormatan HAM dan implementasi persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (Padiatapa) atau sering disebut prinsip freedom, prior, informed, and consent (FPIC) terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal.

Implementasi lainnya dari komitmen ini adalah penanganan keluhan dan penyelesaian konflik yang bertanggung jawab serta secara aktif, terbuka dan konstruktif melibatkan para pemangku kepentingan lokal, nasional dan internasional.

Selain itu, pemberdayaan dan pengembangan masyarakat; menghormati HAM; pengakuan, penghormatan dan penguatan hak pekerja; serta kepatuhan dengan norma lokal dan semua hukum yang relevan.

"Komitmen ini menjadikan manajemen Hutan Harapan sebagai perusahaan restorasi ekosistem pertama yang menyatakan komitmen terhadap penghormatan HAM," tegasnya.

Disampaikannya, konsultasi publik ini dibacakan di hadapan pejabat pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi Jambi dan pemerintah daerah yang wilayahnya masuk ke dalam kawasan Hutan Harapan. Turut menghadiri dan memberikan sumbangan pikiran dan ide sejumlah aktivis NGO, seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), United Nation Development Project (UNDP), Walhi, KKI Warsi, CAPPA, Agra, tokoh adat, Serikat Petani Indonesia (SPI), AGRA dan lain-lain serta pekerja media. Tentang pengumuman kebijakan HAM bisa dilihat di link ini: http://harapanrainforest.org/read/komitmen-ham-hutan-harapan.

Tentang Restorasi Ekosistem 

Pemerintah RI mengeluarkan kebijakan restorasi ekosistem (RE) di hutan produksi secara resmi melalui SK Menteri Kehutanan No 159/Menhut-II/2004. Pada 2005, untuk pertama kalinya di Indonesia ditetapkan areal sekitar 100.000 hektare di Sumsel dan Jambi sebagai kawasan Restorasi Ekosistem (RE). 

Kebijakan RE ini terlahir dari kekhawatiran akan hilangnya hutan alam di kawasan hutan produksi, rentannya pengelolaan kawasan hak pengusahaan hutan (HPH), dan perubahan hutan alam menjadi peruntukan lainnya. Dari 16 juta hektare hutan dataran rendah Sumatera pada 1900, kini hanya tersisa sekitar 500 ribu hektare saja. Sebanyak 20 persennya adalah Hutan Harapan.

Hutan Harapan membentang di dua kabupaten dalam Provinsi Jambi, yakni Sarolangun dan Batanghari, dan di Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumsel.  Izin pengelolaannya diberikan kepada Unit Manajemen Hutan Harapan bentukan Burung Indonesia, Birdlife International dan Royal Society for the Protection of Birds.

Karena pemerintah mensyaratkan badan hukum perseroan terbatas (PT), maka didirikan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki). Izin RE pertama didapat pada 2007, yakni untuk kawasan seluas 52.170 hektare di Kabupaten Musi Banyuasin (SK Menhut No 293/Menhut-II/2007). Izin kedua keluar pada 2010 untuk areal seluas 46.385 hektare di Kabupaten Batanghari dan Sarolangun (SK Menhut No 327/Menhut-II/2010). Total luas izin konsesinya 98.555 hektare.

"Hutan Harapan merupakan sumber serta areal resapan air (water catchment area) penting bagi masyarakat Jambi dan Sumsel. Sungai Batang Kapas dan Sungai Meranti adalah hulu Sungai Musi yang mengalir melalui Sungai Batanghari Leko. Sungai ini adalah sumber kehidupan utama masyarakat Sumsel, baik untuk air bersih, perikanan, pertanian, perkebunan maupun sarana transportasi," papar Joni.

Sungai lainnya adalah Sungai Lalan, yang merupakan sumber kehidupan masyarakat Bayunglincir dan sekitarnya. Sungai Kandang yang juga berhulu di Hutan Harapan merupakan sumber air penting bagi masyarakat di sekitar Sungai Bahar, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi. Pada musim kemarau 2015 lalu, sungai-sungai yang berhulu di Hutan Harapan tetap mampu menangkap dan menyuplai air bagi masyarakat Sumsel dan Jambi.

Hutan Harapan dihuni oleh lebih dari 307 jenis burung, 64 jenis mamalia, 123 jenis ikan, 55 jenis amfibi, 71 jenis reptil, 728 jenis pohon. Sebagian flora dan fauna tersebut tidak ditemukan di hutan lainnya di Indonesia bahkan di dunia. Sebagian lagi sudah sangat langka dan terancam punah, seperti harimau sumatera, gajah asia, beruang madu, ungko, bangau storm, rangkong, jelutung, bulian, tembesu dan keruing.

Masyarakat Batin Sembilan adalah kelompok masyarakat yang hidup di alam bebas yang memiliki kearifan sendiri dalam mengelola hutan. Mereka memanfaatkan Hutan Harapan dengan mengambil hasil hutan bukan kayu, seperti rotan, jerenang, madu sialang, getah jelutung, damar, serta tanaman obat-obatan. Hutan Harapan menjadi kawasan hidup dan jelajah sekitar 300 kepala keluarga Batin Sembilan.

Seperti diberitakan sebelumnya, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Jambi mengecam dukungan dan kunjungan Duta Besar Denmark kelokasi PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) di Jambi, yang kabarnya didampingi oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Men-LHK) dan Gubernur Provinsi Jambi, Selasa (27/9).

Koordinator AGRA Jambi, Pauzan Fitrah menyatakan bahwa dukungan pendanaan yang selama ini dikucurkan oleh Pemerintah Denmark terhadap PT REKI, berkontribusi menyokong praktek pengusiran Suku Anak Dalam (SAD) yang hidup di hutan tersebut jauh sebelum negara ini dibentuk.

“Jika pelestarian hutan untuk penopang kehidupan seperti yang digemborkan negara Eropa dan PT REKI, lantas kenapa kehidupan manusia di hutan tersebut diusir,” tegas Pauzan.

“Kenapa SAD yang sejatinya penjaga hutan dan praktisi konservasi hutan sejak dulu tidak pernah dianggap ada dalam setiap rencana dukungan mereka,” tandasnya.

Depati SAD Dusun Pangkalan Ranjau menyesalkan kunjungan tersebut.        

“Keluarga besar SAD dirayu agar numpang di perusahaan, padahal hutan kami adalah warisan nenek moyang, untuk masa depan generasi kami,” kata Jupri.

Bahkan, sambung Jupri, kami diancam dan dituduh sebagai perusak hutan.    

“Kami diancam akan dihukum karena hidup berdampingan memfaatkan tanah ulayat kami sendiri,” aku Jupri.

Ditambahkan Pauzan, pihaknya meminta berbagai pihak termasuk Pemerintah Denmark, agar lebih objektif dalam memberikan dukungan.

“PT REKI yang selama ini terbukti melakukan pelanggaran Hak Azazi Manusia (HAM) terhadap petani dan SAD, justru mendapat dukungan yang dibungkus atas nama pembangunan hijau berkelanjutan," tegasnya.

Ditambahkan Pauzan, PT REKI merupakan perusahaan patungan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang konservasi hutan dan keanekaragaman hayati, mendapat dukungan dari dana public internasional, salah satunya dari Bank Pembangunan Denmark.

"Perusahaan yang bergerak di bidang industri jasa lingkungan ini merupakan penyumbang angka pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi terhadap SAD dan petani yang lebih dulu berada di wilayah konsesi mereka," jelasnya.

"Perusahaan ini juga tidak pernah menjalankan prinsip Free, Prior, Informed, Conset (FPIC), sebagai standar HAM internasional yang engedepankan persetujuan masyarakat setempat untuk mengatakan iya atau tidak terhadap sebuah rencana pembangunan yang memiliki efek pada kehidupan mereka," pungkasnya.


Reporter: Gustav