Opini itu tendangan bebas, bisa langsung ke gawang atau sekedar diumpankan kembali pada teman, namun tendangan bebas juga bisa menghasilkan bola keluar dan lawan mendapat lemparan ke dalam, blunder bagi yang melakukannya, Perumpamaan ini langsung menyeruak ketika secara tak sengaja saya membaca opini yang ditulis seorang kawan tentang Peodalisme dalam Baju adat yang dikenakan pasangan Fachrori Syafril.
Sebagai sebuah opini tulisan tersebut saya nilai sah – sah saja, apalagi tulisan itu hanya lah sebuah opini berdasarkan pandangan pribadi nyaris tanpa rujukan sama sekali, sebagaimana lazimnya sebuah opini. Secara jujur juga saya melihat ada maksud tendensius yang ingin disampaikan sang penulis seolah Fachrori Syafril sebagai representasi feodal baru dinegeri Jambi, yang menurut saya suatu pandangan naif yang kering wawasan, karena mungkin keterbatasan informasi kawan satu ini tak bisa lagi membedakan antara kebudayaan, atribut dalam politik dan kata feodal.
Ok dari pada ikut mendumel saya coba meluruskan batasaan antara ketiga variabel yang dihubungkan secara serampangan dalam opini tersebut.
Saya mulai dari budaya atau kebudayaan yang merupakan keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasan-kebiasan lainnya yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota masyarakat ( Saifudin, 2008 hal 82), sebuah kebudayaan atau adat istiadat bisa hilang dan terkubur oleh waktu dan massa jika masyarakat atau orang disebuah komunitas besar yang disebut bangsa, tidak mau mengembangkan dan turut bangga atas sebuah kebudayaan yang dimilikinya, maka kebudayaan itu akan lenyap dengan sendirinya.
Berbicara kebudayaan kita tidak hanya berbicara seni panggung, arsitektur, candi, bahasa dan kebiasaan saja, namun lebih luas dari itu ada baju adat yang memberikan gambaran kebesaran dari cerita lampau sebuah daerah, yang bisa di banggakan kepada generasi setelahnya, menarik jika kita kaitkan hal ini dengan Pilkada Provinsi Jambi, ada salah satu pasangan calon yang dengan kesadaran tinggi mau mencerminkan dan mengangkat kembali kebudayaan istiadat Jambi, penulis memandang ini langkah baik untuk generasi Jambi yang mulai hedonis, menganggap kemeja putih merupakan simbol sederhana dan merakyat, hal ini bila terus dibiarkan akan mampu menggerus kebudayaan asli yang ada di Jambi, siapa lagi yang mau membanggakan Jambi dan adat istiadatnya jika bukan penduduk Jambi itu sendiri, maka akan naif jika kita bilang mengenakan baju adat adalah simbol kembalinya feodalisme dalam sebuah kepemimpinan, hal ini tidak dapat di ukur apalagi tidak ada kutipan argumen pakar yang mendukungnya.
Terkait dengan baju ini saya teringat dengan strategi atribut yang di mainkan presiden Jokowi, yaitu pada kemeja putih yang dianggap merakyat nan sederhana, kemeja putih ini dipopulerkan oleh bapak presiden jokowidodo di saat kampaye dan kabinet kerjanya, yang lebih lanjut ditegaskan dalam permendagri nomor 68 tahun 2015 tentang perubahan kedua atas permendagri nomor 60 tahun 2017 tentang pemakaian baju dinas PNS dilingkungan pemendagri dan pemerintahan daerah yang dikeluarkan Tjohjo Kumolo pada akhir 2015.
Kemeja putih ini diidentikkan dengan kesederhanaan dan kesucian, kemeja putih juga di interprestasikan sebagai kemeja pekerja, yang menandakan mereka siap untuk bekerja. Sehingga bukan berarti jika ada yang mengenakan selain kemeja putih maka dianggap feodal, atau lebih dari itu! menggunakan selain baju putih atau baju adat kerajaan dianggap menggaungkan politik simbol, ini sangat tidak terukur dan tidak relevan saya fikir.
Mari kita lihat sejarah pembentukan Provinsi Jambi yang merupakan pecahan dari provinsi provinsi terdekat darinya pada tahun 1957, yang berupa pembentukan swantantra tingkat satu sumatera barat Jambi dan riau, yang kemudian ditetapkan menjadi UU nomor 61 tahun 1958 yang terdiri dari 5 kabupaten dan 1 kota (www.insklopedia.com 2020), karena Jambi merupakan bahagian dari sumatera bahagian tengah dan tarik menarik kerinci, yang masuk dalam kabupaten pesisir selatan provinsi Sumatera Barat, maka tidak heran provinsi ini memiliki sedikit karakteristik yang hampir mirip dengan minang, demikian juga dengan nilai budaya dalam cerita rakyat Jambi.
Menurut Sjarifoedin 2011, hal 253 istiadat Jambi limpo berasal dari perjanjian Raja Tigo Selo dari kerajaan pagaruyung sebagai “pusek jalo” (kumpulan ikan) yang tidak boleh saling melupakan dengan asal kata “jan bu lupo” yang memiliki arti jangan ibu lupa dengan kerajaan yang ada di rantau, Jambi limpo merupakan kerajaan minangkabau, minangkabau sebagai suatu wilayah budaya yang berpusat di sumatera barat yang lebih luas di bandingkan dengan sumatera barat itu sendiri, yang meliputi tiga provinsi yang ada di Indonesia, yang meliputi riau, sumatera barat dan Jambi, sehingga kejayaan istiadat Jambi yang menjadi cerita lampau pada masa kejayaan kerajaan di provinsi ini. Bukanlah hal berbau politik sukuisme jika ada salah satu pasangan yang mengangkat tema baju adat sultan thaha saifudin dan rangkayo hitam. Apalagi dikatakan feodal, menyimbolkan sebagai raja atau penguasa dengan jelata. Ini sangat tidak refresentatip dan dangkal.
Sebenarnya penulis tersebut juga tidak paham benar apa makna feodal dalam tulisannya, mari kita telisik makna feodal itu sendiri, kata feodal berasal dari fe’o’dal/feodal/ berhubungan dengan susunan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan, sikap, cara hidup, dan sebagainya, dan ini lebih dekat dengan cara kepemilikian tanah pada abad pertengahan di eropa. (KBBI.web.id 2020)
Kata feodal sendiri berasal dari bahasa latin “feudum” yang berarti sebidang tanah yang diberikan yang bersifat sementara kepada seorang penguasa sebagai ujud imbalan yang diberikan atas pelayanan yang diberikan kepada penguasa, menelisik dari makna katanya dan pesan yang ingin disampaikan rasanya jauh sekali, jika pakaian adat yang dipakai oleh pasangan bapak Fachrori Umar dan bapak syafril Nursal merupakan simbol feodalisme penguasa dan jelata, namun ini merupakan bentuk pengakuan dan publikasi adat dan budaya Jambi yang belum dikenal betul oleh penduduknya, sebagai generasi muda seharusnya kita bangga dengan hal hal ini, bukan malah sarkatis dan mempolitisasi budaya, apalah arti nama besar provinsi ini, jika generasinya saja tidak benar benar mencitai adat budaya dan bahkan menjustivikasi adat kedalam pola pandang politik yang tidak tepat, mari bergandeng tangan menuju Jambi berkah yang dirahmati oleh Allah.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau mengakui sejarahnya, bangga dengan budaya dan adat istiadat, dan menaikkan kembali istiadat lama. Insyaallah berkah.
Ditulis oleh: Sekretaris Umum Peduli serumpun Jambi, Tuti Rosmalina, SH.i,M.A
Mahasiswa Kukerta Universitas Riau Jadi Relawan Covid-19 di Dinas Sosial Kota Jambi
Presiden Jokowi Tersenyum di Tengah Pandemi Covid-19 Yang Sedang Melanda Indonesia, Ada Apa?
Kerjasama ASEAN Dalam Menanggulangi Covid-19 : Bagaimana Dampaknya Kepada Masyarakat Indonesia?
Tantangan Industri Kelapa Sawit Jambi Berbenah atau Tenggelam
Cegah Penyebaran Narkoba dan HIV/AIDS, Pemkot Jambi Gelar Rakor Bersama Stakeholder