Radarjambi.co.id-Pada tahun 2002 silam Presiden Megawati Soekarnoputri membentuk sebuah lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan TindakPidanaKorupsi(tvonenews.co 22/8/23). Lalu, bagaimana dampak lembaga tersebut dalam penangan kasus korupsi di Indonesia?
Munculnya dinasti baru
Harapannya, dengan berdirinya lembaga tersebut dapat menangani kasus korupsi secara khusus, namun pada nyatanya kasus karupsi di Indonesia tak kunjung menemui titik terang.
Bahkan kasus korupsi semakin melebar ke segala penjuru dan berbagai instansi, Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) menyebutkan korupsi saat ini lebih gila daripada dimasa Orde Baru, bukan karena jumlah atau besarannya dana yang dikorupsi, melainkan semakin luasnya orang-orang yang mampu berbuat tindak pidana korupsi tersebut(CCN Indonesia 9/6/21).
Indonesia memanggil
Telah lewat 24 tahun lebih orde baru tergantikan setelah 32 tahun menduduki kekuasaan, semula berharap korupsi sudah berhenti juga dengan pelengserannya, ternyata korupsi saat ini lebih merajalela, menyebar ke lingkungan yang paling kecil.
Ini menandakan bahwa jarak pandang KPK masih belum mampu menyangkup ke segala arah yang kita tempati, masih banyak perbaikan yang harus dilakukan oleh lembaga tersebut.
Namun dengan menuntut pembubaran terhadap lembaga tersebut bukanlah sebuah solusi, berdasarkan penuturan Adnan, “kalau era orde baru itu hanya belasan skornya.
Masuk era reformasi kamudian beranjak membaik, terutama setelah KPK lahir, kerja KPK sudah tampak, ya kita sudah terus menerus skor naik bahkan puncak di 2019 itu ada kenaikan skor yang lumyan.
Kita skor mencapai 40” ujarnya. Pendapatnya itu mengacu pada skor indeks presepsi korupsi (IPK) yang menunjukkan tren meningkat sejak Orde Baru, bahkan mencatat skor hingga 40 pada tahun 2019 lalu (CCN Indonesia 9/6/21).
Banyaknya kasus yang terjadi, seoalah-olah hal ini sudah menjadi kebiasan yang masyhur dilakukan ketika mendapatkan mandatsebagaipenanggungjawab.
Hal ini juga menerangkanbahwa jabatan dan daerah bukanlah penyebab utama seseorang melakukan tindak pidana tersebut, melainkan kepribadian yang rendah moral dan integeritas buruk sehingga mendorong seseorang melakukan berbagai penyimpangan.
Beranggapan atau membiarkan kebiasaan buruk inilah yang menjadi penyebab rendahnya moral dan buruknya integeritas pada diri seseorang, sehingga membuat ia lupa siapa tuan dari raja.
Korupsi tak akan serta-merta meninggalkan negara ini dengan halus, perlu langkah-langkah yang tegas untuk mengusir mental korupsi dari Ibu Pertiwi.
Merangkul sesama mungkin adalah usaha yang tepat untuk membantu KPK dalam mendepak korupsi di Indonesia, bukan dengan membubarkannya. Jika terjadi pembubaran terhadap KPK maka akan ada jeda atau ruang bagi para pelaku untuk mencari jalan tikus lainnya.
Dampak korupsi sangat jelas dapat kita rasakan, berupa kesejahteraan yang tak merata, menurunnya pendapatan negara dari sektor pajak, meningkatnya hutang negara, dan terjadi salah sasaran bansos, itu semua akibat dari pembiaran atau pelumrahan atas tindak pidana korupsi.
Manusia akan mengikuti kebiasaan lingkungannya, edukasi mengenai amar ma’ruf nahi mungkar sedari kecil sangat perlu ditanamkan pada lingkungan kita sebagai bentuk pencegahan dan perlawanan terhadap penyelewengan atau penyimpangan disekitar.
Budaya merangkul sesama untuk mendepak tindak korupsi telah lama pudar, sehingga tindak pidana tersebut bisa menjadi kebiasaan atau hal yang lumrah dimata masyarakat.
Hal ini sangat berbahaya bagi anak penerus bangsa apabila mereka juga memandang kasus korupsi sebagai tindakan yang biasa-biasa saja, perlu tindakan segera untuk mengatasi krisis mental korupsi di Indonesia.
Lantas, dari siapa?
Hal yang sebenarnya dibutuhkan oleh negara dalam memerangi korupsi, lembaga besar sudah ada, berbagai komunitas sudah ada, lalu apa yang kurang? Indonesia masih kurang keikut sertaan berbagai elemen masyarakat dalam saling mengingatkan bahayanya mental korupsi.
Kita bisa memulai dari diri masing-masing dalam hal yang kecil, yaitu; berani mengatakan salah kepada orang yang mengambil bagian lebih dari hak nya, mengingatkan anak-anak untuk disiplin mengenai waktu, merangkul terpidana semasa rehabilitasi untuk pulih dalam moral dan integeritas yang lebih baik.
Dan mungkin Indonesia dapat mengikuti langkah-langkah negara lain untuk memperketat UU anti korupsi, agar kedepannya orang-orang yang masih memiliki mental atau niatan korupsi bisa merasa takut dan jera dengan hadirnya UU yang baru, sehingga bisa membantu dalam menekan angka korupsi di Indonesia. (*)
Penulis : Hafid Ulinnuha, Muhammad Ghifari Hardian, Haris Alden, Dwi Mulyadi, Fakhri Azhar Azali, Muhammad Zaini Abdullah Mahasiswa S-1, Program Studi Psikologi, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarata
Efek Samping Terhadap Konsumsi es Teh Manis yang Sedang Viral Dimasa Sekarang
Ragam Bahasa Anti korupsi dan Opini Tentang Era Digital : Peran Pendidikan dan Kesadaran Publik
KPU Gelar Debat Publik Kedua Calon Bupati dan Wakil Bupati Merangin