Proyek Pemerintah Membuat Warga Rempang Resah

Sabtu, 11 November 2023 - 18:35:06


/

Radarjambi.co.id-Kasus rempang yang terjadi di Batam merupakan salah satu contoh konflik agraria yang melibatkan berbagai pihak,seperti masyarakat adat,pemerintah,dan perusahaan.

Konflik ini berawal dari rencana pembangunan kawasan industri di Pulau Rempang oleh PT.Makmur Elok Graha,yang mengklaim memiliki hak atas seluas 1200 hektar.

Namun,masyarakat adat yang telah menempati tanah tersebut sejak lama menolak untuk digusur dan mempertahankan hak hak mereka.

Bentrokkan tersebut antara warga dan keamanan pun terjadi,yang mengakibatkan puluhan orang terluka dan ditangkap

Menurut saya,kasus rempang ini menunjukkan betapa pentingnya pengakuan dan perlindungan terhadap hak hak masyarakat adat atas tanah yang mereka tempati.

Sebagai negara yang mengakui keberadaan masyarakat adat dalam konstitusi dan peraturan perundang undangan,indonesia harus menghormati dan melindungi hak hak tersebut,sesuai dengan prinsip HAM dan demokrasi.

Pembangunan ekonomi tidak boleh mengorbankan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat adat,yang merupakan bagian dari kakayaan budaya dan alam Indonesia.

Pada hal ini, proyek pembangunan dari pemerintah dapat membunuh atau memecah Masyarakat sekitar terutama Masyarakat dengan adat suku yang kuat.

Pemerintah tidak memikirkan bahwa adat di daerah tersebut memiliki rasa persaudaraan yang kuat. Hak asasi yang mereka dapatkan tidak adil dalam hal kepemilikan lahan.

Dalam melakukan proyek atau program kerja, pemerintah seharusnya mengetahui terlebih dahulu apakah Masyarakat sekitar setuju dengan proyek yang ditentukan.

Walaupun batam adalah kota yang memiliki jalur perdagangan luas anatar negeri, namun pemerintah seharusnya tidak semena mena terhadap lahan Masyarakat yang ditempati oleh orang adat.

Menurut saya salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan konflik rempang tersebut adalah dengan mengadakan dialog atau musyawarah yang melibatkan ketiga pihak yakni pemerintah,pihak perusahaan dan juga masyarakat adat itu sendiri dengan melibatkan mediator yang netral dan profesional.

Dialog tersebut juga harus berdasarkan pada data dan juga fakta yang akurat,serta harus menghargai aspirasi dan kebutuhan masing masing pihak.

Selain itu,dialog tersebut juga harus mengedepankan prinsip keadilan dan juga harus sesuai dengan norma hukum yang ada agar tidak adanya kekerasan dan intimidiasi yang terjadi saat dialog/musyawarah tersebut berlangsung.Dengan demikian,diharapkan dapat tercapai solusi yang damai dan masalah tersebut bisa terselesaikan (*)

 

Penulis: M Akmal Ramadandi dan Ahmad Anhar Azhari Mahasiswa UAD Jogya