Radarjambi.co.id-Kasus Kopi Sianida Jessica Wongso yang menewaskan Mirna Solihin pada bulan Januari 2016 menjadi salah satu kasus kriminal paling populer di Indonesia.
Sejauh ini Jessica Wongso menjadi target yang menarik perhatian publik karena ia dianggap sebagai sosok yang bertanggung jawab atas kematian temannya, Mirna.
Meskipun kasus ini telah lama berakhir, tetapi masih banyak masyarakat yang mempertanyakan hukuman yang dijatuhkan pada Jessica Wongso.
Namun, jika dijabarkan kembali, masih ada beberapa kejanggalan dalam kasus ini yang belum menemui titik terang sehingga menurut saya kasus ini belum bisa diambil putusan akhirnya :
KRONOLOGI KEJADIAN DI TEMPAT PERKARA
Dikutip dari Antara News dan CNN Indonesi Kejadian bermula saat mereka sepakat pertemuan reuni tersebut diadakan di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta Pusat, pada 6 Januari 2016, pukul 17.00 WIB.
Jessica Wongso datang lebih dulu sekitar pukul 15.32 WIB, dengan alasan menghindari 3 in 1 atau aturan lalu lintas yang mewajibkan minimal 3 orang dalam satu mobil. Karena datang dulu, Jessica memesan es kopi Vietnam dan dua cocktail.
Setelah pesanan datang, Mirna Salihin dan Hani sampai di Kafe menghampiri Jessica yang duduk di meja nomor 54. Kedatangan mereka berdua disambut oleh Jessica, mereka bertegur sapa dan menanyakan kabar.
Setelah basa-basi selesai, Mirna dan Hani duduk. Setelah duduk, Mirna meminum kopi vietnam yang telah dipesan oleh Jessica.
Selang beberapa menit, Mirna kejang-kejang, mulutnya mengeluarkan buih dan tidak sadarkan diri. Mirna pun dibawa ke klinik di Grand Indonesia.
Karena butuh penanganan medis lebih lanjut, Mirna Salihin dirujuk ke Rumah Sakit cAbdi Waluyo. Namun, di tengah perjalanan sebelum sampai di rumah sakit, Mirna menghembuskan nafas terakhir.
Ayah Mirna, Edi Dharmawan merasa ada kejanggalan dari kematian anaknya. Dia pun memutuskan melaporkan hal ini ke Polsek Metro Tanah Abang.
Tiga hari setelah kematian, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Krishna Murti meminta izin kepada ayahnya agar diautopsi.
Namun, jenazah hanya diizinkan untuk diambil sampel dari bagian tubuhnya dan menemukan zat racun.
Penyidik Polisi kemudian memanggil Jessica dan keluarga Mirna, yaitu Dharmawan, Sendy Salihin (saudari kembarnya), serta Arief.
Penyidik melakukan gelar perkara, menetapkan Jessica sebagai tersangka pembunuhan, dan menangkapnya di sebuah hotel Jakarta Utara.
Saat akan melakukan rekonstruksi Jessica sempat menolak karena dia menilai bahwa itu adalah versi polisi.
Hubungan Antara korban,tersangka dan Saksi
Dikutip dari Metro Tempo Jessica dan Mirna merupakan teman sekampus di Billy Blue College of Design, Sydney, Australia.
Awal kasus Mirna dimulai ketika ia mengadakan reuni bersama teman kuliahnya.
Reuni tersebut rencananya akan dihadiri oleh empat orang yaitu Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso, Hani Boon Juwita, dan Vera. Namun, reuni hanya dihadiri oleh tiga orang, karena vera batal hadir.
Jessica awalnya berteman dekat dengan Hanni karena telah mengenal Hani lebih dulu dari Mirna, namun Hani memutuskan kembali ke Indonesia lebih dulu, seiring berjalannya waktu Jessica dan Mirna semakin dekat bahkan saat Mirna kembali ke Indonesia hubungan mereka tetap erat.
Jessica mengaku Mirna selalu mengunjungi nya di Australia setiap setahun sekali, komunikasi mereka tetap erat sampai akhirnya Jessica mengusulkan membuat group WhatsApp, lalu Mirna kemudian mengundang Jesicca dan hani serta Vera, teman yang tidak bisa mereka lupakan begitu saja.
Hubungan Jessica dan Mirna sangat dekat, dikatakan bahwa Jessica menghubungi Mirna terlebih dahulu setelah kembali ke Indonesia bukan orangtuanya. Sedekat itulah hubungan Tersangka, korban,dan saksi.
Ketika kita membicarakan kasus ini, maka hal pertama yang muncul dalam benak kita adalah bagaimana Jessica Wongso tega untuk melakukan tindakan kejam seperti itu.
Merujuk keterangan diatas kita dapat melihat bahwa diantara korban dan tersangka terjalin hubungan yang baik sehingga kecil kemungkian jessica melakukan kejahatan kepada sahabatnya itu.
Barang Bukti Kurang Kuat Untuk Menyatakan Jessica Bersalah
Dikutip dari Tribun News Manado Kuasa hukum Jessica, Otto Hasibuan, menilai banyak kejanggalan dari barang bukti tersebut.
Otto menyebut, ada dua versi berbeda pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terkait penyimpanan kopi bersianida setelah disita pihak kepolisian.Dalam BAP disebutkan, sampel kopi beracun dituangkan dari gelas ke botol saat di Polsek Tanah Abang, Jakarta Pusat, 8 Januari lalu.
Namun keterangan lain dalam BAP menyebutkan, barang bukti telah dikirim dari Polsek Tanah Abang ke Mabes Polri sehari sebelumnya yakni 7 Januari 2016.Pada tujuh barang bukti kopi yang diuji di Pusat Laboratorium Forensi bahkan menunjukkan, hasilnya negative sianida.
Kejanggalan lain keterangan bartender Kafe Olivier, Yohanes, yang mengaku menuang sisa kopi Mirna dalam botol air mineral yang terbuat dari kaca.
Dia melakukan hal tersebut usai diminta manajer bar Kafe Olivier, Devi Siagian, untuk memindahkan kopi tersebut. Yohanes memastikan, gelas itu kosong dan tak ada kopi beracun yang tersisa dalam gelas kopi tersebut.
Sementara gelas bekas itu, seingat Yohanes, diletakkan begitu saja di meja pantry kafe.
Barang bukti berupa rekaman Closed Circuit Televison (CCTV) di Kafe Olivier juga memunculkan kejanggalan. Otto menuturkan, dalam CCTV yang diputar dalam persidangan, Jessica tiba di Kafe Olivier pukul 16.14 WIB. Sedangkan dalam nota pesanan Jessica di Olivier, tercatat pukul 16.08 WIB. Otto mempertanyakan perbedaan waktu tersebut.
Menurut Otto, tak masuk akal apabila Jessica belum tiba di Olivier tapi sudah memesan menu terlebih dulu.
JPU menyebut, mungkin saja ada perbedaan waktu yang tercantum dalam CCTV.
Dalam persidangan sebelumnya, resepsionis Olivier, Aprilia Cindy, menyatakan Jessica datang pukul 15.30 WIB hanya untuk memesan meja dan kembali lagi pukul 16.14 WIB.
Namun keterangan waktu sempat dikoreksi majelis hakim usai melihat rekaman CCTV. Jessica diketahui datang memesan tempat pukul 15.55 dan kembali pada pukul 16.14.
Dalam hal ini integritas seluruh barang bukti yang dihadirkan dalam persidangan sangat dibutuhkan.
Kejanggalan ini menimbulkan pertanyaan atas keabsahanpelaksanaan proses hukum ini.
Kelurga menolak Melakukan Autopsi Terhadap Jenazah Mirna
Dikutip dari CNN Indonesia Sebagai orangtua Ayah mirna merasa ada kejanggalan dalam kasus kematian anaknya, Edi Dharmawan Salihin lantas melaporkannya ke Polsek Metro Tanah Abang.
Pada tanggal 9 Januari 2016, polisi meminta persetujuan keluarga untuk mengotopsi tubuh mirna.
Namun, persetujuan tak langsung diberikan. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya saat itu, Kombes Krishna Murti, mendatangi Dermawan untuk meminta izin dan memberikan pengertian. Setelah menilai otopsi perlu dilakukan, keluarga korban akhirnya memberikan izin.
Kendati demikian, yang dilakukan hanyalah pengambilan sampel tubuh di Rumah Sakit Sukanto, Kramatjati, Jakarta Timur, bukan otopsi keseluruhan.
Lalu jenazah mirna dibawa ke TPU Gunung Gadung di Bogor, Jawa Barat untuk dikebumikan pada 10 januari 2016.
Menurut kami, keputusan keluarga Mirna menghambat proses penyelidikan kasus, mangingat bagaimana anaknya almarhum Mirna begitu dekat Jessica, jika membicarakan hubungan Jessica dan Mirna yang baik saya berpendapat bahwa orangtua benar-benar harus melakukan penyelidikan mendalam agar kasus benar-benar bisa terpecahkan.
Saksk Ahli Tidak Dihadirkan Dalam Persidangan
Dikutip dari TVone News Nama Dokter Djaja masuk sebagai salah satu dokter yang melakukan pemeriksaan terhadap mayat Mirna Salihin.
Bakan ia juga diketahui sebagai salah satu yang memberikan formalin ke mayat Mirna di rumah duka Dharmais.
Dokter Djaja bertemu dengan mayat Mirna saat dua jam setelah meninggal. Setelah memeriksa mayat Mirna Salihin, Dokter Djaja meyakini bahwa kematian Mirna bukan karena sianida.
Ia menyebut, ciri-ciri mayat Mirna tidak menunjukkan bahwa ia menenggak racun sianida.
Dokter Djaja membeberkan bahwa mayat Mirna memiliki ciri-ciri bibir dan kuku biru. Sedangkan ia mengatakan bahwa orang yang teracuni sianida akan berwarna merah terang.
Atas hasil pemeriksaannya itu, Dokter Djaja yang seharusnua bisa menjadi saksi ahli di persidangan justru tidak dipanggil. Padahal namanya sudah ada dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepolisian.
Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat, harus mulai memperhatikan peran kita dalam menghindari tindakan kejahatan seperti ini.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara memilih untuk tidak bersikap acuh dan sebaliknya memberikan dukungan dan support terhadap tindakan yang dapat membantu mencegah tindakan kejahatan.
Akhir kata, transparansi dari pihak peradilan dan kerja sama yang baik dari masyarakat atau golongan yang bersangkutan sangan dibutuhkan untuk menegakkan hukum negara.
Namun hal pertama yang perlu lita lakukan ialah memiliki rasa tanggung jawab atas apa yang akan atau sudah kita lakukan sebagai bentuk tindakan pencegahan kasus kriminal selanjutnya.(*)
Penulis : Amalia Nesya Raikhana dan Andi Nirga Dwi Khaerani Putri Mahasiswa UAD
KPU Sarolangun Optimalisasikan Pendistribusian Logistik Pilkada 2024