Gastrodiplomasi Indonesia

Rabu, 31 Januari 2024 - 12:46:50


/

Radarjambi.co.id+Diplomasi Indonesia, termasuk gastrodiplomasi, menjadi topik yang menarik dalam bidang hubungan internasional dan geopolitik.

Sayangnya, topik itu kurang direspons dalam Debat Ketiga Calon Presiden Tahun 2024 pada Ahad (7/1) lalu.

Hanya capres Anies Baswedan yang merespons topik diplomasi Indonesia terkait budaya, diaspora, dan kuliner.

Pertanyaannya kini, pentingkah gastrodiplomasi Indonesia dilakukan dalam kurun waktu 5 tahun ke depan?
Gastrodiplomasi, merujuk KBBI VI, merupakan diplomasi yang menggunakan makanan sebagai media untuk meningkatkan citra.

Selain itu, gastrodiplomasi juga membentuk reputasi tertentu bagi sebuah negara dalam kancah internasional. Dari definisi itu, kita pahami betapa gastrodiplomasi sangat penting bagi Indonesia dalam 5 tahun mendatang.

Hal itu disesuaikan dengan pentingnya pengembangan ilmu bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA).

Kurang Maksimal

Sebagai pengajar BIPA, penulis merasa bahwa Indonesia kurang memaksimalkan gastrodiplomasi.

Di Negeri Tirai Bambu, misalnya, relatif sulit mencari restoran khas Indonesia. Kalau pun ada, letak restoran itu cukup jauh dari pusat kota seperti halnya di Kota Nanning, Provinsi Guangxi.

Atau, restoran itu hanya dijumpai di kota-kota besar, seperti Guangzhou dan Hongkong. Padahal, peluang membuka restoran khas Indonesia di sana terbuka lebar.

Contohnya, di Provinsi Guangxi terdapat 3 kampus yang memiliki jurusan Bahasa Indonesia. Ada Guangxi University for Nationalities (GXUN), Xiangsihu (XSH) College, dan Guangxi University of Foreign Languages (GXUFL).

Dosen-mahasiswa dari ketiga kampus itu dapat belajar bahasa dan budaya kuliner khas Indonesia. Termasuk kuliner yang memiliki unsur historisitas dengan budaya Tionghoa, seperti bakpao, bakpia, siomay, capcai, dan kwetiau.

Dengan begitu, hadirnya restoran khas Indonesia di Kota Nanning menjadi sarana pembelajaran BIPA bagi mahasiswa asing.

Di sana, mahasiswa dapat belajar bahasa dan budaya Indonesia, termasuk kuliner Indonesia. Berdasarkan pengalaman penulis, mahasiswa BIPA asal Cina senang memasak dan memakan nasi kuning.

Materi memasak dan memakan nasi kuning itu dapat diintegrasikan dengan keterampilan berbicara dan menyimak, terutama teks prosedur.

Terkait itu, kehadiran restoran khas Indonesia di Kota Nanning (juga kota/negara lainnya) menjadi bukti gastrodiplomasi Indonesia terwujud.

Kehadiran restoran khas Indonesia di luar negeri dapat menjelma jembatan diplomasi antara Indonesia dan negara terkait.

Alhasil, gastrodiplomasi Indonesia merupakan buah dari kerja sama antarkementerian/lembaga, seperti Kemenlu, Kemendikbudristek, KBRI/KJRI, dan perguruan tinggi (PT).

Sejumlah PT kita telah memiliki kerja sama dengan PT di Cina, terutama yang memiliki jurusan Bahasa Indonesia.

Kelak, PT kita perlu didorong untuk membuka dan mengelola restoran khas Indonesia di kota/negara terkait.

Pembukaan dan pengelolaan restoran khas Indonesia perlu disesuaikan dengan diaspora-mahasiswa Indonesia.

Juga perlu disesuaikan dengan pola perkuliahan mahasiswa asing berpola 3+1 (3 tahun di negara asal, 1 tahun di Indonesia).

54 Negara

Terkini, Badan Bahasa telah merilis 54 negara yang telah mengajarkan Bahasa Indonesia. Artinya, dalam 54 negara itu, kelak dibuka dan dikelola restoran khas Indonesia oleh diaspora-mahasiswa Indonesia.

Dengan begitu, majunya gastrodiplomasi Indonesia seiring dengan majunya perkembangan ilmu BIPA.

Penulis melihat, sinergi antara gastrodiplomasi Indonesia melalui restoran khas Indonesia dan ilmu BIPA melalui perkuliahan BIPA terwujud nyata.

Akhir kata, sinergi gastrodiplomasi Indonesia dan ilmu BIPA menunjang terwujudnya Bahasa Indonesia mendunia.

Hal ini selaras dengan ditetapkannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi UNESCO sejak 20 November 2023 lalu.

Moga-moga capres dan cawapres terpilih (2024-2029) nanti dapat menjadikan gastrodiplomasi Indonesia lebih menarik, elegan, dan bermanfaat.

Seiring itu, kita pun ikut bangga bahwa bahasa dan budaya Indonesia diterima oleh bangsa lain.(*)

 

Penulis : Sudaryanto, M.Pd., Dosen PBSI UAD; Mahasiswa S-3 UNY; Anggota PRM Nogotirto