Radarjambi.co.id-Tahun 2013-2015 saya berkesempatan mengajarkan bahasa Indonesia bagi penutur asing (disingkat BIPA) di Tiongkok.
Di Negeri Panda itu, saya menjadi dosen tamu di Jurusan Bahasa Indonesia, Fakultas Kajian Asia Tenggara, Universitas Kebangsaan Guangxi (Guangxi University for Nationalities), Kota Nanning, Provinsi Guangxi. Selama dua tahun itu, saya menjadi pengajar BIPA, juri lomba menyanyi, juri lomba apresiasi puisi, dan pembimbing skripsi.
Lewat tulisan singkat ini, saya ingin sampaikan beberapa catatan menarik selama mengajarkan BIPA di Negeri Panda. Pertama, para pemelajar BIPA Tiongkok memiliki “nama Indonesia”, selain “nama Tionghoa”.
Biasanya, “nama Indonesia” itu diberikan oleh dosen tamu. Saat itu, saya memberikan sejumlah “nama Indonesia”, seperti Yuna, Andien, Eros, Fani, dan Melati. Umumnya saya memilihkan “nama Indonesia” berupa satu kata agar mudah diingat.
Alasan kenapa pemelajar BIPA Tiongkok memiliki “nama Indonesia” karena “nama Tionghoa” mereka cukup sulit diucapkan oleh dosen tamu. Apalagi jika dosen tamu itu tidak mengenal kaidah kebahasaan bahasa Tionghoa yang unik.
Disebut unik karena sejumlah huruf dalam bahasa Tionghoa berbeda saat ditulis dan diucapkan. Misalnya, huruf b dibaca /p/, huruf g dibaca /k/, huruf x dibaca /s/, dan huruf d dibaca /t/.
Tematik-Integratif
Kedua, pembelajaran BIPA bersifat tematik-integratif. Disebut tematik karena memiliki satu tema/topik yang khas bahasa dan budaya Indonesia.Dan disebut integratif karena terintegrasikan dengan sejumlah keterampilan berbahasa, serta pengetahuan bahasa dan budaya Indonesia.
Sebagai contoh, tema “Makanan Khas Indonesia” yang diintegrasikan dengan mata kuliah Menyimak dan Berbicara bagi pemelajar BIPA.
Dalam praktiknya, saya mengundang pemelajar BIPA ke asrama saya untuk praktik memasak. Mereka belajar memasak nasi kuning, mi goreng, dan perkedel. Di luar dugaan, pemelajar BIPA sangat antusias belajar memasak masakan
khas Indonesia itu. Saat berkuliah di kelas, pemelajar BIPA praktik berbicara proses memasak nasi kuning, mi goreng, dan perkedel di depan dosen. Praktik berbicara itu bagian integral dari pembelajaran teks prosedur.
Ketiga, sistem perkuliahan pemelajar BIPA Tiongkok “3+1”. Tiga tahun berkuliah di Tiongkok dan satu tahun berkuliah di Indonesia. Selama tiga tahun berkuliah di Tiongkok, pemelajar BIPA belajar dengan dosen asli (baca: asli Tionghoa) dan dosen tamu.
Selama satu tahun berkuliah di Indonesia, pemelajar BIPA belajar dengan dosen di Indonesia. Khusus di Indonesia, pemelajar BIPA masuk ke kelas BIPA Darmasiswa dan/atau kelas kerja sama GXUN-UAD.
Dalam catatan saya, pemelajar BIPA dari GXUN pernah belajar di kelas Darmasiswa di sejumlah kampus, seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Sriwijaya (Unsri), Universitas Negeri Semarang (Unnes), Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Sebelas Maret (UNS), dan Universitas Surabaya (Ubaya). Beragamnya kampus itu membuat pemelajar BIPA GXUN kaya akan pengalaman belajar di Indonesia.
Keempat, terkait butir ketiga, pemelajar BIPA Tiongkok pada tahun terakhir menulis tugas akhir berupa skripsi. Di GXUN, pemelajar BIPA diberikan pilihan ingin menulis skripsi dalam bahasa Indonesia atau bahasa Tionghoa.
Jika dibimbing oleh dosen tamu, skripsi ditulis dalam bahasa Indonesia. Sebaliknya, jika dibimbing oleh dosen asli, skripsi ditulis dalam bahasa Tionghoa. Sementara itu, topik skripsi seputar bahasa dan budaya Indonesia serta Tionghoa.
Penulis pernah membimbing penulisan skripsi sejumlah pemelajar BIPA di GXUN. Misalnya, topik pakaian abdi dalem Keraton Yogyakarta ditulis oleh Barry, topik Tari Bedaya ditulis oleh Nana, topik feminisme dalam novel Djenar Maesa Ayu ditulis oleh Helen, topik Reog Ponorogo ditulis oleh Anita, topik bahasa gaul di media sosial ditulis oleh Nia, dan topik pengaruh budaya Ramayana bagi masyarakat Yogyakarta ditulis oleh Sharmila.
Proaktif
Kelima, pemelajar BIPA Tiongkok bersikap proaktif dalam kegiatan-kegiatan di luar kelas. Seperti yang saya tulis di muka tulisan ini, saya pernah menjadi juri lomba menyanyi dan apresiasi puisi.
Dalam kegiatan lomba menyanyi, pemelajar BIPA GXUN senang akan lagu-lagu pop Indonesia. Lagu “Cinta Sejati” (Bunga Citra Lestari), “Puspa” (ST 12), dan “Terima Kasih Cinta” (Afgan) merupakan pilihan lagu favorit pemelajar BIPA.
Dalam kegiatan apresiasi puisi, pemelajar BIPA GXUN belajar membaca, memaknai, dan menghayati puisi-puisi Taufiq Ismail. Puisi “Sajadah Panjang” karya Taufiq Ismail, misalnya, dibaca sekaligus diapresiasi oleh pemelajar BIPA GXUN di kelas.
Kendati pun masih terbata-bata dalam membaca puisi itu, tetapi pemelajar BIPA GXUN sangat antusias dalam belajar puisi Indonesia. Terkait itu, materi karya sastra Indonesia dirasa jarang diberikan di kelas BIPA GXUN.
Keenam, perkuliahan BIPA di GXUN sangat didukung oleh fasilitas kampus, terutama perpustakaan. Di Gedung Guo Jialou, terdapat Perpustakaan Asia Tenggara yang menyediakan bahan bacaan dari Indonesia, Malaysia, Brunei, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Filipina.
Khusus dari Indonesia, saya melihat koleksi bacaan terbilang lengkap. Dari novel Tere Liye, buku sejarawan Peter Carey, buku kritikus sastra Claudine Salmon, hingga majalah Tempo.
Yang bikin saya takjub, satu kartu perpustakaan bisa dipakai untuk meminjam 25 buku dengan masa peminjaman selama satu bulan. Bagi saya yang hobi membaca buku, Perpustakaan Asia Tenggara GXUN merupakan “surga buku”.
Beberapa pemelajar BIPA GXUN pernah saya jumpai di perpustakaan tersebut guna membaca dan meminjam buku. Misalnya, pemelajar bernama Yuna yang suka meminjam buku tentang masakan khas Indonesia.
Ketujuh, para dosen di Jurusan Bahasa Indonesia GXUN pernah berkunjung dan belajar ke Indonesia. Dengan begitu, kemampuan berbahasa Indonesia dan pengetahuan akan Indonesia mereka cukup baik.
Ketua Jurusan Bahasa Indonesia GXUN (saat itu), Ibu Han Yanyan pernah kuliah S-2 bidang linguistik di Universitas Gadjah Mada. Bu Yanyan, begitu ia biasa disapa, menulis tesis di bawah bimbingan almarhum Prof. Soepmo Poedjosoedarmo.
Selain Bu Yanyan, ada pula Bu Wei Zhong Fulin dan Bu Chen Cheng. Bu Fulin pernah belajar bahasa dan budaya Indonesia di Universitas Sriwijaya. Bu Cheng pernah belajar bahasa dan budaya Indonesia di Universitas Ahmad Dahlan.
Keduanya belajar dalam rangka meraih Beasiswa Darmasiswa selama setahun. Dengan belajar ke Indonesia, para dosen GXUN itu menjadi lebih paham akan Indonesia.(*)
Penulis : Sudaryanto, M.Pd., Dosen PBSI FKIP UAD; Pengajar BIPA di Guangxi University for Nationalities (GXUN), Cina, 2013-2015
Tingkatkan Perlindungan Konsumen, Satgas PASTI Lakukan Soft Launching Indonesia Anti-Scam Centre