Radarjambi.co.id-Tulisan ini dibuka dengan fakta aneh tapi nyata. Di dekat rumah penulis sedang berlangsung proyek padat karya pembuatan selokan. Hal itu berdampak pada penutupan jalan.
Di ujung jalan itu sudah terpampang pengumuman: jalan ditutup karena ada proyek padat karya. Anehnya, banyak pengendara motor tetap melintasi jalan dan akhirnya putar balik.
Bahkan bertanya, ditutup jalannya, Mas. Realitas itu menggambarkan sebagian kita masih nirliterasi. Betulkah?
Secara historis-faktual, kita sudah merdeka selama 79 tahun. Sejak 1945 silam, Bung Karno dan Bung Hatta telah menyatakan kemerdekaan bangsa ini. Salah satu ciri bangsa yang merdeka adalah percaya kepada kekuatannya sendiri.
Itu selaras dengan kata-kata Bung Karno: bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka. Pendek kata, kepercayaan diri modal bagi kemerdekaan bangsa.
Kondisi Nirliterasi
Tapi anehnya, sebagian anak bangsa ini kurang percaya diri, salah satu penyebabnya ialah kekurangan minat baca-tulis (istilah penulis: nirliterasi). Kondisi nirliterasi itu tampak pada data kuantitatif berikut.
Survei PISA pada 2018 dan 2020 menunjukkan kompetensi literasi siswa Indonesia masih rendah.
Demikian halnya studi UNESCO yang menunjukkan tingkat literasi membaca Indonesia rendah.
Dari 1000 orang, hanya 1 orang yang gemar membaca.
Bahkan, Plh. Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra Badan Bahasa, Hafidz Muksin (2024), mengatakan, hanya 50% siswa kita yang memiliki kompetensi literasi mumpuni.
Data-data kuantitatif itu (seolah) berpesan: kondisi nirliterasi bangsa kita di titik nadir. Kondisi nirliterasi berdampak pada multibidang, termasuk pendidikan tinggi.
Kasus skandal guru besar abal-abal belakangan menjadi fenomena gunung es atas kondisi nirliterasi bangsa.
Politisi dan akademisi yang nirliterasi berhasrat menjadi guru besar.
Tapi apa lacur, mereka tidak memiliki habitus membaca, menulis, dan berdiskusi secara mumpuni.
Akibatnya, mereka menjadi guru besar abal-abal, atau sekadar guru besar hanya nama (plesetan GBHN).
Sebaliknya, ada sebagian akademisi yang memang memiliki habitus membaca, menulis, dan berdiskusi. Itulah habitus seorang akademisi yang juga pendidik.
Habitus membaca, menulis, dan berdiskusi telah diteladani oleh para pendiri bangsa ini. Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir dikenal sebagai tokoh yang lekat dengan buku, pena, dan kata-kata.
Buku Dibawah Bendera Revolusi karya Bung Karno merupakan mutiara gagasan tentang bangsa-negara kita. Begitu pula Demokrasi Kita karya Bung Hatta yang amat relevan terkait arah dan perkembangan sistem demokrasi di Tanah Air.
Berkat para pendiri bangsa yang memiliki habitus literasi itu, Indonesia mengalami gerak maju.
Sebagai contoh, di bidang ejaan bahasa Indonesia, sebelum merdeka kita masih menggunakan Ejaan van Ophuysen. Setelah merdeka, kita menggunakan Ejaan Republik atau Ejaan Suwandi.
Peralihan ejaan menunjukkan, Indonesia ingin lepas/maju dari pengaruh penjajah Belanda dan (lebih) percaya terhadap kekuatan sendiri.
Merayakan Literasi
Daya percaya terhadap kekuatan sendiri dapat ditumbuhkan lewat habitus literasi.
Di sekolah, guru dan siswa bertumbuh menjadi sosok gemar membaca, menulis, dan berdiskusi. Siswa dapat membaca buku non-buku pelajaran di awal pembelajaran selama 15 menit.
Kemudian siswa bersama guru berdiskusi di pojok baca kelas. Selanjutnya, dalam momentum Bulan Bahasa dan Sastra pada Oktober nanti, guru dan siswa merayakan literasi secara produktif.
Demikian halnya di kampus.
Dosen dan mahasiswa juga bertumbuh menjadi sosok gemar membaca, menulis, dan berdiskusi. Mahasiswa peserta kuliah Bahasa Indonesia berliterasi bahasa Indonesia melalui proyek penulisan esai ilmiah.
Para dosen berliterasi tematik-integratif melalui Tridarma Perguruan Tinggi. Kelak, pengelola kampus dapat berkolaborasi dengan Dunia Usaha Dunia Industri (DUDI) dan masyarakat.
Semua ikhtiar di atas dapat menjadi refleksi.
Saat menjelang peringatan Kemerdekaan ke-79 Republik Indonesia, nyatanya bangsa kita belum merdeka dari kondisi nirliterasi.
Kita perlu tumbuhkan spirit Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir yang berhabitus literasi. Kelak, spirit itu kita tumbuh suburkan di sekolah, kampus, dan keluarga. Dengan begitu, Indonesia Emas 2045 tak sekadar slogan, tapi juga kenyataan.(*)
Penulis : Sudaryanto, M.Pd.; Dosen PBSI UAD; Mahasiswa S-3 UNY; Majelis Tabligh dan Pustaka Informasi PRM Nogotirto; Divisi Humas ADOBSI
Pelatihan Pengelolaan Emosi di Ngeblak Wijirejo oleh Tim KKN UAD
Pelatihan Tour Guide: Pendorong Utama Perekonomian Kampung Wisata
Padlet sebagai Alat Pembelajaran Kolaboratif yang Menyenangkan
SMSI Muaro Jambi Kembali Kenalkan Ilmu Jurnalistik Kepada Para Pelajar SMP