Asa Bulan Bahasa dan Sastra

Sabtu, 05 Oktober 2024 - 18:11:05


Sudaryanto
Sudaryanto /

Radarjambi.co.id-Setiap memasuki bulan Oktober, memori kita tertuju pada peristiwa lahirnya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, 96 tahun silam. Dalam peristiwa itu, kita mengucapkan tiga ikrar yang memuat tekad dan semangat persatuan pemuda Indonesia.

Adapun tiga ikrar itu melingkupi tanah air, bangsa, dan bahasa. Terkait itu, pemerintah menyambut lahirnya Sumpah Pemuda dengan kegiatan bertajuk Bulan Bahasa dan Sastra (BBS). Apa asa di balik perayaan BBS 2024?

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi VI menyebut, Bulan Bahasa dan Sastra merupakan kegiatan kebahasaan dan kesastraan Indonesia yang secara rutin dilaksanakan setiap Oktober sebagai bulan lahirnya Sumpah Pemuda.

Lewat perayaan BBS, kita diingatkan kembali perihal bahasa dan sastra Indonesia. Dua entitas yang melekat pada diri kita sebagai orang/manusia Indonesia. Tanpa dua entitas itu, rasanya identitas keindonesiaan kita terasa kurang lengkap.

Mensyukuri Bahasa Indonesia

Kembali ke BBS 2024. Penulis sepakat dengan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa/Badan Bahasa, E. Aminuddin Aziz.

Dia menyatakan, mari kita mensyukuri karunia bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk merayakan BBS 2024 dengan sukacita (Instagram @badanbahasakemendikbud, 1/10/2024). Terkait itu, penulis ingin mencatat sejumlah asa di balik perayaan BBS 2024.

Pertama, Badan Bahasa perlu mempersiapkan buku saku/praktis Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD Edisi V).

Selama ini, pihak Badan Bahasa baru membuat berkas PDF Surat Keputusan (SK) EYD Edisi V dan laman EYD Edisi V. Buku saku/praktis EYD Edisi V tetap perlu dibuat dengan pertimbangan, salah satunya ialah masyarakat Indonesia masih terbatas dalam literasi digital/internetnya.

Terkait itu, pembuatan buku saku/praktis EYD Edisi V dapat memudahkan generasi muda kita, terutama generasi Z/gen Z dan Alpha, agar terbiasa terhadap bacaan versi cetak.

Selama ini, jujur saja, gen Z dan Alpha cenderung lemah dalam memahami bacaan versi cetak. Alih-alih baik memahami bacaan versi cetak, justru mereka lebih memilih bacaan versi daring. Padahal, bacaan versi daring cenderung singkat, tidak mendalam, dan rawan hoaks.

Kedua, Badan Bahasa perlu memodernkan KBBI Edisi VI, baik yang terbit daring (online) maupun luring (offline). Dibandingkan dengan KBBI Edisi IV, KBBI Edisi V dan VI lebih akomodatif dan adaptif diakses oleh masyarakat.

Dulu, KBBI Edisi I, II, III, dan IV hanya ada versi cetak. Alhasil, semua KBBI itu tidak praktis dibawa ke mana-mana. Kini, KBBI Edisi V tampil versi cetak dan daring.

Dengan begitu, masyarakat mudah mengakses KBBI Edisi V dan VI.
Pemodernan KBBI tidak sekadar kemudahan akses dan kecanggihan tampilannya.

Lebih dari itu, pemodernan KBBI juga meliputi penambahan kosakata/lema dari bahasa daerah dan bahasa kekinian.

Sebagai contoh, kata kiwari yang berasal dari bahasa Sunda dan berarti ‘zaman yang sedang dijalani saat ini; zaman kontemporer’. Demikian juga kata mager yang berarti ‘malas (ber)gerak; enggan atau sedang tidak bersemangat untuk melakukan aktivitas’.

Ketiga, Badan Bahasa perlu membuat regulasi, sosialisasi, dan implikasi atas penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi Sidang Umum UNESCO pada 20 November 2023 lalu. Secara regulasi, kita sudah memiliki banyak aturan hukum perihal bahasa Indonesia. Mulai UU No. 24 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2014, hingga Perpres No. 63 Tahun 2019.

Kita berharap, regulasi-regulasi itu akan mengokohkan bahasa Indonesia ke depan.

Kemudian sosialisasi pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra Indonesia dapat terus dilakukan di seluruh kalangan masyarakat Indonesia. Sosialisasi penggunaan bahasa Indonesia, sesuai Perpres No. 63 Tahun 2019, diikuti oleh pengelola pusat perbelanjaan/mal, hotel, hingga UMKM. Begitu pula sosialisasi Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia, sesuai Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2014, diikuti oleh guru/dosen dan siswa/mahasiswa.

Perbaikan Program

Berikutnya, implikasi penggunaan bahasa Indonesia dapat diukur/dievaluasi oleh pihak akademisi.

Misalnya, ada kuesioner perihal pengunaan KBBI Edisi VI di kalangan dosen dan mahasiswa; ada pula kuesioner perihal efektivitas pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) di dalam dan luar negeri; dsb.

Dengan begitu, hasil kuesioner tadi dapat menjadi tolok ukur perihal perbaikan program kerja dalam kurun waktu lima tahun mendatang (2024-2029).

Keempat, Badan Bahasa perlu mempersiapkan Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XIII pada Oktober 2028 mendatang. Sejak KBI III hingga XII selalu dilaksanakan di Jakarta sebagai ibu kota negara.

Kini, dengan berubahnya status Jakarta menjadi Daerah Khusus Jakarta, bukan lagi Daerah Khusus Ibukota, maka perlu dipertimbangkan.

Apakah KBI XIII pada 2028 mendatang tetap dilaksanakan di Jakarta? Ataukah akan dilaksanakan di Ibu Kota Negara (IKN)?

Terkait itu, dalam pelaksanaan KBI XIII pada Oktober 2028 mendatang, kiranya isu-isu terkini mengenai perkembangan bahasa dan sastra Indonesia dapat direspons dengan baik.

Termasuk perkembangan pembelajaran dan pengajaran BIPA di dalam dan luar negeri. Dengan demikian, empat asa seperti diulas di atas, dapat direspons bijak dan ditindaklanjuti dengan regulasi, sosialisasi, dan implikasi. Selamat Bulan Bahasa dan Sastra 2024!.(*)

 

Sudaryanto, M.Pd., Dosen PBSI FKIP UAD; Mahasiswa S-3 UNY; Anggota