RADARJAMBI.CO.ID - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Conference of Parties (COP) UNFCCC ke 29 kembali digelar di Baku, Azerbaijan, Senin 11/11/2024 hingga Jum’at 22/11/2024. Diikuti oleh berbagai kalangan dari 197 negara, mulai dari tingkat kepala negara, para pelaku pengusaha, termasuk berbagai kelompok aktivis dari berbagai negara di dunia.
Tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, COP-29 kembali fokus pada pembahasan mengenai pengendalian dan penangan dampak perubahan iklim, termasuk soal pendanaan iklim, di tengah kondisi iklim dunia yang semakin sulit ditangani tanpa perubahan-perubahan mendasar.
Bagi Indonesia, kehadiran dalam COP-29 tentu menjadi agenda tahunan negara sangat penting. Namun di antara ribuan delegasi, dua perempuan muda asal Kabupaten Tebo, Jambi cukup menjadi sorotan. Mereka adalah Nasywa Adivia Wardana (17) dan Qurrota A’yun Nur Ramadhani (17), pelajar kelas XI dan kelas XII SMAN 2 Kabupaten Tebo. Mereka hadir difasilitasi oleh Global Alliance for Green and Gender Action (GAGGA), sebuah lembaga internasional yang berkedudukan di Belanda, karena mereka dinilai generasi muda yang mampu melakukan aktivitas berharga yang menjadi bagian dari upaya penanganan perubahan iklim.
Nasywa dan Ayun berkesempatan bicara, mewakili anak muda seusianya tentang situasi negerinya dan bahaya perubahan iklim yang mereka rasakan. Kepada seluruh delegasi, selain menyampaikan rasa bangga atas kehadirannya di Baku, mereka juga menyampaikan rasa cinta terhadap negerinya yang kaya, sekaligus rasa prihatin terhadap dampak perubahan iklim yang melanda.
“Dalam waktu bersamaan, kami merasa kurang beruntung dan prihatin. Semakin dalam kami mengetahui apa itu krisis iklim, semakin kehilangan waktu untuk menikmati usia muda sebagaimana pemuda pada umunya,” kata A’yun dalam sebuah forum di Baku, 21/11/2024.
Mereka bicara dengan lugas dan tenang, bercerita di tengah forum, bahwa mereka melihat situasi begitu menyedihkan: jutaan pemuda seusia mereka belum memiliki pengetahuan yang benar dan cukup tentang bahaya perubahan iklim. Aktivitas diskusi, seni dan budaya, serta berbagai aktivitas yang menjelaskan tentang bahaya perubahan iklim masih sangat terbatas.
“Kepulauan Indonesia terlalu luas. Ancaman bencana akibat perubahan iklim begitu nyata dan jauh lebih cepat dibandingkan dengan jumlah pemuda yang berpengatahuan mengenai ini, menyadari bahaya dan apa yang bisa dilakukan,” sambung Ayun.
Nasywa dan Ayun bicara dalam forum yang sama. Nasywa mengaku bangga terlibat langsung waktu demi waktu dalam pembahasan ini, yang resolusinya ditunggu dan berpengaruh pada seluruh masyarakat dunia.
“Kami bangga menjadi bagian dari sejarah yang hanya segelintir pemuda seusia kami yang memiliki kesempatan ini,” kata Nasyawa.
Nasywa sendiri merupakan salah satu pemuda yang hadir dalam COP-28 di Dubai Tahun lalu. Ketika itu dia menyoroti tentang pengalaman masa kecilnya diselimuti bencana asap akibat bencana kebakaran hutan dan lahan, sebagai bagian dari akibat perubahan iklim.
“Indonesia ini negeri kepulauan terbesar. Salah satu negeri cantik berhutan tropis selain Brazil dan Republik Kongo, yang menyimpan keaneka ragaman hayati sangat kaya. Ini bukan kata kami. Tapi ini menurut riset, buku, artikel dan cerita perjalanan orang asing di masa lampau. Bahkan ada ungkapan bahwa Indonesia adalah potongan surga yang diturunkan ke bumi,” ungkap Nasywa.
Mereka menggunakan kesempatan itu untuk menyampaikan kecintaan pada negerinya, sekaligus kecamasan dan kemarahan ketika mengetahui sebab-sebab kerusakan iklim di Indonesia dan dunia.
“Kabut asap, misalnya, membuat kami terkurung di rumah dengan tabung oksigen. Anak-anak mencoret-coret kemarahan pada dinding, menulis puisi, bahkan ikut dalam aksi-aksi demonstrasi menuntut ruang isolasi. Bahkan kabut asap pula yang membentuk kami menjadi aktivis, mencermati lahan, sungai, rawa, tanah gambut yang mengering akibat hutan dihabisi oleh perusahaan-perusahaan besar kelapa sawit,” tegas Nasywa.
Pada bagian akhir kesempatan itu, mereka tak lupa menegaskan bahwa pemuda seusia mereka bukanlah perusak alam dan membuat buruk situasi masyarakat. Mereka adalah korban dari kebijakan-kebijakan yang dikendalikan oleh generasi sebelumnya.
“kebangkitan generasi bersih adalah kebangkitan para korban yang berhak berjuang untuk meraih penyelesaian krisis iklim dengan segera. Pemuda harus menjadi kekuatan penting dalam mengubah situasi ini,” tegas Ayun.
Mereka mengakhiri kesempatan tersebut dengan ungkapan yang membakar semangat dan menginspirasi bagi delegasi lainnya. Kata mereka, alam dan masyarakat Indonesia pasti akan rusak berkelanjutan tanpa perjuangan sungguh-sungguh pemuda, termasuk pemuda perempuan dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Pemuda lah yang akan mengendalikan penyelesaiannya di kemudian hari.
Tantangannya, kata Ayun, generasi mereka sebagian besar tidak pernah tahu hutan tropis yang dulu lebat, sungai Batang Hari yang jernih, gambut dan rawa sebelum dirusak, selain dari cerita dan buku-buku.
“Kami generasi yang lahir dari alam Indonesia yang telah rusak. Kami butuh sekolah krisis iklim yang relevan, serta dukungan solidaritas nasional dan internasional yang intens dan berkelanjutan,” tutup Ayun. (*)