Radarjambi.co.id-Gus Miftah, seorang ulama dan penceramah terkenal di Indonesia, selalu menjadi sorotan publik berkat gaya dakwahnya yang santai, humoris, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Namun, baru-baru ini, namanya kembali menjadi perbincangan hangat di masyarakat setelah ucapan yang dianggap menghina profesi tukang teh es. Insiden ini memunculkan pertanyaan penting tentang etika sosial dalam konteks seorang tokoh agama, serta bagaimana pernyataan atau tindakan seorang publik figure dapat memengaruhi pandangan dan hubungan sosial dalam masyarakat.
Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana etika sosial terkait dengan kontroversi ini, termasuk perspektif tentang kesantunan berbicara, penghargaan terhadap profesi, serta dampak yang ditimbulkan terhadap hubungan sosial antara individu, kelompok, dan masyarakat luas.
Kontroversi ini bermula dari sebuah video yang beredar di media sosial, di mana Gus Miftah tampak mengkritik profesi tukang teh es. Dalam video tersebut, ia mengatakan bahwa ada profesi yang tidak memiliki "harga diri," dengan merujuk pada pekerjaan tukang teh es.
Meskipun ia mencoba untuk menyampaikan pesan yang lebih besar tentang perilaku moral dan etika kerja, pernyataan ini langsung menuai reaksi keras dari banyak kalangan, terutama para tukang teh es dan masyarakat yang merasa profesi tersebut dihina.
Sebagai seorang ulama yang sering memberikan dakwah kepada masyarakat, ucapan Gus Miftah ini memicu perdebatan panjang tentang etika sosial dalam berbicara dan menghargai profesi lain.
Banyak orang yang merasa bahwa tidak seharusnya seorang tokoh agama merendahkan pekerjaan yang dijalani banyak orang demi mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Di sisi lain, ada pula yang mencoba memahami konteks dakwah yang ingin disampaikan oleh Gus Miftah, meskipun tetap menganggap ucapan tersebut kurang bijaksana.
Dalam perspektif etika sosial, penting untuk memahami bahwa setiap profesi, terlepas dari tingkat sosialnya, memiliki peran dan kontribusi terhadap masyarakat.
Profesi seperti tukang teh es mungkin terlihat sederhana, namun ia memiliki arti penting dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di tengah masyarakat yang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Merendahkan atau menghina profesi ini bisa menciptakan ketegangan sosial, terutama bagi mereka yang menggantungkan hidup pada pekerjaan tersebut.
Tidak ada profesi yang seharusnya dianggap lebih rendah dari profesi lainnya, karena setiap pekerjaan berkontribusi pada kesejahteraan sosial. Dalam etika sosial Islam, bahkan dalam Al-Qur'an dan hadis, kita diajarkan untuk menghargai setiap profesi dan kerja keras seseorang. Seorang pedagang, buruh, tukang, atau pegawai pemerintah semuanya memiliki hak untuk dihormati selama mereka bekerja dengan jujur dan sesuai dengan aturan.
Gus Miftah, sebagai seorang tokoh agama yang seharusnya mempromosikan nilai-nilai ini, perlu mengingat bahwa dakwahnya tidak hanya mengajarkan tentang kebenaran agama, tetapi juga tentang bagaimana kita bersikap terhadap sesama, tanpa memandang status sosial atau pekerjaan mereka.
Setelah kontroversi ini merebak, Gus Miftah akhirnya memberikan klarifikasi bahwa pernyataannya tidak dimaksudkan untuk merendahkan profesi tukang teh es secara keseluruhan, melainkan untuk menekankan pentingnya menjaga harga diri dalam bekerja. Ia mengatakan bahwa dalam beberapa kasus, ia merasa ada orang yang tidak menjaga martabatnya dalam bekerja, terlepas dari pekerjaan yang mereka lakukan. Gus Miftah mengakui bahwa pernyataan tersebut bisa disalahpahami, dan ia meminta maaf kepada masyarakat yang merasa tersinggung.
Klarifikasi dan permintaan maaf seperti ini adalah bagian dari etika sosial yang penting. Seorang tokoh yang mendapat perhatian publik harus mampu merespons kritik dengan sikap rendah hati dan bijaksana. Dalam hal ini, Gus Miftah menunjukkan contoh bagaimana seorang ulama seharusnya merespons kontroversi atau kesalahan, yaitu dengan mengakui kekeliruan dan mengklarifikasi niatnya dengan cara yang baik. Ini juga menunjukkan bahwa etika sosial tidak hanya berkaitan dengan apa yang kita ucapkan, tetapi juga bagaimana kita bertanggung jawab atas ucapan kita dan menghadapinya dengan sikap yang positif.
Kontroversi ini membawa dampak yang luas terhadap masyarakat, terutama dalam hal keterbukaan sosial dan persepsi terhadap profesi. Salah satu dampak dari pernyataan ini adalah munculnya kesadaran bahwa kita harus lebih berhati-hati dalam berbicara tentang orang lain, terutama dalam hal profesi yang berhubungan dengan kesejahteraan hidup. Bagi sebagian orang, pekerjaan seperti tukang teh es adalah pekerjaan yang dilakukan dengan penuh keikhlasan dan tanggung jawab, dan merendahkan pekerjaan tersebut bisa
dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap mereka yang terlibat di dalamnya.
Di sisi lain, ini juga membuka ruang bagi kita untuk merenungkan pentingnya menghargai berbagai profesi di masyarakat. Dalam konteks dakwah Gus Miftah, hal ini bisa dijadikan pelajaran untuk lebih berhati-hati dalam memilih kata-kata yang dapat menyinggung atau merendahkan pihak lain, serta untuk selalu mengedepankan sikap saling menghargai.
Kontroversi yang melibatkan Gus Miftah dan profesi tukang teh es mengajarkan kita bahwa etika sosial bukan hanya tentang bagaimana kita berbicara, tetapi juga tentang bagaimana kita menghargai martabat setiap individu, terlepas dari profesinya. Sebagai seorang tokoh agama yang memiliki pengaruh besar, Gus Miftah memiliki tanggung jawab untuk menjaga keharmonisan sosial melalui dakwah yang tidak merendahkan atau menyudutkan pihak manapun.
Gus Miftah sudah melakukan langkah yang baik dengan memberikan klarifikasi dan meminta maaf atas ucapannya yang menyinggung sebagian orang. Namun, insiden ini tetap menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga etika dalam berbicara, terutama bagi tokoh publik, agar dakwah yang disampaikan dapat memberikan manfaat dan kedamaian bagi masyarakat luas.(*)
Penulis : Reyhan Syahru Ramadhan
Sosialisasi Pembuatan Ekoenzim oleh Mahasiswa KKN UAD Alternatif-94
Yamaha Bakal Bagi - Bagi Iphone Gratis Khusus Pengguna Fazzio di Jambi