Kekosongan Eksistensial dalam

Senin, 30 Juni 2025 - 21:35:50


Novi tiarani
Novi tiarani /

Radarjambi.co.id-Novel "The Memory Police" karya Yoko Ogawa menyajikan narasi distopia yang menggugah tentang sebuah pulau di mana objek-objek dan konsep-konsep secara bertahap menghilang dari ingatan kolektif masyarakat.

Karya ini tidak hanya berfungsi sebagai kritik politik terhadap totalitarianisme, tetapi juga sebagai eksplorasi mendalam tentang kondisi psikologis manusia ketika berhadapan dengan kehilangan makna eksistensial.

Melalui lensa teori psikologi Rollo May, khususnya konsepnya tentang kekosongan eksistensial, novel ini mengungkap bagaimana manusia mengalami kecemasan, kesepian, dan kehampaan ketika kehidupan mereka kehilangan substansi dan makna yang fundamental.

Rollo May, sebagai salah satu tokoh utama psikologi eksistensial, mengidentifikasi fenomena yang disebutnya sebagai "kekosongan eksistensial" (existential vacuum). Menurut May, kondisi ini muncul ketika individu kehilangan koneksi dengan makna hidup mereka, mengakibatkan perasaan hampa, cemas, dan terasing.

May berpendapat bahwa manusia modern sering mengalami krisis makna karena hilangnya nilai-nilai tradisional dan struktur sosial yang memberikan orientasi hidup.

 Dalam pandangan May, kecemasan eksistensial berbeda dari kecemasan neurotik. Kecemasan eksistensial adalah respons alami terhadap konfrontasi dengan ketidakpastian, kematian, dan tanggung jawab kebebasan manusia.

Ketika struktur makna runtuh, individu menghadapi apa yang May sebut sebagai "kecemasan nonbeing" – ketakutan akan kehilangan identitas dan eksistensi yang bermakna.

Dalam novel Ogawa, proses penghilangan objek-objek dari memori kolektif menciptakan kondisi yang sangat mirip dengan kekosongan eksistensial yang digambarkan May. Ketika benda-benda seperti burung, mawar, atau bahkan bagian tubuh menghilang dari ingatan masyarakat, yang terjadi bukan hanya kehilangan material, tetapi kehilangan makna dan identitas yang terkait dengan objek tersebut.

Narator dalam novel menggambarkan bagaimana setiap penghilangan meninggalkan "lubang" dalam kehidupan mereka. Lubang-lubang ini adalah representasi literal dari kekosongan eksistensial May – ruang hampa di mana sebelumnya terdapat makna, koneksi emosional, dan identitas. Masyarakat pulau tersebut secara bertahap kehilangan apa yang May sebut sebagai "pusat gravitasi eksistensial" mereka.

Karakter-karakter dalam novel mengalami kecemasan yang mendalam, meskipun mereka tidak selalu dapat mengartikulasikan sumbernya. Ini mencerminkan analisis May tentang kecemasan eksistensial yang muncul dari konfrontasi dengan ketidakpastian fundamental kehidupan.

Memory Police sebagai institusi represif tidak hanya menghapus objek-objek fisik, tetapi juga menciptakan atmosfer ketidakpastian konstan tentang apa yang akan hilang selanjutnya.Narator sering menggambarkan perasaan cemas yang tidak dapat dijelaskan, terutama ketika berhadapan dengan kemungkinan kehilangan lebih banyak lagi.

Kecemasan ini bukan sekadar ketakutan terhadap otoritas, tetapi ketakutan eksistensial yang lebih dalam terhadap penghapusan total identitas dan makna hidup.

 May menekankan bahwa kekosongan eksistensial sering disertai dengan perasaan kesepian yang mendalam – bukan kesepian sosial biasa, tetapi kesepian eksistensial yang muncul dari perasaan terputus dari makna dan tujuan hidup.

Dalam novel Ogawa, karakter-karakter mengalami isolasi yang berlapis: isolasi fisik di pulau terpencil, isolasi sosial akibat tekanan Memory Police, dan yang paling signifikan, isolasi eksistensial akibat kehilangan koneksi dengan elemen-elemen yang sebelumnya memberikan makna pada kehidupan mereka.

Hubungan antarkarakter dalam novel mencerminkan upaya untuk mengatasi kesepian eksistensial ini. Hubungan antara narator dengan editor R, misalnya, menjadi semacam perlawanan terhadap kehampaan – sebuah upaya untuk mempertahankan makna dan koneksi manusiawi di tengah proses penghapusan sistematis.

May percaya bahwa kreativitas adalah salah satu cara terpenting untuk mengatasi kekosongan eksistensial. Dalam novel, aktivitas menulis narator menjadi bentuk perlawanan terhadap penghapusan makna.

Proses kreatif penulisan novel dalam novel (metafiksi) berfungsi sebagai cara untuk mempertahankan dan menciptakan makna baru di tengah kehancuran eksistensial.

Tindakan menyembunyikan dan melindungi editor R juga dapat dipahami sebagai bentuk kreativitas eksistensial – penciptaan ruang makna alternatif yang menentang kekosongan yang dipaksakan oleh Memory Police.

Karakter-karakter yang masih dapat mengingat objek-objek yang telah "menghilang" mewakili perlawanan terhadap kekosongan eksistensial. Kemampuan mereka untuk mempertahankan ingatan adalah bentuk pemeliharaan makna dan identitas.

May akan melihat ini sebagai upaya untuk mempertahankan "keberanian untuk menjadi" (courage to be) – keberanian untuk mempertahankan eksistensi yang autentik meskipun menghadapi ancaman nonbeing.

 "The Memory Police" karya Yoko Ogawa memberikan ilustrasi yang kuat tentang konsep kekosongan eksistensial Rollo May. Novel ini mendemonstrasikan bagaimana kehilangan makna dan identitas dapat menciptakan kondisi psikologis yang menghancurkan, ditandai dengan kecemasan, kesepian, dan kehampaan eksistensial.

Melalui narasi distopia ini, Ogawa tidak hanya mengkritik sistem totaliter yang menghancurkan kebebasan individu, tetapi juga mengeksplorasi kondisi psikologis universal manusia ketika berhadapan dengan kehilangan makna. Novel ini mengingatkan kita tentang pentingnya mempertahankan koneksi dengan nilai-nilai, ingatan, dan hubungan yang memberikan substansi pada kehidupan manusia.

Dalam konteks psikologi May, novel ini menjadi peringatan tentang bahaya kekosongan eksistensial sekaligus testimoni tentang kemampuan manusia untuk menciptakan makna dan mempertahankan kemanusiaan mereka bahkan dalam kondisi yang paling menantang.

\Karya Ogawa menunjukkan bahwa meskipun kekuatan eksternal dapat menghancurkan struktur makna yang ada, kapasitas manusia untuk kreativitas, cinta, dan perlawanan eksistensial tetap menjadi sumber harapan dalam menghadapi kehampaan.(*)

 

 

 

Penulis  :  Novi tiarani, Mahasiswi Universitas Andalas