Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel Madogiwa no Totto-chan Karya Tetsuko Kuroyanagi

Senin, 30 Juni 2025 - 22:58:41


Reyhan Kevin Yudhistira
Reyhan Kevin Yudhistira /

Radarjambi.co.id-Novel Madogiwa no Totto-chan karya Tetsuko Kuroyanagi adalah sebuah karya otobiografis yang menggambarkan pengalaman masa kecil penulis ketika bersekolah di Tomoe Gakuen, sebuah sekolah eksperimental di Jepang yang menawarkan pendekatan pendidikan yang sangat berbeda dari sistem konvensional pada zamannya.

Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1981 dan langsung menjadi bestseller di Jepang, bahkan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di seluruh dunia. Melalui kisah Totto-chan, pembaca diperkenalkan pada dunia pendidikan yang penuh kasih sayang, penghargaan terhadap individualitas, serta pendekatan pembelajaran yang kreatif dan inklusif.

Dalam artikel ini, penulis akan menganalisis nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Madogiwa no Totto-chan dengan menggunakan teori sastra dari Wellek dan Warren yang membagi kajian sastra ke dalam pendekatan intrinsik dan ekstrinsik.

 René Wellek dan Austin Warren dalam bukunya Theory of Literature membagi pendekatan dalam kajian sastra menjadi dua, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik adalah pendekatan yang menilai karya sastra berdasarkan unsur-unsur yang ada di dalam karya itu sendiri, seperti tema, tokoh, alur, latar, gaya bahasa, dan sudut pandang.

Sementara itu, pendekatan ekstrinsik melihat karya sastra dari pengaruh luar seperti latar belakang sosial, budaya, psikologi pengarang, nilai-nilai moral, pendidikan, dan sebagainya. Dengan menggunakan dua pendekatan ini secara bersamaan, analisis terhadap karya sastra akan menjadi lebih komprehensif dan menyeluruh.

Pendekatan pertama yang akan digunakan dalam artikel ini adalah pendekatan intrinsik. Dari segi tema, Madogiwa no Totto-chan mengangkat tema utama tentang pendidikan yang memanusiakan manusia.

Pendidikan dalam novel ini digambarkan sebagai sarana untuk memahami dan mengembangkan potensi anak-anak secara maksimal, bukan sekadar untuk menghafal pelajaran atau mendapatkan nilai tinggi.

Tokoh utama dalam novel ini adalah Totto-chan, seorang gadis kecil yang aktif, penuh rasa ingin tahu, dan sering dianggap "bermasalah" oleh sekolah konvensional karena perilakunya yang dianggap tidak sesuai aturan. Namun, di Tomoe Gakuen, Totto-chan diterima apa adanya dan diberi kebebasan untuk mengeksplorasi dunia sesuai dengan minat dan kebutuhannya.

Tokoh lain yang sangat berperan dalam pembentukan nilai pendidikan dalam novel ini adalah Kepala Sekolah Tomoe Gakuen, yaitu Pak Sosaku Kobayashi. Ia digambarkan sebagai sosok pendidik yang bijaksana, penuh kasih, dan sangat memahami dunia anak-anak.

Dalam salah satu bagian novel, ia berkata kepada Totto-chan, "Kamu anak yang sangat baik," sebuah pernyataan sederhana namun sangat berdampak bagi jiwa seorang anak. Melalui tokoh Pak Kobayashi, pembaca disuguhkan sebuah model pendidik ideal yang mampu melihat potensi setiap anak secara unik dan tidak menghakimi mereka berdasarkan perilaku lahiriah semata.

 Alur cerita dalam novel ini disusun secara episodik dan menggunakan alur campuran dengan banyak kilas balik yang menggambarkan berbagai pengalaman Totto-chan selama di Tomoe Gakuen. Setiap episode mengandung nilai-nilai pendidikan tertentu yang disampaikan secara halus namun mendalam.

Latar tempat utama dalam novel adalah Tomoe Gakuen, sebuah sekolah yang sangat tidak biasa karena ruang kelasnya berada di dalam gerbong kereta api bekas. Lingkungan sekolah yang alami dan tidak kaku mencerminkan filosofi pendidikan yang terbuka dan mendukung kreativitas anak.

Gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini sangat sederhana, lugas, dan mudah dipahami, mencerminkan sudut pandang anak-anak yang menjadi narator dalam cerita. Penggunaan sudut pandang orang pertama membuat pembaca merasa lebih dekat dengan tokoh Totto-chan dan memahami dunia dari perspektif seorang anak.

Melalui pendekatan intrinsik ini, terlihat bahwa semua unsur dalam novel disusun secara harmonis untuk mendukung penyampaian pesan utama tentang pentingnya pendidikan yang menghargai anak sebagai individu yang unik.

 Selanjutnya, melalui pendekatan ekstrinsik, kita dapat menganalisis bagaimana nilai-nilai pendidikan dalam novel ini berkaitan dengan realitas sosial, budaya, dan psikologis, serta bagaimana pengalaman pribadi Tetsuko Kuroyanagi sebagai penulis memengaruhi isi karya ini.

Novel ini ditulis berdasarkan pengalaman nyata Kuroyanagi ketika bersekolah di Tomoe Gakuen pada masa kecilnya. Sekolah ini benar-benar ada, dan Pak Kobayashi adalah tokoh nyata yang menjadi inspirasi utama dalam hidup Kuroyanagi. Oleh karena itu, nilai-nilai pendidikan yang disampaikan dalam novel ini bukan hanya fiksi, tetapi merupakan refleksi dari praktik pendidikan yang pernah dijalani oleh penulis.

 Nilai pendidikan pertama yang sangat menonjol dalam novel ini adalah nilai inklusivitas. Di Tomoe Gakuen, semua anak diterima tanpa diskriminasi, termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Pak Kobayashi sengaja mencampurkan siswa difabel dan non-difabel dalam satu kelas agar mereka dapat saling belajar dan memahami satu sama lain. Hal ini mencerminkan prinsip pendidikan yang menjunjung tinggi kesetaraan, toleransi, dan penghargaan terhadap keberagaman.

Nilai berikutnya adalah kebebasan dalam belajar. Di Tomoe Gakuen, anak-anak diperbolehkan memilih pelajaran apa yang ingin mereka pelajari terlebih dahulu. Tidak ada jadwal pelajaran yang kaku, dan anak-anak diberi kebebasan untuk belajar sesuai dengan minat dan ritme mereka masing-masing.

Metode ini sangat berbeda dengan sistem pendidikan konvensional yang cenderung memaksa anak untuk mengikuti aturan seragam. Dengan pendekatan ini, anak-anak dapat belajar dengan lebih antusias dan bertanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri.

Novel ini juga menekankan pentingnya pendidikan karakter dan moral. Pak Kobayashi tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter anak-anak melalui contoh dan pengalaman sehari-hari.

Ia mengajarkan pentingnya kejujuran, kerja sama, tanggung jawab, serta rasa empati terhadap sesama. Misalnya, dalam salah satu adegan, anak-anak diajak untuk makan siang bersama dengan menu yang bergizi dan diajarkan tentang pentingnya menghargai makanan dan kebersamaan.

Pendidikan berbasis pengalaman juga menjadi nilai penting dalam novel ini. Anak-anak tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga dari kegiatan di luar kelas seperti mengamati alam, berjalan-jalan ke gunung, dan bermain di lingkungan sekolah.

Pengalaman langsung ini membantu anak-anak mengembangkan keterampilan hidup, rasa ingin tahu, dan keterikatan emosional dengan lingkungan mereka. Hal ini sejalan dengan teori pembelajaran pengalaman (experiential learning) yang menyatakan bahwa pembelajaran yang paling efektif terjadi ketika siswa terlibat langsung dalam proses dan merefleksikan pengalaman mereka.

Nilai lain yang sangat kuat dalam novel ini adalah kepercayaan terhadap anak. Pak Kobayashi selalu menunjukkan kepercayaan penuh kepada murid-muridnya, bahkan ketika mereka melakukan kesalahan.

Ia tidak menggunakan hukuman keras, melainkan lebih memilih untuk berbicara dan memahami alasan di balik perilaku anak. Sikap ini mencerminkan keyakinan bahwa anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang baik jika mereka diberikan kepercayaan dan dukungan yang tulus.

Semua nilai-nilai ini sangat relevan dengan tantangan pendidikan masa kini, terutama dalam menghadapi sistem yang masih cenderung menekankan nilai akademis di atas perkembangan emosional dan karakter.

Novel ini menjadi pengingat bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan yang berfokus pada manusia secara utuh, bukan hanya pada aspek kognitif semata. Dengan mengangkat kisah nyata dan pendekatan pendidikan yang progresif, Madogiwa no Totto-chan memberikan kontribusi penting dalam wacana pendidikan, tidak hanya di Jepang tetapi juga secara global.

Dalam konteks teori sastra Wellek dan Warren, analisis ini menunjukkan bagaimana pendekatan intrinsik dan ekstrinsik dapat digunakan secara bersamaan untuk memahami makna mendalam dalam sebuah karya sastra.

Pendekatan intrinsik membantu kita memahami bagaimana unsur-unsur dalam teks mendukung penyampaian pesan pendidikan, sementara pendekatan ekstrinsik memungkinkan kita melihat hubungan antara teks dan realitas sosial, budaya, serta psikologis penulisnya. Dengan demikian, Madogiwa no Totto-chan tidak hanya dapat dinikmati sebagai karya sastra yang menghibur, tetapi juga sebagai sumber inspirasi dan refleksi kritis tentang bagaimana pendidikan seharusnya dijalankan.

 Akhirnya, Madogiwa no Totto-chan adalah novel yang tidak lekang oleh waktu. Pesan-pesan pendidikan yang terkandung di dalamnya tetap relevan bahkan hingga saat ini. Melalui gaya penulisan yang sederhana namun menyentuh, serta pengalaman pribadi yang autentik, Tetsuko Kuroyanagi berhasil menyampaikan nilai-nilai pendidikan yang humanis, inklusif, dan penuh empati.

Novel ini mengajak kita untuk melihat kembali esensi dari pendidikan, yaitu membentuk manusia yang utuh: cerdas secara intelektual, kuat secara emosional, dan luhur secara moral.

Dengan menggunakan pendekatan teori sastra Wellek dan Warren, kita dapat menangkap kedalaman pesan novel ini secara lebih menyeluruh dan menghargai karya sastra sebagai cermin dan sekaligus agen perubahan sosial yang bermakna.(*)

 

 

 

 

Penulis :   Reyhan Kevin Yudhistira Mahasiswa Universitas Andalas, Prodi Sastra Jepang