Kajian Psikis Terhadap Novel The Memory Police

Selasa, 01 Juli 2025 - 12:59:59


Muhammad Abid Alzaky
Muhammad Abid Alzaky /

Radarjambi.co.id-Novel The Memory Police karya Yoko Ogawa menyajikan gambaran masyarakat yang terperangkap dalam proses penghapusan ingatan yang dilakukan secara sistematis.

Kehilangan benda, konsep, dan bahkan ingatan pribadi bukan hanya menjadi masalah sosial, tetapi juga mencerminkan krisis psikis yang mendalam.

Tulisan ini menganalisis novel tersebut melalui pendekatan teori psikoanalisis Sigmund Freud, khususnya konsep represi, serta teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow.

Analisis ini menunjukkan bahwa pelupaan yang terjadi dalam novel bukan sekadar simbol kontrol politik, tetapi juga merupakan proses represi yang secara langsung mempengaruhi kebutuhan dasar manusia.

Novel ini menjadi refleksi yang menyakitkan tentang bagaimana represi dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar dapat menghancurkan identitas dan kemanusiaan individu.

Yoko Ogawa adalah penulis Jepang kontemporer yang karyanya kaya akan simbolisme, suasana tenang, dan kritik terhadap kekuasaan yang tidak terlihat.

Dalam The Memory Police (1994), ia menciptakan dunia fiksi di sebuah pulau tanpa nama, di mana benda-benda, konsep, dan perasaan dapat secara tiba-tiba "menghilang"—baik secara fisik maupun dari ingatan kolektif masyarakat.

Proses pelupaan ini bukanlah hal yang alami, melainkan dipaksakan oleh sebuah otoritas represif yang disebut Memory Police, yang menjamin bahwa segala sesuatu yang "hilang" benar-benar dilupakan, dan siapa pun yang menolak untuk melupakan akan diburu dan dihilangkan.

Situasi ini menciptakan kondisi psikologis yang penuh tekanan, ketakutan, dan keterasingan.

Melalui sudut pandang psikoanalisis Freud, pelupaan ini dapat dipahami sebagai bentuk represi psikis: dorongan bawah sadar untuk menekan hal-hal menyakitkan yang tidak bisa dihadapi secara sadar.

Namun, tekanan semacam ini berdampak langsung pada kemampuan individu dalam memenuhi kebutuhan mereka sebagai manusia.

Di sinilah teori kebutuhan Maslow melengkapi analisis: ketika kebutuhan akan rasa aman, cinta, dan aktualisasi tidak terpenuhi, individu kehilangan pegangan pada identitas dan makna hidup.

Freud dalam teori psikoanalisisnya menyatakan bahwa represi adalah mekanisme pertahanan ego yang berusaha menghilangkan pikiran atau pengalaman traumatis dari kesadaran menuju alam bawah sadar.

Namun, sesuatu yang direpresi tidak benar-benar hilang. Ia tetap ada dalam bentuk gejala, mimpi, atau kecemasan yang samar.

Dalam The Memory Police, masyarakat mengalami pelupaan massal, tetapi tetap tidak bebas dari kecemasan. Hilangnya benda dan makna justru menciptakan kehampaan dan disorientasi.

Sementara itu, Maslow menyusun teori hirarki kebutuhan yang mengemukakan bahwa manusia memiliki lima lapisan kebutuhan: fisiologis, keamanan, cinta dan rasa memiliki, harga diri, dan aktualisasi diri.

Ketika lapisan terbawah tidak terpenuhi, manusia kesulitan untuk mencapai potensi terbaiknya. Dalam novel ini, kondisi otoriter secara sistematis merusak seluruh kebutuhan tersebut.

Represi Psikis sebagai Strategi Bertahan

Dalam The Memory Police, represi tidak hanya dialami secara individu, tetapi juga diinstitusikan dalam skala sosial. Ketika sesuatu "menghilang"—seperti burung, parfum, atau bahkan kalender—masyarakat tidak hanya membuang benda tersebut, tetapi juga melupakan keberadaannya.

“Tak ada yang bertanya mengapa atau bagaimana. Kami hanya membuka sangkar, melepaskan burung, dan melanjutkan hidup.” (Ogawa, 2019)

Menurut Freud, represi terjadi karena ego tidak mampu mengelola dorongan atau pengalaman tertentu. Dalam novel ini, tekanan dari Memory Police menimbulkan rasa takut kolektif yang kemudian mendorong masyarakat untuk secara otomatis merepresi. Mereka “melupakan” demi bertahan.

Namun, proses ini menimbulkan ketegangan dalam jiwa: narator, misalnya, mulai kehilangan kepercayaan pada pikirannya sendiri, meragukan ingatannya, bahkan identitasnya.

Represi dalam novel bukanlah pelupaan yang meringankan beban, melainkan penekanan yang perlahan menghancurkan dasar psikis manusia. Dunia menjadi sunyi, tidak hanya karena benda-benda lenyap, tetapi karena makna dan perasaan ikut menghilang.

 Polisi Memori: Superego yang Menindas

Freud membagi struktur jiwa manusia menjadi tiga bagian: id (naluri), ego (pengatur realitas), dan superego (norma dan larangan). Dalam The Memory Police, aparat penghapus ingatan tersebut berfungsi seperti superego yang represif—mengatur apa yang boleh diingat dan apa yang tidak.

Mereka bukan hanya menindak pelanggaran, tetapi juga menciptakan rasa bersalah dalam diri orang-orang yang masih mengingat sesuatu yang seharusnya “dilupakan”.

Tokoh R, satu-satunya yang masih mengingat semuanya, terpaksa bersembunyi di ruang rahasia.

Narator yang menyembunyikannya tidak hanya menantang sistem, tetapi juga berjuang untuk menyelamatkan sisa identitas dirinya melalui tindakan melindungi kenangan.

“Aku tak tahu apakah dunia yang lama itu nyata, tapi jika R masih mengingatnya, maka aku percaya ia ada.” (Ogawa, 2019)

 Kebutuhan Dasar yang Terancam

Kondisi psikologis tokoh-tokoh dalam novel ini mencerminkan dampak dari tidak terpenuhinya kebutuhan manusia menurut kerangka Maslow:

Keamanan: Dengan adanya ancaman penghilangan, tidak ada tempat yang benar-benar aman. Rumah bisa digerebek, dan orang bisa ditangkap kapan saja. Ketakutan menjadi bagian dari rutinitas hidup.

Cinta dan Rasa Memiliki: Hilangnya benda-benda yang memiliki nilai emosional menyebabkan retaknya hubungan antar manusia. Tokoh-tokoh kehilangan kemampuan untuk membangun kelekatan emosional yang tulus.

Harga Diri dan Aktualisasi: Narator, yang berprofesi sebagai penulis, secara perlahan kehilangan kata-kata. Bahasa, sebagai sarana penciptaan, mulai menghilang seiring hilangnya benda. Ketika tidak ada lagi kata, maka tidak ada lagi ruang untuk ekspresi diri.

“Bahasaku terasa hampa. Cerita-ceritaku kehilangan bentuk.” (Ogawa, 2019)

Tanpa kebutuhan dasar yang terpenuhi, manusia dalam novel menjadi makhluk yang hanya bertahan hidup, bukan hidup sepenuhnya. Mereka kehilangan daya cipta, daya rasa, bahkan daya ingat.

The Memory Police bukan sekadar kisah distopia tentang penghapusan ingatan, tetapi juga eksplorasi mendalam mengenai psikologi manusia di bawah represi sistematis.

Melalui lensa Freud, kita memahami bahwa pelupaan dalam novel ini adalah bentuk represi yang terus menerus menghantui kesadaran dan mengikis integritas jiwa.

Sementara itu, melalui Maslow, kita melihat bagaimana pelupaan itu menghancurkan kebutuhan manusia satu per satu, dari rasa aman hingga aktualisasi diri.

Novel ini menunjukkan bahwa melupakan bukanlah jalan keluar dari penderitaan, melainkan awal dari kehampaan. Ketika manusia dipaksa untuk lupa, mereka kehilangan bukan hanya masa lalu, tetapi juga diri mereka sendiri.

Dalam dunia yang terus menghapus makna, satu-satunya bentuk perlawanan adalah mengingat—meskipun itu berarti melawan seluruh dunia.(*)

 

 

 

Penulis : Muhammad Abid Alzaky Mahasiswa Universitas Andalas