Radarjambi.co.id-Novel The Memory Police karya Yoko Ogawa menghadirkan sebuah dunia distopia di sebuah pulau terpencil, di mana benda-benda dan konsep tertentu secara misterius menghilang dari kehidupan masyarakat.
Polisi Kenangan bertugas menghapus keberadaan benda-benda tersebut tidak hanya secara fisik, tetapi juga dari ingatan kolektif warga.
Fenomena pelupaan massal ini menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai hubungan antara memori, identitas, dan kekuasaan dalam sebuah masyarakat yang tertekan.
Melalui narasi yang penuh simbolisme dan atmosfer suram, Ogawa mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana memori dan identitas individu dapat terancam oleh kekuatan represif.
Oleh karena itu, tulisan ini akan menggunakan teori represi Sigmund Freud sebagai kerangka analisis untuk memahami mekanisme psikologis yang terjadi pada individu dan masyarakat dalam novel tersebut.Sigmund Freud, sebagai pelopor psikoanalisis, memperkenalkan konsep represi sebagai salah satu mekanisme pertahanan psikologis utama.
Represi adalah proses penekanan pengalaman, dorongan, atau ingatan yang menimbulkan kecemasan dan konflik ke dalam alam bawah sadar agar individu dapat berfungsi tanpa terganggu oleh rasa sakit atau ketakutan tersebut.
Namun, Freud menegaskan bahwa apa yang ditekan tidak pernah benar-benar hilang; ia tetap berada dalam bentuk laten dan dapat muncul kembali dalam mimpi, gejala psikis, atau ekspresi seni dan budaya.
Dalam konteks The Memory Police, proses pelupaan yang dipaksakan oleh Polisi Kenangan dapat dilihat sebagai bentuk represi kolektif.
Masyarakat di pulau tersebut secara paksa melupakan benda-benda dan konsep yang telah “dihapus”, sehingga identitas dan sejarah mereka secara perlahan terkikis.
Represi ini bukan hanya pengalaman individual, melainkan mekanisme sosial yang memaksa warga untuk menyesuaikan diri dengan kehilangan demi menjaga stabilitas dan ketertiban.
Studi ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana teori represi Freud dapat menjelaskan dinamika psikologis dan sosial yang tergambar dalam novel, serta implikasinya terhadap pemahaman tentang memori dan identitas.Dalam novel, benda-benda yang dihapus tidak sekadar hilang secara fisik, tetapi juga secara psikologis dilupakan oleh masyarakat.
Polisi Kenangan berfungsi sebagai simbol superego kolektif yang mengawasi dan menegakkan represi ini. Mereka memastikan bahwa tidak ada warga yang mempertahankan ingatan tentang benda-benda yang telah dilarang, sehingga menciptakan amnesia massal yang dipaksakan.
Fenomena ini mencerminkan bagaimana kekuasaan dapat mengontrol memori dan identitas melalui mekanisme represi yang sistematis.
Sebagaimana dikatakan oleh tokoh utama, “Ketika sesuatu lenyap, yang hilang bukan hanya bendanya, tetapi juga ingatan akan benda itu” (Ogawa, 1994).
Pernyataan ini menggaris bawahi bagaimana pelupaan bukan hanya kehilangan fisik, melainkan juga kehilangan makna dan identitas yang melekat pada benda tersebut.Represi kolektif ini menimbulkan tekanan psikologis yang besar pada individu, terutama pada tokoh utama. Ia menyadari ada sesuatu yang hilang, namun tidak mampu mengingat secara jelas apa yang telah lenyap.
Ketidakmampuan ini menimbulkan konflik batin yang mencerminkan ketegangan antara dorongan bawah sadar untuk mengingat dan kebutuhan sadar untuk menyesuaikan diri dengan realitas yang dipaksakan.
Dalam perspektif Freud, ini adalah manifestasi dari represi yang bekerja pada tingkat psikologis individu, namun dipengaruhi oleh tekanan sosial yang luas.Tokoh Ibu sebagai Simbol Id dan Resistensi terhadap RepresiIbu tokoh utama menjadi figur penting dalam menggambarkan resistensi terhadap represi.
Berbeda dengan mayoritas masyarakat, Ibu masih mampu mengingat benda-benda yang telah dihapus dan menyimpannya secara diam-diam di dalam laci rahasia.
Ia mewakili id, bagian dari struktur psikis menurut Freud yang berisi dorongan dan ingatan primal yang menolak untuk ditekan.Freud menjelaskan bahwa “the id is the dark, inaccessible part of our personality” (Freud, 1923), yang berisi keinginan dan kenangan yang tidak bisa sepenuhnya dikendalikan oleh kesadaran.
Keberanian Ibu mempertahankan kenangan tersebut menjadikannya ancaman bagi tatanan sosial yang dibangun oleh Polisi Kenangan.
Akibatnya, ia dihilangkan secara paksa, yang mencerminkan bagaimana kekuasaan represif menyingkirkan individu yang tidak mau tunduk pada represi kolektif.
Peristiwa ini menimbulkan trauma mendalam bagi tokoh utama dan memperkuat tema kehilangan serta ketakutan yang melingkupi novel.
Tokoh utama mengalami gejala represi yang kompleks. Ia sadar akan kehilangan, namun tidak mampu mengakses kenangan tersebut secara sadar.
Pahatan yang dibuat oleh ibunya menjadi simbol pelestarian memori yang tersembunyi, sebuah bentuk komunikasi bawah sadar yang membantu tokoh utama untuk tetap terhubung dengan masa lalu yang tertekan.Dalam konteks psikoanalisis, aktivitas menulis tokoh utama berfungsi sebagai “the talking cure” sebuah proses terapeutik di mana pengungkapan pengalaman yang ditekan dapat membantu mengatasi trauma dan konflik batin.
Freud pernah menyatakan, “Words have a magical power. They can bring either the greatest happiness or the deepest despair” (Freud, 1917).
Melalui tulisan, tokoh utama berusaha mempertahankan sisa-sisa identitas dan memori yang terus terancam hilang.
Ini menunjukkan bagaimana ekspresi kreatif dapat menjadi sarana untuk melawan represi dan menjaga keberlangsungan memori.Laci rahasia tempat Ibu menyimpan benda-benda yang telah dihapus merepresentasikan alam bawah sadar yang menyimpan memori tertekan.
Ketika benda-benda tersebut muncul kembali, timbul rasa uncanny sebuah konsep Freud yang menggambarkan perasaan aneh dan tidak nyaman yang muncul ketika sesuatu yang familiar menjadi asing dan menakutkan.
Freud menjelaskan bahwa uncanny adalah “that class of the frightening which leads back to what is known of old and long familiar” (Freud, 1919).Rasa uncanny ini menandakan bahwa represi tidak pernah benar-benar berhasil menghapus ingatan memori yang ditekan selalu mencari jalan untuk muncul kembali, meskipun dalam bentuk yang mengganggu dan tidak diinginkan.
Dalam novel, kemunculan kembali benda-benda yang terlupakan memicu kegelisahan dan ketakutan yang mendalam, memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh memori bawah sadar terhadap kehidupan manusia.Trauma Kolektif dan Hilangnya IdentitasPenghapusan memori secara sistematis oleh Polisi Kenangan juga menciptakan trauma kolektif yang meluas.
Ketika ingatan dan benda-benda yang membentuk identitas sosial dan budaya hilang, masyarakat kehilangan pijakan eksistensialnya.
Novel ini menggambarkan bagaimana trauma tersebut tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga melekat pada struktur sosial secara keseluruhan.Tokoh-tokoh yang mampu mengingat, seperti Ibu dan R, menjadi sasaran pengawasan dan pemburuan, menandakan bahwa represi dipaksakan dengan kekerasan untuk mempertahankan dominasi.
Hal ini mencerminkan bagaimana kekuasaan dapat menggunakan represi sebagai alat untuk mengontrol dan membentuk identitas kolektif.Kesimpulan
Analisis novel The Memory Police menggunakan teori represi Sigmund Freud memperlihatkan bagaimana kekuasaan dapat memaksa pelupaan kolektif yang berdampak mendalam pada psikologis individu dan masyarakat.
Represi yang dilakukan oleh Polisi Kenangan berfungsi untuk menjaga stabilitas sosial, namun menimbulkan trauma dan kehilangan identitas yang signifikan.
Meskipun ditekan, memori dan identitas yang hilang terus berusaha muncul kembali melalui simbol-simbol, ekspresi kreatif, dan resistensi individu.
Novel ini menegaskan bahwa memori tidak dapat sepenuhnya dihapus, dan represi selalu meninggalkan jejak yang memengaruhi kehidupan manusia secara psikologis.
Melalui karya ini, Yoko Ogawa mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya memori dan identitas dalam menghadapi kekuasaan yang represif, serta bagaimana mekanisme psikologis seperti represi berperan dalam mempertahankan atau menghancurkan eksistensi manusia.(*)
Penulis : Abdullah Azzam dari universitas andalas
Analisis Karakter Tokoh Totto-chan Dalam Tinjauan Sigmund Freud
Krisis Identitas Memory Police Karya Yoko Ogawa: Tinjauan Psikoanalisis Freud
Ingatan yang Terlarang: Analisis Tokoh “R” dalam Novel Memory Police
Ecocriticism dalam Novel Totto-chan: Analisis Perspektif William Rueckert
Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel Madogiwa no Totto-chan Karya Tetsuko Kuroyanagi
Represi dan Alam Bawah Sadar dalam The Memory Police karya Yoko Ogawa
"Menumbuhkan Potensi Anak: Perspektif Maslow dalam Totto-chan