Represi dan Alam Bawah Sadar dalam The Memory Police

Rabu, 02 Juli 2025 - 15:28:53


/

Radarjambi.co.id-The Memory Police karya Yoko Ogawa adalah sebuah novel distopia yang menggambarkan masyarakat di sebuah pulau tak bernama, di mana objek-objek,makhluk hidup, hingga konsep abstrak secara misterius “menghilang” dari duniadan dari ingatan kolektif masyarakat.

Fenomena ini diawasi oleh lembaga represif bernama Memory Police, yang memastikan bahwa benda-benda yang hilang benar-benar dilupakan dan dihapus dari kesadaran publik.

Secara sekilas, novel ini tampak berbicara tentang kekuasaan dan pelupaan historis, namun pada level yang lebih dalam, kisah ini memuat gambaran mendalam tentang konflik psikis manusia yang dijelaskan dalam teori psikoanalisis Freud: tentang represi, trauma, dan pertarungan antara alam sadar dan bawah sadar.

Dalam kerangka psikoanalisis Freud, The Memory Police menyiratkan bagaimanamasyarakat membentuk mekanisme pertahanan psikologis dalam menghadapitrauma dan kehilangan.

Pelupaan tidak hanya terjadi secara sosial dan politis, tetapi juga psikologis: sebagai upaya mempertahankan stabilitas ego terhadap ancaman tekanan luar yang besar. Represi, sebagai konsep utama Freud, menjadi lensa yang sangat kuat untuk membaca struktur batin para tokoh dalam novel ini, serta untuk mengkaji bagaimana represi kolektif bisa menjadi sumber keterasingan dan kehancuran identitas.

Konsep Unconscious dan Represi Freud menekankan bahwa banyak perilaku manusia didorong oleh alam bawah sadar (unconscious), dan bahwa trauma serta kenangan sering ditekan (repressed) agar individu dapat bertahan.

Dalam novel ini, masyarakat mengalami kehilangan benda dan memori secara kolektif, tetapi mereka tidak memberontak; sebaliknya, mereka menerima dan melupakan secara otomatis. Ini mencerminkan mekanisme represi massal: suatu kondisi psikologis di mana realitas ditekan agar individu tidak mengalami kecemasan (anxiety).

Misalnya, tokoh utama kehilangan ingatan tentang burung, parfum, dan bendabendalainnya. Ia merasa asing bahkan terhadap objek yang memiliki nilaisentimental.

Proses ini menunjukkan represi kolektif dan internalisasi norma yang ditetapkan oleh otoritas (Polisi Kenangan), sehingga konflik batin antara Id (naluri), Ego (realitas), dan Superego (moralitas sosial) menjadi tidak seimbang.

Superego yang didorong oleh kekuasaan represif membungkam keinginan personal(misalnya keinginan untuk mengingat orang tua atau burung).

Sigmund Freud dalam karyanya “Repression” (1915) menyatakan bahwa represi adalah proses psikis di mana pikiran, dorongan, atau kenangan yang tidak dapat diterima oleh kesadaran ditekan ke dalam alam bawah sadar.

Represi tidak menghapus memori, melainkan menyembunyikannya dari kesadaran dengan harapan meredam kecemasan. Namun, yang ditekan tidak pernah benar-benar hilang: ia tetap aktif dan bisa muncul kembali dalam bentuk gejala, mimpi, atau perilaku tertentu.

Dalam The Memory Police, represi tidak hanya terjadi pada individu, tetapi pada tingkat kolektif. Ketika suatu objek “menghilang”, masyarakat secara otomatis menyerahkannya kepada otoritas dan kemudian mulai melupakannya, baik secara fisik maupun emosional.

Ketika burung lenyap, misalnya, masyarakat hanya membuka sangkar dan melepaskannya tanpa pertanyaan: “Burung telah menghilang. Tak ada yang bertanya mengapa atau ke mana perginya. Kami hanya membuka sangkar dan membiarkan mereka terbang.” (Ogawa, 2019: 9)

Ini adalah bentuk represi kolektif: pelupaan yang disengaja demi menghindari konfrontasi terhadap perasaan kehilangan yang menyakitkan. Dalam teori Freud, ini adalah bukti represi sebagai mekanisme pertahanan ego yang mencoba melindungi diri dari ketidakseimbangan emosional.

Polisi Memori sebagai Superego Kolektif Freud membagi struktur kepribadian manusia menjadi id (dorongan naluriah), ego (penengah realitas), dan superego (penginternalan nilai sosial dan moral).

Superego dalam The Memory Police diwujudkan dalam sosok lembaga represif—polisi yang tidak hanya menegakkan pelupaan, tetapi juga mengatur moral dan emosi masyarakat. Polisi ini hadir untuk menghukum siapa pun yang menyimpan benda atau memori yang seharusnya sudah “hilang”.

“Mereka datang di malam hari. Mereka mengambil barang-barang yang telah hilang dan siapa pun yang menyembunyikannya akan dibawa pergi.” (Ogawa, 2019: 27)Ketakutan terhadap Memory Police menjadi energi psikis bawah sadar yangmenekan ego masyarakat untuk patuh.

Superego yang terlalu dominan, menurut Freud, akan menghasilkan individu yang merasa bersalah meski tidak melakukan kesalahan, serta akan menghukum diri sendiri secara mental.

Masyarakat dalam novel ini adalah masyarakat yang hidup dalam rasa takut bawah sadar yang terus-menerus, yang memaksa mereka untuk melupakan sebagai bentuk perlindungan terhadap rasa bersalah.

Karakter R dan Perlawanan Ego terhadap Represi Dalam masyarakat yang seluruhnya tunduk pada represi, muncul tokoh R—seorang editor yang masih mampu mengingat hal-hal yang telah “dihilangkan”. R adalah manifestasi dari ego yang menolak tunduksepenuhnya pada tekanan superego.

Ia masih menyimpan kenangan sebagai bukti bahwa realitas objektif masih ada. Karena itu, keberadaan R dianggap ancaman besar bagi tatanan sosial yang dibangun atas dasar lupa. Narator, seorang penulis perempuan, memutuskan menyembunyikan R dan melindunginya.

Tindakan ini merupakan bentuk perlawanan batin terhadap dominasi superego, sekaligus usaha mempertahankan sisa-sisa realitas dan kemanusiaan. Narator berkata: “Aku merasa aku harus melindunginya, karena ingatannya adalah satusatunya yang mengikatku pada dunia yang pernah ada.” (Ogawa, 2019: 65)

Dalam pandangan Freud, tindakan ini menunjukkan konflik internal antarakebutuhan akan stabilitas (melupakan) dan keinginan mempertahankanidentitas (mengingat). Ego, dalam hal ini, berupaya menyeimbangkan tekanan dari luar dan dorongan dari dalam.

Dalam psikoanalisis, Freud menyatakan bahwa alam bawah sadar seringmuncul dalam bentuk simbol, mimpi, dan bahasa tersirat. Dalam novel,pelupaan juga mencakup bahasa: saat objek hilang, kata-kata yang merujukobjek tersebut pun ikut menghilang.

Masyarakat kehilangan bukan hanya memori, tapi juga sarana untuk mengungkapkannya. “Kata-kata itu menghilang seperti salju yang mencair. Tidak ada lagi cerita.” (Ogawa, 2019: 132)

Ketika bahasa hilang, individu kehilangan kemampuan untuk berpikir secara utuh. Tanpa bahasa, manusia tidak hanya tidak bisa mengingat, tetapi juga tidak bisa memahami siapa dirinya.

Dalam kerangka psikoanalisis, ini berarti terputusnya hubungan antara ego dan alam bawah sadar—karena bahasa adalah jembatan antara keduanya. Hilangnya bahasa adalah simbol dari kehancuran total identitas.

Klimaks dari represi yang berlangsung terus-menerus adalah alienasi. Individu dalam novel Ogawa tidak hanya kehilangan objek-objek fisik, tetapi juga kemampuan untuk merasakan kehilangan. Mereka tidak lagi tahu apa yang pernah mereka punya, dan tidak mampu merindukannya.

“Aku mencoba mengingat bentuknya, rasanya, suaranya. Tapi semuanyalenyap, seperti pasir yang lolos di antara jari-jari.” (Ogawa, 2019: 84)Dalam psikoanalisis, ini adalah kondisi neurotik kronis: perasaan hampayang tidak diketahui sebabnya, karena akar traumanya ditekan terlalu lama.

Ketika represi sudah menjadi norma kolektif, manusia terasing dari dirinyasendiri. Mereka tidak lagi mengenali siapa mereka sebelum semuanya“hilang”.

Melalui The Memory Police, Yoko Ogawa menghadirkan alegori tentang masyarakat yang secara sistemik ditekan untuk melupakan, dan bagaimana represi menjadi mekanisme pertahanan yang berbalik menjadi bumerang.

Dengan pendekatan psikoanalisis Freud, kita dapat melihat bahwa pelupaan dalam novel bukan hanya simbol penghapusan historis, melainkan cermin dari pergulatan batin antara ingatan, identitas, dan kuasa.

Polisi Memori merepresentasikan superego represif yang menciptakan rasa takut dan bersalah, sementara tokoh R menjadi perlawanan ego yang masih ingin mempertahankan realitas. Hilangnya bahasa menunjukkan kehancuran jembatan antara kesadaran dan ketidaksadaran, yang pada akhirnya menjerumuskan manusia ke dalam kekosongan dan keterasingan.

Novel ini menunjukkan bahwa pertarungan atas memori bukan sekadar isu politik atau sejarah, melainkan persoalan eksistensial. Dalam dunia yang represi menjadi norma, manusia tidak hanya kehilangan benda dan kata, tetapi juga kehilangan jati diri. Dan tanpa jati diri, tidak ada lagi yang bisa disebut sebagai kemanusiaan.(*)

 

 

 

Penulsi : Miqdad Althoof Bahar Mahasiswa universitas andalas