Pada saat ini ada kurang lebih 16 juta masyarakat Indonesia yang bergantung dengan industri kelapa sawit di Indonesia. Setiap tahunnya Indonesia memproduksi 4,6 juta ton minyak kelapa sawit 3,4 juta diantaranya diekspor,dan menjadikan Indonesia pemimpin di dunia dalam hal produksi minyak kelapa sawit.
Kelapa sawit juga menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar dan jumlah ini terus meningkat . Di daerah saya sendiri yakni Jambi, kelapa sawit merupakan mata pencaharian sebagian masyarakat.
Industri ini melibatkan banyak sekali masyarakat mulai pemilik lahan, buruh sampai sopir.
Kurangnya sumber daya manusia yang baik, ketersedian lahan yang banyak, serta tingginya keuntungan membuat sebagian masyarakat Jambi tidak punya pilihan selain meneruskan usaha kelapa sawit.
Saat ini terjadi pemboikotan dari Uni Eropa atau hilangnya pasar, biaya perawatan yang mahal serta kampanye negatif menjadi sebuah ancaman nyata khususnya masyarakat Jambi, ini membuat harga menjadi turun namun biaya perawatan serta operasional tetap sama, dan menambah ketidakpastian bagi para petani akan masa depan kelapa sawit mereka.
Uni Eropa memutuskan bahwa komoditas kelapa sawit sebagai salah satu yang mengakibatkan terjadinya deforestasi, dan berencana mengurangi penggunan kelapa sawit dan pada 2030 tidak akan menggunakannya lagi.
Ini disebabkan oleh adanya undang-undang dari Uni Eropa yang mendorong peningkatan energi terbarukan pada tahun 2030 menjadi 32 persen dan kelapa sawit dianggap sebagai energi yang tidak terbarukan.
Keputusan ini dianggap Indonesia sebagai sebuah ancaman terhadap perjanjian perdagangan bebas dunia. Padahal Kelapa sawit menyubang cukup besar terhadap perekonomian masyarakat Uni Eropa, banyak industri di Eropa yang membutuhkan minyak sawit.
Ada 117 ribu lapangan pekerjaan, penerimaan pajak 2,6 miliar euro serta pendapat 5,8 miliar euro setiap tahunnya bagi produk domestik bruto. Harusnya pemerintah dapat menggunakan data ini untuk menekan Uni Eropa karena industri mereka juga bergantung terhadap kelapa sawit .
Dengan berkurangnya ekspor kelapa sawit maka akan berperangaruh ke industri dunia.
Dalam depedency theory atau teori ketergantungan, Indonesia dan Uni Eropa saling tergantung satu sama lain, dengan adanya kebijakan untuk membatasi kelapa sawit maka ekonomi kedua negara akan terpengaruh walaupun yang paling dirugikan tetap Indonesia.
Belum lagi dampak untuk negara lain, India, Tiongkok menjadi negara yang membutuhkan kelapa sawit sebagai pendukung industrinya.
Adanya kebijakan pembatasan membuat harga kelapa sawit menjadi turun dan berdampak pada ekspor yang akan dikurangi karena harga yang murah. Tentunya ini akan membuat Tiongkok dan India menjadi pihak yang dirugikan juga industri mereka akan terganggu.
Indonesia melakukan gugatan terhadap Uni Eropa dan berencana akan melakukan hal yang sama yakni menolak barang-barang yang berasal dari Uni Eropa.
Menurut saya ini merupakan langkah yang salah karena hanya akan meningkatkan ketegaangan, di satu sisi memang ini menunjukan keberanian pemerintah Indonesia dengan berani melawan Uni Eropa, tapi ini juga membuat Uni Eropa semakin yakin dengan kebijakannya untuk memboikot kelapa sawit Indonesia dan pada akhirnya yang dirugikan adalah masyarakat.
Pemerintah berencana membuat tiga aturan yang melindungi industri kelapa sawit. Pertama, riset perkebunan nusantara kedua, rencana aksi sawit berkelanjutan ketiga, standar produk bagi kelapa sawit .
Menurut saya kebijakan ini sangat bagus khususnya adanya standarisasi lebih baik, yang berdampak pada penguatan harga kelapa sawit. Namun, implementasi dan dampak daripada kebijakan ini baru bisa dirasakan beberapa tahun lagi.
Masyarakat dan perusahaan butuh kebijakan yang dampaknya dapat dirasakan untuk saat ini seperti kepastian akan kerjasama dengan Uni Eropa maupun penguatan kebijakan B30.
Kebijakan pemerintah dalam rangka menghilangkan sentimen negatif kelapa sawit saya lihat kurang efektif.
Pemerintah harusnya terlebih dahulu melakukan pendekatan dengan Uni Eropa melakukan lobi-lobi untuk membuat kesepakatan yang lebih menguntungkan Indonesia.
Pemerintah bisa menawarkan kepada Uni Eropa kerjasama seperti mengurangi hambatan perdagangan, deregulasi, privatisasi dan lain sebagainnya untuk merubah kebijakan Uni Eropa. Bukan dengan cara langsung melakukan aksi balasan.
Untuk mengadapi kampanye negatif perlu adanya kerjasama dengan organisasi-organisasi lingkungan seperti Greenpeace untuk menyakinkan mereka bahwa tidak sepenuhnya benar Industri kelapa sawit itu buruk bagi lingkungan.
Selanjutnya kampanye besar-besaran harus dilakukan agar dapat membangun opini masyarakat atau membuat konstruksi sosial bahwa kelapa sawit tidak sepenuhnya buruk, selama ini banyak masyarakat yange melihat industri kelapa sawit hanya dari satu sisi.
Jalan terkahir pemerintah bisa memberikan tekanan bagi pihak-pihak didalam negeri yang melakukan protes terhadap industri ini, walaupun disatu sisi melanggar asas demokrasi namun ini perlu dilakukan untuk menyelamatkan industri kelapa sawit.
Dalam rangka mengatasi permasalahan harga pemerintah bisa membuka pasar baru. Selama ini Indonesia hanya bergantung pada pasar-pasar besar di India, China, dan Uni Eropa.
Pasar seperti Afrika harusnya dapat dimanfaatkan dengan baik mengingat tingginya jumlah populasi disana, dan adanya perubahan menuju industri.
Diplomasi pemerintah Indonesia terkesan stagnan dengan hanya fokus pada pasar-pasar lama bagi Industri kelapa sawit.
Dengan banyaknya pasar baru maka akan meningkatkan permintaan yang secara otomatis harga kelapa sawit akan meningkat.
Kebijakan pemerintah mengeluarkan aturan B30 yakni mencampur 30% kandungan kelapa sawit kedalam bahan bakar seperti solar untuk mensiasti jika permintaan di Eropa benar-benar hilang, ini direspon baik oleh pasar dengan meningkatnya harga serta permintaan kelapa sawit.
Namun, kebijakan ini bersifat jangka pendek yang harus dilakukan adalah dengan membuat B40 dan seterusnya agar permintaan dalam negeri semakin meningkat harga tetap stabil dan Indonesia tidak terlalu tergantung lagi dengan permintaan global.
Tapi berapa lama kebijakan ini akan bertahan mengingat bahwa selama ini di industri kelapa sawit selalu dilanda dengan ketidakpastian.
Pemerintah provinsi Jambi selama ini terkesan tutup mata dalam menghadapi persoalan kelapa sawit. Harga rendah yang selama ini dikeluhkan petani direspon lamat oleh pemprov.
Pemprov menganjurkan agar para petani membentuk kelompok tani agar harga menjadi naik. Namun, sosiaisasi yang dilakukan tidak optimal dan terkesan lepas tangan.
Permasalahan terakhir yakni industri kelapa sawit mengalami produktifitas yang rendah, ini terjadi di tingkat petani serta perusahaan. Selama ini kurangnya ketersedian pupuk serta harga yang mahal menjadi hambatan yang sangat berarti bagi petani dan perusahaan untuk meningkatkan produktifitasanya.
Untuk menangani permasalahn ini pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melakukan penanaman ulang atau replanting kelapa sawit senilai 2,5 T untuk meningkatkan produktivitas . Ini merupakan kebijakan yang kurang tepat.
Replanting membutuhkan waktu 4-5 tahun untuk menghasilakan buat sawit yang matang, jika semua atau setengah lahan petani ditanam ulang maka bagaimana mereka bisa menyambung hidup untuk kedepannya sampai menungu kelapa sawitnya matang.
Seharusnya pemerintah memberikan subsidi yang semakin besar agar para petani dapat dengan mudah mendapatkan pupuk. Dan mendorong perusahaan pupuk agar meningkatkan produksi pupuknya, terakhir memangkas lamanya distribusi pupuk dengan cara memindahkan perusahaan tersebut ke daerah.
Menurut saya hanya ini cara terbaik untuk meningkatkan produktivitas bukan dengan cara melakukan replanting. Industri ini memiliki masa depan yang cerah jika kebijakan yang dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
Penulis : Gufron Gozali
Mahasiswa Hubungan Internasional
Universitas Islam Indonesia
Peran Nahdlatul Ulama dalam Membantu Masyarakat di Masa Pandemi Covid-19
Hak Konstitusional Masyarakat Adat di Pusaran Wabah Covid-19
Anggota Dewan Muarojambi Junaidi Hadiri Pembukaan MTQ XXVII Kumpeh Ulu