RADARJAMBI.CO.ID-Konflik Palestina-Israel merupakan salah satu konflik yang abadi dalam menghiasi dunia politik internasional.
Pasca Perang Dunia Kedua, respon perlawanan yang sengit Palestina-Israel telah membuat kedua negara ini menjadi salah satu konflik yang tragis dan tak terselesaikan hingga saat ini.
Sederhananya, konflik ini merupakan sebuah permasalahan dalam memperebutkan sebuah wilayah, yaitu Yerusalem. Dimana Israel ingin tetap menjadi negara Yahudi yang demokratis dan Palestina yang ingin memiliki wilayah sendiri yang berdaulat.
Kemudian, konflik ini diperparah lagi dengan sikap Israel yang secara sepihak menduduki wilayah Tepi Barat dan juga memblokade Gaza, dimana wilayah itu merupakan sebuah kawasan yang banyak ditempati oleh warga Palestina.
Lebih lanjut, situasi ini semakin rumit karena langkah unilateral Israel yang mendirikan perumahan untuk warganya, dan mendirikan tembok perbatasan di Tepi Barat, hal itu dilakukan Israel saat bersamaan dengan Palestina yang juga mengklaim wilayah tersebut.
Isu lainnya yang membuat konflik ini tak kunjung usai adalah, adanya perbedaan perspektif terkait keamanan nasional oleh kedua negara.
Palestina beranggapan bahwa menjadi negara yang merdeka sama halnya dengan mengusir Israel dari wilayahnya. Sedangkan menurut Israel, keamanan nasional akan tercipta jika organisasi keras Palestina, yaitu Hamas dapat dimusnahkan.
Karena, Israel menganggap bahwa Hamas merupakan organisasi teroris karena telah menentang berdirinya negara Yahudi.
Lalu, apa itu two-state-solution? Mengutip dari laman Sekretaris Jenderal PBB, two-state-solution mengartikan bahwa Palestina dan Israel dapat berdamai sehingga bisa berdiri dan berdampingan sebagai negara berdaulat.
Dimana masing-masing negara mendapatkan satu wilayah kenegaraan. two-state-solution merupakan langkah yang paling banyak mendapatkan dukungan dari negara-negara di kawasan Timur Tengah, termasuk oleh Amerika Serikat dan PBB.
Menurut penulis, langkah ini dapat terimplementasi jika memang Palestina dan Israel lah yang menginginkannya. Dan sepertinya, memang inilah yang diharapkan kedua negara, mengingat bahwa beberapa negara Arab di Timur Tengah sudah normalisasi hubungan diplomatis dengan Israel, seperti United Arab Emirate (UAE) dan Bahrain.
Disamping itu juga, mengutip dari New York, iNews.id, bahwa Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, telah mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menggelar konferensi perdamaian internasional tentang Timur Tengah pada awal tahun 2021.
Dan hal ini diperkuat dengan pidato Mahmoud Abbas di hadapan Majelis Umum PBB, bahwa diharapkan akan ada awal yang baru pasca Pemilihan Presiden Amerika Serikat, salah satunya perdamaian Israel dengan beberapa negara Arab di kawasan Timur Tengah.
Abbas berharap bahwa konferensi ini dapat mengakhiri pendudukan Israel dan dapat memberikan kebebasan serta kemerdekaan terhadap warga Palestina.
Pidato Abbas ini mendapat sambutan yang hangat dari Donald Trump, dibuktikan dengan pernyataan Duta Besar Amerika Serikat, Kelly Craft, bahwa pemerintahan Trump sangat terbuka dengan segala kemungkinan dan permintaan yang diajukan oleh Abbas tersebut.
Hal ini dibenarkan oleh Menteri Luar Negeri Palestina, Riad al Maliki, pada 27 Oktober 2020 lalu, dimana Maliki mengatakan bahwa pemerintah Palestina sudah sepakat dengan pernyataan Mahmoud Abbas, bahwa konferensi perdamaian internasional merupakan satu-satunya jalan keluar untuk membawa negaranya dapat berunding dengan Israel mengenai kesepakatan damai secara hukum internasional.
Hal ini pun mendapat respon yang positif dari Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, walaupun Duta Besar baru Israel untuk PBB, Gilad Erdan, sempat mengatakan bahwa Palestina lah yang selama ini menolak keras setiap ajakan perundingan yang dibuat oleh Israel.
Hal ini terjadi karena, Mahmoud Abbas sempat mengkritik keputusan beberapa langkah negara-negara kawasan Timur Tengah (Yordania, Mesir, United Emirat Arab, Bahrain) untuk menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel, yang mana hal itu dianggap sebagai pengkhianatan kebijakan terhadap konsensus negara-negara Arab yang sudah lama disepakati.
Menurut penulis, two-state-solution ini benar-benar akan terimplementasi di konferensi perdamaian internasional mendatang.
Pernyataan penulis ini berangkat dari adanya dukungan positif dari Amerika Serikat yang juga mendorong negara-negara Timur Tengah serta anggota Dewan Keamanan PBB untuk ikut berpartisipasi dalam mendukung negosiasi Palestina-Israel di konferensi perdamaian yang sudah direncanakan oleh Trump.
Selain itu, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Gutteres, juga sudah mengatakan bahwa sangat besar usaha dan kerja keras PBB untuk mempromosikan pertemuan langsung antara Palestina dengan Israel yang tujuannya hanya demi menciptakan perdamaian antara kedua negara.
Dukungan ini tentu saja tidak lepas dari peran penting Arab Saudi yang mengambil langkah untuk tidak menggelar kesepakatan apapun dengan Israel jika Israel tidak lebih dulu melakukan perjanjian damai dengan Palestina.
Selain itu, Nikolay Mladenov selaku Utusan PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah juga mengatakan bahwa, perdamaian Palestina-Israel merupakan satu hal yang sangat urgensi sehingga harus segera dilaksanakan.
Oleh karena itu, pertemuan antara pemimpin kedua negara harus terlibat dalam Konferensi Perdamaian Internasional mendatang, guna untuk mencapai perdamaian politik yang sudah membeku sejak pasca Perang Dunia Kedua.
Sehingga, beberapa alasan utama ini menjadi pendorong argumen penulis yang mengatakan bahwa konferensi perdamaian internasional yang akan diadakan pada awal tahun 2021 ini merupakan bentuk implementasi dari two-state-solution. (***)
Penulis : Siti Fatmawati Mahasiswi Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta
Mahasiswi KKN UIN Walisongo Semarang Sebarkan Edukasi Peduli Covid-19 ke Warga
KPU Gelar Debat Publik Kedua Calon Bupati dan Wakil Bupati Merangin