JAMBI. Dua penyair Jambi menitip pesan kepada negara dalam Antologi Puisi '76 penyair' dari 34 provinsi di HUT ke 76 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Penyair Jambi adalah Asro Al Murthawy dan Rini Febriani Hauri.
"Menjadi masukan bagi Negara yang saat ini masih terasa belum kokoh merawat peradaban dan budaya" ungkap Asro Al-Murthawy
Asro juga mengapresiasi langkah Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) yang telah bersusah payah untuk berkolaborasi dengan para penyair yang ada.
"Salut buat TISI yang ditaja Bung Octavianus dan Mas Eki Thadan atas gerakan budaya ini" kata Asro.
Tidak mudah menghimpun 76 penyair dari 34 provinsi di Indonesia. Hanya kepedulian akan pengembangan budaya saja yang mampu menyatukan banyak individu dengan berbagai latar belakang budaya.
"Bahkan, sebagian besar belum pernah bertemu langsung," sebut Asro.
Dalam antologi puisi ini, Asro dan Rini masing-masing menyumbangkan dua buah puisi.
Antologi Puisi tersebut bertema “76 Penyair Membaca Indonesia”, yang bertujuan memberi masukan sumbangsaran kepada Pemerintah, tentang apa saja yang belum tercapai pada usia 76 tahun Indonesia Merdeka.
Sudut pandang penyair yang kelak karya penyair menjadi asupan inspirasi bagi Pemerintah dalam merumuskan dan menentukan kebijakan.
Dari dahulu hingga sekarang dunia seni (sastra) tidak pernah mati. Sebagai produk kreatif karya sastra dapat berperan sebagai klep pembuka mata hati khalayak untuk menangkap realitas sosial.
Bukan hanya itu, aspek politik, budaya, lingkungan juga bagian dari rambahan karya sastra dalam bingkai etika dan estetika.
Penyair memiliki multiperan dalam menata kehidupan agar lebih bermartabat, cerdas dan bijaksana.
Dengan demikian, menjadi tidak berlebihan apabila sastawan/penyair diberi sandangan gelar resi atau begawan sebagai pengawal rohani anak bangsa.
Dalam ranah kehidupan nyata, karya sastra dapat mengusung energi positif untuk mengembangkan wawasan berpikir masyarakat.
Puisi mampu mengeskpresikan ihwal pentingnya sejarah hidup bangsanya. Puisi juga memiliki daya sentuh kawula muda menyadari tanggung jawabnya sebagai warga negara yang peduli terhadap riwayat perjalanan bangsa dan negaranya.
Hal ini berarti bahwa, sebagai penata aksara, penyair/pemuisi (semestinya) memiliki panggilan hidup dalam mendandani sikap mental warga masyarakat. (Asro/Saw)
Kutipan salah satu puisi Asro:
SOLILUKUI MERAH PUTIH
Dulu, ku pernah menemui waktu. Sendiri saja.
Orang-orang merindukan kibaranku tinggi-tinggi
menyematkanku di ujung bambu runcing ikat kepala
dan kedalam hati
Ingatkah kau pada gagah merahku memenuhi jalan
sepanjang Mataram
Batavia ?
Ingatkah kau betapa putihku membersit di dada Gajah Mada
memetakan nusantara?
Kini tak apalah kuletakkan dwiwarnaku
pada cuaca yang tak lagi tentu
merahku melumer di Papua
putihku mengeruh di tanah Aceh
amis darah bau mesiu telah mencabikku
hingga sobekan keseribusatu
secuma kain apalah arti
sementara di sini, kau melipatku
dan menyurukkanku di bawah bantal mimpi
lihat, meradang batang tiangku
pada warna-warni yang bergegas datang pergi, datang pergi
kuning merah hijau jingga biru memadati lengkung langit
bendera partai berebut tinggi
Sungguh jika kau tahu,
akupun merindukan kibaran itu
setengah tiang saja
melambai langit dukaku
Imaji 1442 H
Sambut 10 Muharram, Bupati Tanjabarat Santuni Anak Yatim dan Dhuafa
HUT Kabupaten Tanjabbar Ke-56 di Tengah Pandemi, Dilaksanakan Secara Virtual
Anggaran Direcofusing, Rehap Pendopo Kantor Bupati Muarojambi Jalan Terus
Catat! Tanggal Cair Kuota Kemendikbudristek Buat Belajar Online
Ini Hasil Rapat Persiapan MTQ Ke-50 Tingkat Provinsi Jambi di Tanjabbarat
Pertamina EP Jambi Dukung Percepatan Penurunan Stunting di Kumpeh Ulu dengan PMT