(Refleksi Hari Aksara Internasional, 8 September 2021)

Menjadi Bangsa Literat

Selasa, 07 September 2021 - 21:30:37


Sudaryanto
Sudaryanto /

Radarjambi.co.id-Tanggal 8 September 2021 diperingati sebagai Hari Aksara Internasional (HAI) atau International Literacy Day.

United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) mengambil tema HAI 2021, yaitu “Literacy for a Human-Centered Recovery: Narrowing the Digital Divide”.

Terkait itu, di kala pandemi, kita masih berjuang agar bangsa Indonesia menjadi bangsa literat. Apa dan bagaimana pesan penting di balik perayaan HAI 2021?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V, literasi bermakna tiga hal.

Pertama, kemampuan menulis dan membaca.

Kedua, pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu.

Ketiga, kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.

Makna pertama lebih terkait dengan keterampilan berbahasa (language skills), sedangkan makna kedua dan ketiga lebih terkait dengan keterampilan hidup (life skills).

Di Indonesia, literasi sebagai keterampilan berbahasa tampaknya belum optimal. Hal itu, antara lain, dibuktikan lewat hasil studi berjudul “The World’s Most Literate Nations”.

Disebutkan, Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara. Selain itu, berdasarkan survei PISA yang dirilis OECD pada tahun 2019, tingkat literasi Indonesia berada di peringkat 10 terbawah dari 70 negara.

Di balik dua data statistik itu, terselip pesan: betapa literasi bangsa kita (masih) rendah.

Keterampilan Hidup

Di Indonesia, literasi sebagai keterampilan hidup tampaknya masih memprihatinkan. Sebagai contoh, lihatlah perilaku berkendara kita di jalan raya. Sering kita jumpai pengendara motor tanpa helm dan masker.

Sering pula kita lihat pengendara yang tidak taat terhadap aturan lalu lintas. Sebagian dari kita yang naik kendaraan ingin cepat sampai dan abai terhadap pengendara lainnya. Itulah wujud ketiadaan literasi lalu lintas kita selama ini.

Contoh lainnya, amatilah perilaku mahasiswa di kampus saat berkuliah sebelum pandemi.

Ada oknum mahasiswa yang tidak masuk kuliah, tiba-tiba menyodorkan fotokopian surat keterangan sakit.

Padahal, surat keterangan sakit itu sudah dipakai untuk tahun-tahun sebelumnya. Ada pula oknum mahasiswa yang memalsukan tanda tangan dosen. Andaikata para mahasiswa itu melek etika kampus, tentu hal-hal di atas tidak perlu terjadi.

Apabila masyarakat kita memiliki daya literasi yang tinggi, kelak jumlah kecelakaan lalu lintas tidak tinggi pula. Pun, apabila pejabat kita memiliki daya literasi yang bagus, kelak jumlah kasus korupsi tidak bertambah terus.

Pendek kata, literasi menjadi keterampilan hidup yang sangat bermakna (meaningful). Sayangnya, kata Dr. Widyastuti Purbani, M.A., dosen Literasi Multidimensi FBS UNY, bangsa kita saat ini belum cakap literasi secara mumpuni.

Terkait itu, sejumlah ikhtiar dari pemerintah pusat dan daerah patut diapresiasi. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) meluncurkan perpustakaan digital “Ruang Buku”.

Lewat “Ruang Buku” itu, masyarakat tak perlu repot-repot membawa buku yang tebal. Cukup bermodal gawai atau laptop, orang-orang dapat menikmati bacaan yang menarik dan inspiratif. Dengan begitu, pelan tapi pasti, minat baca masyarakat kita akan meningkat.

Lain Kominfo, lain pula pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, menyebutkan, untuk menyikapi reading habits di Indonesia, Pemprov Jateng mengadakan I-JATENG, yaitu sebuah digital library yang memungkinkan penggunanya untuk membaca serta meminjam seluruh buku elektronik (e-book) di dalamnya.

Sekali lagi, semoga minat baca masyarakat kita, terutama daerah Jawa Tengah, akan meningkat.

Dua Usulan

Ada dua usulan yang perlu disampaikan. Pertama, pemerintah pusat dan daerah, serta masyarakat bergotong royong dalam meningkatkan daya literasi masyarakat kita.

Gerakan Literasi Nasional (GLN) dan/atau Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sudah berjalan, namun perlu didorong ke arah yang lebih signifikan.

Guru dan siswa tak hanya pandai membaca dan menulis; lebih dari itu, literasi mendorong mereka bersikap kritis terhadap situasi dan kondisi yang ada.

Kedua, perlu adanya penghargaan bagi insan pemerintah dan masyarakat. Penghargaan diberikan atas jasa-jasa seseorang yang berhasil menumbuhkan minat baca tulis, serta meningkatkan literasi sebagai keterampilan hidup.

Sebagai contoh, Yayasan Rancage yang memberikan penghargaan kepada pengarang bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Bali. Berkat itu, ketiga bahasa daerah itu masih lestari dan digunakan hingga kini. Selamat Hari Aksara Internasional!

 

Penulis :   Sudaryanto, M.Pd., Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan; Mahasiswa S-3 Ilmu Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Yogyakarta.