Efektivitas PJJ

Kamis, 14 April 2022 - 16:09:59


Sudaryanto, M.Pd
Sudaryanto, M.Pd /

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kini memasuki masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3.

Pada periode PPKM sebelumnya, seluruh wilayah di DIY masuk dalam PPKM Level 4. Dampaknya saat itu, kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) diberlakukan. Alhasil, kembalinya kebijakan PJJ memunculkan pendapat pro dan kontra.

Pertanyaannya, bagaimana mewujudkan efektivitas PJJ di tengah pendapat pro dan kontra itu?

Kebijakan PJJ diberlakukan sejak pandemi Covid-19 terjadi di Tanah Air. PJJ dinilai kurang efektif oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, pada pertengahan tahun 2021 lalu.

Akibatnya, saat itu, Mendikbudristek mendorong agar sekolah mengadakan pembelajaran tatap muka (PTM). Beberapa sekolah pun akhirnya mengadakan PTM, baik secara penuh (100 persen) maupun separuh (50 persen).

 Komprehensif dan Efektif

Dalam pelaksanaan PTM, tak dinyana, terjadi penyebaran virus Covid-19 di kalangan siswa-siswa. KR (26/2) mencatat, 1.200 siswa dari jenjang SMA/SMK serta SLB di DIY terpapar Covid-19.

Para siswa yang terpapar itu tak hanya tertular dari klaster PTM, tetapi juga dari lingkungan di sekitarnya dan keluarga.

Dengan demikian, penanganan terhadap siswa yang dinyatakan positif Covid-19 harus komprehensif. Dari lingkungan keluarga, sekolah, dan antarsiswa di kelas.

Terkait itu, ada pihak sekolah yang memutuskan kembali ke PJJ secara penuh. Ada pula pihak sekolah yang memutuskan kembali ke PJJ secara separuh. Baik PJJ secara penuh maupun separuh, keduanya perlu kiat-kiat agar berjalan efektif.

Pertama, guru harus kreatif dan inovatif dalam melaksanakan PJJ. Kreativitas dan inovasi guru dapat diwujudkan dengan menggunakan model-model pembelajaran yang ada selama ini.

Sebagai contoh, ada model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning). Di dalam model ini, siswa terlibat aktif dalam memecahkan masalah nyata yang dihadapinya sehari-hari.

Dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, misalnya, terdapat teks negosiasi. Salah satu manfaat dari pembelajaran teks negosiasi adalah siswa dapat praktik bernegosiasi secara bijak. Praktik negosiasi ini terjadi di pasar tradisional atau tempat jual-beli lainnya.

Apabila guru tidak kreatif dan inovatif, yang terjadi ialah siswa diberikan tugas secara terus-menerus. Akibatnya, siswa mengalami kelelahan otak (burnout) dan penurunan semangat belajar.

Fenomena ini yang menyebabkan siswa kehilangan pembelajaran (learning loss). Kini, pemulihan pembelajaran akibat dari pandemi Covid-19 tengah dilakukan. Salah satunya ialah dengan mendorong guru kreatif dan inovatif berkat adanya Platform Merdeka Belajar.

Kedua, pihak sekolah perlu berdialog dengan orangtua siswa terkait PJJ. Bagi para siswa yang kesulitan sinyal, pihak sekolah mengizinkan mereka datang ke sekolah untuk mengumpulkan tugas mata pelajaran.

Terkait itu, dukungan orangtua perlu muncul, agar guru tidak bingung dalam menilai tugas siswa. Selain tugas, pihak sekolah juga dapat memfasilitasi adanya tambahan jam belajar bagi siswa di tingkat akhir (baca: kelas VI SD, IX SMP, dan XII SMA).

Orangtua Bijak

Apabila ada pilihan, PJJ atau PTM, semua orangtua, termasuk penulis, bersepakat memilih PTM. Mengapa? Dengan PTM, para siswa dapat belajar secara optimal dalam bimbingan guru.

Selain itu, para siswa dapat berinteraksi dengan teman-temannya di kelas. Tapi, karena kebijakan PPKM Level 4 diberlakukan saat ini, kita terpaksa memilih PJJ. Dengan demikian, sebagai orangtua kita harus bersikap bijak dalam mendukung pihak sekolah.

Pihak sekolah perlu melakukan yang terbaik demi terwujudnya efektivitas PJJ. Pihak guru didorong untuk kreatif dan inovatif dalam melaksanakan PJJ, baik dengan model pembelajaran berbasis masalah maupun model pembelajaran lainnya.

Pihak siswa juga didorong untuk tetap semangat belajar di tengah situasi pandemi Covid-19. Apapun yang terjadi, proses belajar-mengajar tetap diikhtiarkan hadir, meskipun itu harus lewat dunia maya (online). (***)

 

Penulis : Sudaryanto, M.Pd., Dosen PBSI FKIP UAD; Mahasiswa S-3 Ilmu Pendidikan Bahasa FBS UNY