Radarjambi.co.id-Keberadaan teknologi pembelajaran (dalam arti luas: pendidikan) digadang-gadang oleh para ahli sebagai alternatif dalam mengentaskan kejumudan pendidikan.
Lebih jauh lagi, bahwa kemajuan yang signifikan dalam pendidikan membawa pengaruh besar terhadap peradaban suatu bangsa (Budiharto, dkk: 2019). Akan tetapi, realita di lapangan tidak selalu paralel dengan yang diharapkan, termasuk dalam persoalan teknologi pembelajaran ini, masih banyak kendala yang belum tertuntaskan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada—jika tidak ingin disebut banyak—sebagian guru yang berpandangan bahwa pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran akan membuat anak didik tidak bermoral, ngelunjak, dan sebagainya.
Dengan alasan yang sama, ada juga kepala sekolah yang melarang guru-gurunya membawa peralatan teknologi ke dalam kelas.
Persepsi tersebut, tidak lain, hanyalah sebuah kekhawatiran belaka, yang kemudian melahirkan mispersepsi yang masif bahkan di kalangan terdidik sekalipun. Sebab bagaimana pun terdapat sisi negatif (dan positif) dari penggunaan teknologi, termasuk teknologi yang diterapkan dalam pembelajaran.
Seperti yang diungkapkan A.H Sutopo (2012), pemanfaatan teknologi dalam proses pembelajaran bisa menimbulkan dampak buruk, seperti: anak didik lebih beradiksi pada teknologi ketimbang pelajarannya, informasi yang overload yang tidak tersaring oleh anak didik, hingga tindakan cyber crime plagiasi karya, dll.
Namun, semua itu nampaknya bisa diatasi dengan mudah jika selama proses pembelajaran peran guru tetap optimal dalam memberikan pemahaman yang benar dan mengatur intensitas penggunaan teknologi.
Jadi, penggunaan teknologi dalam pembelajaran bukan berarti menihilisasi peran guru, tapi justru sebaliknya, guru harus semakin pro-aktif, kritis, kreatif, dan inovatif.
Kembali pada mispersepsi di atas, harus ada dekonstruksi pemahaman bahwa anak didik tidak bermoral atau ngelunjak itu bukan karena kesalahan teknologi. Teknologi itu hanya alat, alat yang dikontrol oleh manusia.
Sama seperti halnya pisau, ia hanyalah alat, tergantung manusia yang menggunakan, apakah digunakan untuk kebaikan atau keburukan.
Di situlah harus ada kontrol diri (self control) dan pengawasan yang optimal agar alat tersebut bisa membawa masalahat, bukan mudarat. Demikian pula dengan teknologi yang harus bisa dimanfaatkan dengan baik dan benar.
Saya teringat dengan ucapan seorang dosen ketika memberi kuliah, Dr. Nurul Hadi (dosen IAIN Madura), bahwasanya materi belajar huwa syai’ (adalah sesuatu); dan teknologi pembelajaran adalah syai’-in ?khar (sesuatu yang lain).
Dalam konteks ini bisa dipahami, bila ada anak didik yang ngelunjak itu bukan karena kesalahan teknologi, tapi bisa jadi kesalahan muatan materi yang diajarkan atau mungkin kesalahan guru yang kurang optimal dalam mendidik.
Sekali lagi, teknologi itu hanyalah alat yang bisa dikontrol oleh manusia, bukan sebaliknya.
Dekonstruksi pemahaman ini sangat penting disampaikan untuk memutus kesalahpahaman.
Sebab tujuan implementasi tersebut, menurut Dr. Sutirna (2018), selain agar tercipta pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif, efektif, dan efisien dengan berbasis kemajuan teknologi dan informasi, juga agar tidak terjadi kendala intenal yang menghalangi atau menghambat kemajuan pendidikan di era disrupsi saat ini dan di masa depan yang terus berkembang.
Dengan kata lain, agar pendidikan bisa berevolusi ke arah yang baik, bukan berdiam diri karena dogmatisasi yang mispersepsi.
Beranjak dari satu persoalan di atas, masih banyak kendala lain dalam hal penerapan teknologi pembelajaran di sekolah/madrasah.
Diantaranya, menurut Bastudin (2020: kemdikbud.go.id): kurangnya sarana pendukung (lack of equipment) seperti laptop, infokus, jaringan internet, hingga ketersediaan listrik.
Termasuk pula kendala primernya ialah pengetahuan teknis dan operasional guru yang masih terbatas sehingga tidak optimal, atau bahkan tidak memanfaatkan TIK dalam pembelajaran.
Kendala-kendala teknis dan operasional yang demikian sejatinya bisa terentaskan dengan dukungan penuh dari berbagai kalangan, mulai dari pemerintah, pengelola lembaga, kepala sekolah, dan dewan guru secara keseluruhan.
Dari pemerintah diharapkan pengalokasian dana untuk memenuhi kelengkapan sarana, pemerataan teknologi pembelajaran dalam pendidikan, hingga penyusunan kurikulum pendidikan nasional yang berorientasikan TIK.
Pengelola lembaga dan kepala sekolah diharapkan mampu mengintegrasikan segala aspek mulai dari visi-misi hingga pengembangan kurikulum yang berorientasi pada teknologi pembelajaran.
Demikian pula peran guru harus membekali diri dengan penguasaan TIK sebagai unjuk kompetensi profesionalitas dan pedagogik dengan mengikuti pelatihan, seminar, diskusi, banyak membaca dan bereksperimen, peer observation, atau dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Selain itu, dibutuhkan kepercayaan diri bagi guru untuk terus mempelajari dan mengembangkan teknologi pembelajaran agar tercipta inovasi-inovasi baru dalam teknologi pembelajaran. (***)
Penulis : Thoriq Aziz Jayana
(Guru SDN Ponjanan Timur 2 & Mahasiswa IAIN Madura )
Siswi SMA 2 Tebo Bicara Tentang Krisis Iklim Di KTT Iklim PBB