Kewarganegaraan Mahasiswa Indonesia di Luar Negeri

Senin, 05 Desember 2022 - 23:02:42


/

Disusun Oleh : Ronald Bagus Saputra Dan M.Arya

Mahasiswa Universitas Jambi 

RADARJAMBI.CO.ID-Menempuh pendidikan di luar negeri menjadi impian sebagian besar pelajar yang ada di Indonesia. Terutama untuk bisa berkuliah dengan jalur beasiswa yang ditawarkan oleh berbagai instansi, baik pemerintah, swasta bahkan ada beberapa yang disediakan oleh negara-negara maju bagi negara luar yang menjalin hubungan bilateral antar negara.

Namun diantara pilihan berbagai macam beasiswa tersebut juga ada mahsiswa yang menempuh pendidikan luar negerinya dengan jalur mandiri, atau dengan biaya pribadi, yang tentunya pilihan ini terdapat pada mereka dengan ekonomi yang stabil dan berkecukupan.

Ada beberapa faktor yang menjadi pendorong tingginya kuliah di luar negeri, salah satunya adalah faktor kualitas pendidikan luar negeri terutama di negara maju yang lebih baik dengan dilengkapi penunjang belajar yang mumpuni dan beragam. Berdasarkan data UNESCO, Australia mejadi negara terfavorit bagi warga negara Indonesia untuk berkuliah.

Pada tahun 2017 jumlah mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan di Australia berjumlah 10.676 orang kemudian terus meningkat pada setiap tahunnya hingga pada tahun 2021 bertambah menjadi 13.800 orang. Selanjutnya negara kedua yang menjadi pilihan favorit bagi mahasiswa Indonesia untuk berkuliah di luar negeri adalah negara tetangga Malaysia.

Dilihat dari data data UNESCO Institute of Statistics pada tahun 2017 terdapat 5.823 orang mahasiswa yang menempuh pendidikan di negara berumpun melayu tersebut dan pada tahun 2021 meningkat menjadi 8.440 orang.

Akan tetapi menempuh pendidikan di negara asing juga memiliki beberapa problematika yang harus dihadapi. Mulai dari penyesuain kultur budaya, bahasa hingga problematika lain yang cakupan lebih besar lagi.

Di sejarah perjalan bangsa Indonesia pada masa awal orde baru ketika pemberantasan gerakan PKI, terdapat cerita kelam yang kan terus dikenang hingga masa modern seperti sekarang ini ketika terdapat banyak mahasiswa Indonesia yang ditelantarkan di negeri yang awalnya menjadi tempat mengasah bilah pengetahuan untuk membangun bangsa dan negara Indonesia di masa mendatang.

Peristiwa mengenaskan itu terjadi dengan dalih pemberantasan kelompok komunis yang ada di negara Indonesia hingga menjalar pada mahasiswa-mahasiswa yang sedang berkuliah di luar negeri yang diyakini termasuk dalam kelompok komunis.

Bagi mahasiswa yang diyakini memilki pemahaman komunis dan termasuk gelongan tersebut akan dipulangkan secara paksa ke Indonesia atau dicabut status kewarganegaraannya bagi yang menolak untuk kembali ke tanah air.

Tidak tahu pasti berapa jumlah mahasiswa atau WNI yang ada di luar negeri yang tidak bisa pulang ke negeri sendiri dalam peristiwa gerakan PKI tersebut yang terjadi pada masa pemeritahan presiden Soeharto.

Banyak diantara mereka diaksa mengembara di negari orang. Diantara mereka ada yang pada akhirnya mendapatkan kewarganegaraan lain pasca dicabut viisa dan pasport Indonesianya. Namun ada juga sebagian yang rela menungggu bahkan puluhan tahun untuk tetap menjadikan indonesia sebagai kenegaraannya.

Soegeng Soejono, satu diantara sekian banyak mereka yang kehilangan status kewarganegaraannnya. Pada bulan September tahun 1963 merantau ke luar negeri dengan berbekal beasiswa yang diselenggarakan oleh pemerintah berdasarkan rekomendasi gubernur Jakarta Soemarno Sosroatmodjo yang pada saat itu Soegeng bekerja di Palang Merah Indoneisa.

Beliau pulalah yang menyarakan Soegeng untuk memilih Ceko sebagai negara tujuan penempuh pendidikan dengan jurusan Ilmu Pendidikan dan Ilmu Kejiwaan Anak-anak.

Tregedi awal mula dicabutnya status kewarganegaraan Soegeng Soejono bermula pada saat gerakan PKI pecah di tanah air pada 30 September 1965. Karena terbatasnya media informasi yang diterima oleh Soegeng ketika berada di luar negeri, ia dan sekitar 200 orang teman-teman seperjuangannya hanya mendengar beberapa kabar tentang pembantaian jenderal-jenderal besar dan beberapa kabar umum lainnya.

Hingga sepekan paska meledaknya gerakan G30SPKI, mereka dikumpulkan untuk dilakukan screening guna menjaring mahasiswa Indonesia yang memilliki faham komunis. Singkat cerita, setelah proses screening tersebut berlangsung Soegeng dicap sebagai komunis, karena tidak setuju akan pemerintahan orde baru yang sedang berkuasa pada masa itu.

Alasan utama Soegeng tidak setuju akan pemerintah yang berkuasa pada saat itu tentunya dilandasi dari berita yang mereka dapat tentang pembantaian beberapa jenderal besar di Tanah Air.

Setelah dicap sebagai komunis, Soegeng diminta untuk pulang ke Indonesia. Akan tetapi karena tahu akan kemungkinan besar konsekunsi yang akan ia terima yaitu eksekusi, Soegeng memutuskan untuk tidak kembali ke Indonesia.

Dan karena keputusannya itu pula status kewarganegaraan Soegeng dicabut, Visa serta pasportnya tidak berlaku lagi. Sehingga hal tersebut menjadikan Soegeng dan beberapa teman lainnya yang senasib dengannya tidak memiliki status kewarganegaraan. Beruntungnya mereka mendapatkan perlindungan dari negara tempat mereka menuntut ilmu.

Republik Ceko bersedia memberikan mereka perlindungan suaka politik ditengah panasnya kondisi politik Indonesia. Hingga puluhan tahun hidup di Republik Ceko, Soegeng memutuskan untuk memilih kewarganegaraan Ceko dan berumah tangga dan memiliki keturunan di negeri yang awalnya hanya akan dijadikan persinggahan tersebut.

Peristiwa serupa juga terjadi pada salah satu mahasiswa Indonesia yang berkuliah di luar negeri jurusan kedokteran. Waloejo Sedjati yang juga merupakan mahasiswa penerima program beasiswa yang diselengggarakan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960.

Dicabut status kewarganegaraan setelah dicap tidak mengakui pemeritahan orde baru yang di bawah pimpinan Presiden Soeharto. Waloejo melanjutkan pendidikannya di Pyongyang, yang merupakan ibu kota Korea Utara.

Dan sebagai mahasiswa yang menempuh pendidikan melalui jalur beasiswa dari negara, tentunya niat awal Waloejo adalh untuk menyelesaikan pendidikannya dengan baik di negeri rantau dan kembali ke Indonesia untuk memberikan kontribusi terbaiknya sebagai ungkapan terima kasih. 

Akan tetapi niat Waloejo dan beberapa temanya yang melakukan pendidikan di Pyongyang harus sirna ketika peristiwa G30SPKI meledak. Waloejo dan teman-temanya di kumpulkan untuk diuji dan diteliti loyalitas mereka terhadap pemerintahan orde baru.

Namun karena Waloejo dan beberapa temannya menolak untuk dilakukan screening, ia dan lainnya dicabut status kewarganegaraan, dicabut visa dan pasport. Sehingga mereka tidak bisa untuk kembali pulang ke negeri yang melahirkan dan membesarkan mereka untuk mewujudkan mimpi memajukan tanah air tercinta dengan berbekal ilmu yang mereka dapatkan dari tanah rantau. 

Waloejo pada akhirnya menjadi mengembara tanpa pasport. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Pyongyang, ia melakukan pengembaraan ke Moscow dan berlanjut ke Paris sebagai seorang yang kehilangan kewarganegaraannya karena peristiwa G30SPKI pada zaman orde baru.

Hingga pada tahun 2013, Waloejo menghembuskan nafas terakhirnya di rantau tanpa bisa untuk kembali ke Indonesia. Jenazah Waloejo dikremasi di Paris.

Berbeda degan Soegeng Soejono ataupun Waloejo Sedjati yang pada akhirnya memutuskan untuk tidak kembali menjadi warga negara Indonesia, Bismo Gondokusumo yang menempuh pendidikan di Praha pada tahun 1959. Bismo memutuskan untuk tetap menunggu memndapatkan pasport Indonesia setelah pasport dan visanya di cabut pemerintahan orde baru pada peristiwa G30SPKI tahun 1965.

Penantian Bismo untuk kembali mendpatkan pasport Indonesia berjalan panjang, hingga ia harus menunggu selama 33 tahun lamanya yaitu pada masa reformasi tahun 1998. Bismo tidak sendirian dalam penantian pemulihan status kewarganegaraan tersebut, terdapat beberap teman lainnya juga yang ikut bersama-sama menanti untuk bisa berkumpul dengan keluarga dan sanak saudara di tanah air tercinta.

Terlepas dari apapun pilihan meraka akan status kewarganegaraannya, tentunya nilai kecintaan dan perjuangannya terhadap Indonesia tetap tinggi dan besar harapan mereka untuk Indonesia menjadi negara maju dan terdepan. Bukan hanya secara kemampuan finasial akan tetapi juga maju dalam perdaban serta tekhnologinya. Dan sangat diharapkan dari peristiwa-peristiwa tersebut menjadi pembelajaran bagi pemerintah yang berkuasa akan pentingnya kepedulian serta pertimbangan matang sebelum pengambilan keputusan.(*)