Radarjambi.co.id-Sejarah Hari Literasi Internasional dimulai pada Konferensi Menteri Pendidikan Sedunia di Teherantahun 1965. Konferensi tersebut menetapkan perlunya Hari Literasi Internasional.
Peristiwa tersebut menarik perhatian dunia. Pada sidang sesi ke-14 Konferensi Umum UNESCO, diterbitkan sebuah resolusi pada tanggal 26 Oktober 1966 yang menyatakan bahwa tanggal 8 September akan diperingati sebagai Hari Literasi Internasional.
Tujuan dari pembentukan Hari Literasi Internasional ini adalah untuk memberantas kebodohan dengan cara memberantas buta huruf dan mempromosikan literasi sebagai alat untuk memberdayakan individu dan masyarakat dunia.
Hari Aksara Internasional pertama kali diperingati pada tahun 1967. Peringatan ini mengingatkan pentingnya literasi bagi harkat dan martabat pribadi seseorang dan merupakan hak asasi setiap orang untuk berhak atas pendidikan.
Pada tahun ini UNESCO akan merayakan Hari Literasi Internasional pada tanggal 8 September 2023 di tingkat global, regional, negara, dan lokal di seluruh dunia.
Di tingkat global, konferensi akan diselenggarakan secara langsung (khusus undangan) dan onlinedi Paris, Prancis. Tema yang dipilih adalah ‘Mempromosikan literasi untuk dunia dalam transisi: Membangun fondasi untuk masyarakat yang berkelanjutan dan damai’ (Promoting literacy for a world in transition: Building the foundation for sustainable and peaceful societies).
Hari Literasi Internasional akan menjadi kesempatan untuk menggabungkan upaya mempercepat kemajuan menuju pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya mengenai pendidikan, pembelajaran sepanjang hayat dan literasi dalam pembangunan masyarakat yang lebih inklusif, damai, adil, dan berkelanjutan.
Spektrum SDGs berpusat pada lima pilar pembangunan berkelanjutan, yakni pembangunan sosial, perlindungan lingkungan, kemakmuran ekonomi, perdamaian dan kemitraan. Hal ini menunjukkan bahwaliterasi merupakan inti dari pembangunan masyarakat.
UNESCO mengeluarkan rencana baru yang akan diadopsi hingga tahun 2025 dengan menargetkan negara-negara paling rentan dalam literasi. Hal ini dilakukan sebagai tawaran solusi atas keadaaan tingkat melek huruf dunia.
Pada tahun 2020 masih terdapat sekitar 773 juta orang di dunia juta generasi muda dan orang dewasa tidak memiliki keterampilan literasi dasar.
Artinya masih terdapat satu orang buta huruf dari setiap tujuh orang di dunia.63% dari seluruh penyandang buta huruf adalah perempuan. India memiliki populasi orang dewasa buta huruf terbesar di dunia, yaitu 287 juta jiwa.
Angka ini merupakan 37% dari total global.Tingkat melek huruf kaum muda di Republik Afrika Tengah turun dari 60,81% menjadi 36,36% dalam satu dekade terakhir.Burkina Faso merupakan negara di Afrika Barat dengan tingkat melek huruf terendah di dunia, yakni 12,8%.
Krisis COVID-19 yang terjadi di tahun-tahun kemarin telah memperburuk kondisi literasi. Anak-anak di Amerika Serikat dan seluruh dunia menghadapi krisis melek huruf yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebelum pandemi, 53% anak-anak di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah tidak bisa membaca. Pada tahun 2020, jumlah tersebut meningkat sebesar 20% dari 483 juta menjadi 584 juta.
Selama pandemi sebanyak 1,6 miliar anak mengalami putus sekolah. Jumlah iniberkisar 90% dari seluruh populasi siswa dunia. Sementara setelah pandemi, sebanyak 9,7 juta anak dunia memiliki risiko putus sekolah.
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kemajuan suatu bangsa. Kemajuan literasi warga negara adalah landasan pembangunan bangsa.
Konteks global yang berubah dengan cepat membawa makna baru selama beberapa tahun terakhir. Oleh sebab itu, anak-anak di dunia berhak mendapatkan hak literasi yang lebih baik.
Para pakar pendidikan mengembangkan Literacy Boost. Sebuah program literasi yang terbukti mendukung pengembangan keterampilan membaca pada anak.
Literacy Boost memiliki tiga langkah program peningkatan berikut.
1) penilaian membaca guna mengukur tingkat membaca anak-anak, mengevaluasi kebutuhan pembelajaran literasi mereka, dan membantu sekolah dan kementerian pendidikan melacak kemajuan siswa.
2) Pelatihan guru yakni memasukkan keterampilan inti membaca ke dalam kurikulum, sehingga dapat memastikan anak-anak belajar membaca rutin di kelas.
3) Aksi komunitas, yakni memobilisasi orang tua dan komunitas untuk mendukung anak-anak belajar membaca di luar sekolah dengan cara yang menyenangkan, pembuatan bahan bacaan yang relevan dengan kondisi masyarakat lokal.
Program Literacy Boost telah terbukti menunjukkan peningkatan pemahaman membaca rata-rata sebesar 30% di 36 negara.
Sentralitas dan kekuatan transformatif literasi ini nantinya akan dapat bermanfaat dalam peningkatan keadilan, perdamaian sosial, ekonomi, dan perlindungan lingkungan yang lebih baik. Sebagaimana pernyataan Kofi Annan, literasi adalah jembatan dari kesengsaraan menuju harapan. (*)
Penulis : Wachid E. Purwanto
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
FKIP, UAD
Mahasiswa KKN UAD Berhasil Manfaatkan Limbah Plastik Menjadi Tempat Sampah Ecobrick
Pro Kontra Putusan MK yang Membolehkan Kampanye Ditempat Pendidikan
Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Era 4.0
KPU Sarolangun Optimalisasikan Pendistribusian Logistik Pilkada 2024