Pendekatan Keluarga Sebagai Gerakan Anti Korupsi

Jumat, 10 November 2023 - 17:46:27


/

Radarjambi.co.id-Isu korupsi, selalu menghantui negara kita. Namun, dalam upaya memberantas korupsi, mungkin kita sering melupakan satu hal yang seharusnya menjadi fondasi penting, yaitu keluarga. Keluarga adalah lingkungan masyarakat yang paling mendasar.

Di sinilah nilai-nilai, moral, dan etika individu pertama kali terbentuk.
Lalu, mengapa tidak memandang keluarga sebagai komponen kunci dalam gerakan anti korupsi?

Pada nyatanya keluarga adalah komponen terdekat di hidup kita dan tidak tergantikan, namun bagaimana jika keluarga itu sendiri menjadi terdampak akan korupsi yang dilakukan?

Melalui pendekatan ini, kita dapat mengungkap dampak korupsi terhadap keluarga dan menemukan solusi yang efektif.

Korupsi bukan hanya sekedar statistik dalam berita, namun juga merupakan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti yang di kutip dari Liputan6.com bahwa "Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, dijatuhi vonis seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dalam kasus dugaan suap pengurusan sengketa pilkada di MK dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Yang menarik, dalam pembacaan vonis ini, Akil Mochtar memilih untuk tidak ditemani oleh anggota keluarganya. Pengacara Akil menyatakan bahwa Akil sengaja memilih untuk menghadapi vonis ini sendirian dan tidak ingin melibatkan keluarganya dalam situasi ini." Dikutip dari liputan6.com

Dari sini dapat kita pikirkan, ketika situasi hukum yang sulit seperti kasus korupsi, terutama ketika vonis seumur hidup dijatuhkan, hal tersebut dapat menciptakan tekanan emosional yang sangat besar pada keluarga terdakwa.

Akil Mochtar mungkin merasa bahwa melibatkan keluarganya dalam proses hukum ini akan lebih membebani mereka secara emosional dan psikologis.

Dia mungkin ingin melindungi mereka dari dampak negatif yang bisa terjadi sebagai akibat dari vonis tersebut.
Korupsi dapat menghancurkan kepercayaan yang seharusnya dijaga dalam keluarga.

Ketika orang tua terlibat dalam praktik korupsi, mereka memberikan contoh yang buruk bagi anak-anak mereka.

Hal ini berdampak negatif terhadap etika dan nilai-nilai yang diwariskan kepada generasi berikutnya.

Keluarga yang menjadi korban korupsi menanggung beban psikologis dan spiritual yang berat.

Anak-anak dapat tumbuh dalam suasana ketidakpastian, kecurigaan, dan konflik yang dapat membahayakan perkembangan psikologis mereka.

Namun, keluarga juga memainkan peran penting dalam memerangi korupsi. Sejak usia dini, anak-anak dapat belajar nilai-nilai integritas, kejujuran dan keadilan dari orang tua mereka.

Keluarga dapat menjadi tempat anak-anak belajar memahami konsekuensi negatif dari perilaku korup dan pentingnya perilaku jujur.

Karena pentingnya peran keluarga dalam pembentukan karakter anak, ada beberapa hal sederhana yang dapat diterapkan demi menanamkan karakter anti korupsi.

Berikut kami paparkan solusi pendekatan dari keluarga untuk anak.

1. Melakukan pendekatan psikologis terhadap anak
Membiasakan untuk menceritakan aktivitas keseharian merupakan contoh pendekatan yang sederhana.

Dengan menceritakan kesehariannya,secara psikologis anak akan merasa dirinya diperhatikan secara moril.

Pendekatan yang dilakukan ini juga para orangtua bisa mengetahui aktivitas anaknya,dengan tidak langsung hal itu melatih kejujuran seorang anak pada orangtuanya. Tidak hanya itu orangtua bisa melakukan quality time dengan rutin makan malam bersama untuk menjaga keharmonisan serta komunikasi dalam keluarga.

2. Menanamkan sikap disiplin
Disiplin mengajarkan anak untuk taat pada aturan juga melatih anak untuk konsisten terhadap apa yang sedang dilakukan.

Pembiasaan disiplin sedari dini,seorang anak akan paham apa hal yang dilarang untuk dilakukan. Contoh pembiasaan disiplin dikeluarga dengan membiasakan untuk membersihkan tempat tidur, bangun pagi, serta menyapu lantai di sore hari.

Namun perlu digaris bawahi pembiasaan disiplin ini tidak boleh ada unsur paksaan didalamnya. Dengan itu anak akan terbiasa dengan segala peraturan yang ada.

3. Membiasakan anak berkata jujur tanpa paksaan

Seorang anak tentunya akan ada masa dimana ia akan lebih percaya dengan dunia luar maupun lingkup pertemanannya.

Peran orangtua yaitu untuk melatih kejujuran anak tanpa adanya paksaan semata. Bila seorang anak telah terbiasa jujur,ia tidak akan terbiasa melakukan hal yang dilarang.

Contoh sederhana dengan tidak melarang anak untuk mengekspresikan dirinya, dengan tidak mengekang (hal posisif) seorang anak akan percaya bahwa dirinya didukung dengan itu ia akan nyaman menceritakan hal yang sebenarnya pada orangtuanya.

4. Memberikan mental keberanian
Untuk mengekspresikan diri serta mendukung gerakan antikorupsi tentunya membutuhkan keberanian.

Penanaman mental keberanian ini dengan membiasakan anak mengeksplore hal baru yang belum pernah dilakukannya.

Mencoba tantangan diluar zona nyaman karena dengan pengalaman mencoba tantangan baru itu melahirkan kepercayaan diri anak sehingga karakter berani terbentuk.

5. Memberi pemahaman dan menerapkan hidup sederhana

Hidup sederhana merupakan suatu pilihan bagi seorang individu. Dengan melakukan hidup sederhana kita bisa lebih memahami pentingnya kebutuhan dan keinginan.

Pembiasaan hidup sederhana ini menghindari kita dari sifat tamak dan lebih peka terhadap hak diri dan oranglain.

Bila seorang individu merasa cukup ia tidak akan ingin melakukan korupsi karena ia merasa dirinya sudah cukup. Hal itu penting diterapkan untuk memiliki mental antikorupsi.

Untuk memerangi korupsi secara efektif, kita harus merenungkan peran keluarga sebagai elemen kunci, dimana keluarga harus menjadi tempat integritas dan nilai-nilai etika ditekankan.

Gerakan anti korupsi harus dimulai dari dalam keluarga kita sendiri. Saling mendukung dan mendorong untuk menjunjung tinggi integritas adalah cara untuk menghentikan penyebaran korupsi di seluruh lapisan masyarakat.

Oleh karena itu, keluarga bukan hanya tempat kita tumbuh dan berkembang, tetapi juga tempat awal dari gerakan antikorupsi yang kuat dan tahan lama untuk membentuk masa depan yang lebih adil dan bersih bagi generasi mendatang.(*)

 

Penulis: Novonta Nohan F. R., Amelia Nur Afifah, Oktaviani A M Sholihah,
Wahyu Dwi Afsari, Belinda Putri Ramadhania