Perundungan Tiada Ujung

Kamis, 21 Maret 2024 - 15:25:59


Sartana
Sartana /

Radarjambi.co.id-Beberapa waktu belakangan, publik kembali disuguhi oleh rentetan peristiwa perundungan atau bullying di dunia pendidikan.

Mulai dari aksi pengeroyokan seorang siswa Binus School Serpong, Banten. Kemudian, perundungan pada siswa SMP Gunung Kidul, Yogyakarta.

Ada juga kasus perundungan dua anak perempuan di Batam. Terakhir adalah kasus penganiayaan santri pondok pesantren, hingga korbannya meninggal, yang terjadi di Kediri, Lampung, dan Jambi.

Rangkaian peristiwa perundungan itu menjadi tanda bahwa hingga saat ini Indonesia masih berada dalam situasi darurat kekerasan pada anak.

Dan perjuangan untuk memutus rantai kekerasan tersebut masih panjang dan berliku. Masih jauh dari titik ujung.
Kasus perundungan di beberapa tempat tersebut dapat diketahui publik karena kasus-kasus itu masuk dalam kategori kasus perundungan yang serius.

Korban perundungan mengalami luka fisik yang parah, hingga dibawa ke rumah sakit, bahkan meninggal.

Di luar itu, banyak kasus yang bullying yang lain. Berbagai jenis kasus bullying yang tidak berdampak serius, apalagi bullying verbal, banyak yang tidak terangkat ke permukaan. Karena tidak terdeteksi tersebut, mereka kerap dianggap tidak ada. Padahal bisa jadi sangat banyak.

Padahal bullying yang dianggap ringan itu tidak selalu berdampak ringan bagi korbannya. Ia mungkin juga memiliki dampak yang serius.

Perundungan dalam bentuk apapun dapat menyebabkan luka psikologis, yang bisa jadi akan dirasakan oleh korban sepanjang hidupnya.

Luka ini tidak terlihat menganga seperti luka fisik. Tetapi, luka psikis juga sama sakitnya dengan luka fisik. Bahkan, beberapa orang memilih untuk mengakhiri hidup karena dampak traumatis perundungan yang mereka alami.

Tentang tingginya kasus bullying di Indonesia tersebut tercermin dari beberapa penelitian. Misalnya, data hasil survey Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 menunjukan ada 41,1 % pelajar Indonesia yang pernah mengalami perundungan. Jumlah ini tergolong tinggi.

Bahkan jumlah itu menjadikan Indonesia menempati peringkat kelima negara dengan kasus perundungan terbanyak.
Laporan UNICEF tahun 2020 tentang perundungan di Indonesia juga menunjukan fakta tidak jauh beda. Laporan itu menunjukan bahwa 2 dari 3 anak berusia 13-17 tahun di Indonesia pernah mengalami setidaknya satu jenis kekerasan dalam hidupnya.

Jenis kekerasan yang mereka alami diantaranya dipukul, diancam, dihina, dikucilkan, dirusak nama baiknya, juga diambil atau dirusak barang miliknya.
Ada banyak faktor yang menyebabkan perundungan pada anak-anak terus berlangsung.

Salah satunya adalah karena budaya kekerasan sudah menjadi bagian dari kenyataan sosial di beberapa komunitas masyarakat. Narasi kekerasan sudah menjadi bagian dari sistem keyakinan, nilai, norma, atau kebiasaan mereka.

Di banyak komunitas, kekerasan telah dianggap sebagai bagian dari cara hidup sehari-hari yang umum dan wajar.
Adanya kultur kekerasan yang dipelihara secara laten tersebut kerap mengemuka di dunia maya.

Survei Microsoft berjudul “Digital Civility Index (DCI) tahun 2020 menunjukan bahwa netizen Indonesia tergolong sebagai salah satu kelompok netizen di dunia yang paling tidak sopan. Tidak sopan ini di antaranya terlihat dari tindakan-tindakan mereka dalam bentuk agresi verbal atau ujaran kebencian.

Perilaku netizen yang agresif ini dapat menjadi indikasi masih kuatnya wacana tentang kekerasan dalam struktur budaya dan memori kolektif masyarakat Indonesia.

Kultur kekerasan semakin subur karena media terus-menerus memapari publik dengan tayangan berbasis kekerasan. Saat ini, banyak game atau tontonan yang mengeksploitasi kekerasan sebagai tema utama, terutama di kalangan anak-anak dan remaja.

Dalam permainan dan tontonan tersebut, kekerasan sering kali dihadirkan sebagai bentuk hiburan dan solusi untuk menyelesaikan masalah. Tanpa disadari, ini dapat memengaruhi cara hidup mereka.

Orang tua juga tidak luput dari paparan tayangan kekerasan, yang setiap saat mengisi pikiran mereka dengan imaji kekerasan melalui media.

Penyebab lainnya adalah kecenderungan penanganan kasus-kasus perundungan cenderung bersifat top down. Penanganan perundungan cenderung fokus pada pihak-pihak yang dianggap memiliki otoritas, seperti guru, orang tua, aparat pemerintah atau aparat hukum.

Sementara itu, siswa-siswa yang merupakan pelaku dan korban bullying kerap kali tidak dilibatkan dalam usaha-usaha pencegahan perundungan.

Penyelesaian kasus model demikian gagal untuk menghilangkan akar kekerasan yang menjadi sumber perilaku bullying.

Penyebab selanjutnya adalah penanganan bullying yang kurang berbasis bukti dan tidak berorientasi jangka panjang. Penanganan bullying di sekolah terlihat cenderung bersifat reaktif ketimbang proaktif.

Meskipun ada peraturan untuk pencegahan perundungan di dunia pendidikan, namun peraturan tersebut cenderung tidak dioperasionalkan sebagai program yang dikerjakan dalam agenda-agenda yang tertata.

Ini wajar terjadi karena guru dan pemangku kepentingan lain sudah banyak beban tugas yang lain, sementara penanganan bullying bukan merupakan prioritas dalam tugas mereka.

Kemudian, terkait penanganan bullying yang tidak berbasis data, jarang ada sekolah atau lembaga pendidikan yang memiliki data atau informasi yang komprehensif tentang perundungan tersebut.

Misalnya, data tentang jumlah kejadian perundungan, profil pelaku dan korbannya, dampak perundungan pada korban, cara korban untuk menangani perundungan tersebut, dan sebagainya.

Mempertimbangkan beberapa masalah tersebut, penulis berpendapat perlu ada perubahan pendekatan dalam penanganan bullying di sekolah atau di lembaga pendidikan yang lain.

Pertama, penting bagi sekolah untuk membangun budaya perlawanan terhadap aksi bullying. Gerakan kultural ini dilakukan untuk menguatkan nilai-nilai anti-kekerasan pada seluruh warga komunitas di sekolah.

Gerakan ini semestinya dilakukan secara massif dan menyentuh semua pihak, yang berlangsung secara nasional. Dengan adanya gerakan yang massif ini, suara antibullying menjadi dominan.

Ini penting karena kuatnya suara ini memungkinkan siswa-siswa di sekolah merasa memiliki banyak teman dengan pemikiran yang sama, sehingga mereka berani melaporkan atau melawan segala bentuk perundungan.

Bila semua pihak mendukung dan terlibat aktif dalam gerakan ini, maka para pelaku bullying menjadi kelompok minoritas. Mereka menjadi takut untuk melakukan aksi-aksinya.

Kedua, penanganan perundungan di sekolah harus bersifat partisipatif. Selain melibatkan pejabat berwenang, partisipasi siswa menjadi kunci.

Mereka perlu diberi ruang yang aman dan nyaman untuk berbicara pengalaman serta sikap mereka terhadap perundungan.

Sebagai pihak yang paling memahami situasi, mereka dapat memberikan informasi dan kontribusi yang sangat berharga dalam mengatasi aksi bullying di sekolah.

Terakhir, setiap sekolah sebaiknya menangani perundungan tersebut secara terprogram dan berbasis data empirik. Data tersebut di antaranya data tentang pengalaman siswa terkait perundungan, lokasi kejadian, pelaku, korban, serta dampak yang dirasakan.

Bisa juga ditambahkan data tentang strategi siswa untuk menghadapi bullying. Data tentang kejadian perundungan tersebut dapat dengan mudah dikumpulkan oleh sekolah.

Apalagi bila sekolah melibatkan siswa untuk pengumpulan data itu.

Dengan kombinasi tindakan berbasis data, program yang terencana, serta pemantauan dan evaluasi berkala tersebut, perundungan di sekolah sangat mungkin untuk diatasi secara lebih efektif.

Tindakan ini harus segera diambil supaya tidak ada lagi anak bangsa menanggung derita atau mati sia-sia.(*)

 

 

Penulis : Sartana
Dosen Psikologi Sosial di Departemen Psikologi Universitas Andalas