Radarjambi.co.id-Indramayu, sebuah kota yang kaya akan warisan budaya dan tradisi, telah menjadi tempat bagi banyak praktik yang membentuk identitas lokalnya. Salah satu tradisi yang menonjol adalah "sapu koin" di Jembatan Sewo.
Namun, seperti banyak tradisi lainnya, apa yang mungkin dimulai sebagai ekspresi kepercayaan atau kebiasaan budaya, telah berkembang menjadi fenomena yang lebih kompleks dengan implikasi yang tidak dapat diabaikan.
Tradisi sapu koin telah dilakukan warga sekitar Jembatan Sewo, Indramayu, selama bertahun-tahun.
Konon, menurut mitos yang melegenda, dahulu kala terdapat kakak-beradik yang selalu meminta-minta di pinggir Jembatan Sewo sampai akhirnya meninggal di tempat tersebut.
Masyarakat setempat percaya apabila seseorang melewati Jembatan dan tidak melemparkan uang koin, maka akan mendapat kesialan di hidupnya.
Oleh karena itu, mereka melakukan tradisi sapu koin sebagai bentuk penghormatan untuk kedua arwah kakak-beradik sekaligus menyelamatkan pengendara dari kesialan.
Seiring berjalannya waktu, aktivitas sapu koin bukan hanya sebagai bentuk penghormatan lagi, tetapi sudah menjadi sumber mata pencaharian warga setempat.
Apalagi jika musim Lebaran tiba, seluruh jalanan menuju Jembatan akan dipenuhi sapu-sapu ijuk di kanan kirinya. Biasanya masyarakat berbondong-bondong membawa seluruh keluarganya untuk melakukan tradisi sapu koin ini.
Maka tak heran apabila melihat anak-anak kecil itu memegang sapu ikut membantu kedua orang tuanya mencari nafkah.
*Antara Tradisi dan Polusi*
Tradisi sapu koin akan kehilangan makna spiritualnya apabila tidak dilaksanakan dengan benar.
Pertama-tama, tradisi ini menyebabkan polusi visual. Orang-orang memenuhi jalanan sepanjang Jembatan penuh sesak membuat pemandangan sekitar Jembatan tertutupi.
Selain polusi visual, pencemaran lingkungan juga dapat terjadi akibat pengendara yang melempar koin ke sungai.
Koin-koin tersebut dapat menyumbat saluran, mengontaminasi air, dan merusak ekosistem sungai.
Polusi ini akan memberi dampak jangka panjang bagi lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat.
Selain itu, tradisi ini kerap menyebabkan permasalahan lalu lintas. Koin-koin yang dilemparkan ke jalanan atau ke sungai dapat mengganggu pengendara yang melintas di belakangnya.
Hal ini timbul karena adanya persaingan dalam perebutan koin antara penyapu jalan. Terlebih lagi, apabila jika terdapat orang yang mengambil koin dengan cara berlari ke tengah jalan dan tidak memerdulikan kendaraan yang melintas di sekitarnya.
Selain mencelakakan diri sendiri, ia juga dapat menyebabkan kecelakaan beruntun apabila pengendara melakukan rem dadakan.
Konflik antarpenyapu jalan juga kerap terjadi bahkan berujung pada tindakan kekerasan. Kerusuhan-kerusuhan inilah yang menyebabkan hilangnya nilai simbolis dari tradisi sapu koin di Jembatan Sewo.
*Meleburnya Nilai Pendidikan*
Di sisi lain, melihat anak-anak bahkan balita yang turut serta memegang sapu ijuk di Jembatan Sewo sangatlah membuat miris.
Terutama bagi orang tua mereka yang lebih mementingkan aspek material daripada pendidikan, seharusnya mendapatkan sosialisasi lebih lanjut akan pentingnya dunia pendidikan bagi anak.
Pasalnya banyak anak yang lebih memilih mencari nafkah berkaca dari perilaku orang tua mereka.
Menurutnya, penghasilan perhari sangat menguntungkan dan akan tercukupi hidupnya selama melakukan praktik ini.
Hilangnya minat anak dalam belajar dapat merugikan bangsa apabila mereka tidak dapat tumbuh menjadi pemuda intelektual.
Generasi muda yang seharusnya belajar sepanjang hayat malah mencari untung sejak dini. Apabila permasalahan ini terus berlanjut, maka pola pikir yang terbentuk di daerah sekitar Jembatan Sewo adalah pemikiran material.
Dampak pada negara ini antara lain tidak adanya kaum muda intelek yang dapat mengubah kebiasaan-kebiasaan yang sering dinormalisasi oleh masyarakat sekitar sana.
Jika dilihat dari kacamata pendidikan, masyarakat sekitar Jembatan Sewo perlu mengembalikan tradisi sapu koin pada keadaan semula dalam upaya menjaga nilai simbolis dari Jembatan Sewo tersebut.
*Pembaruan Tradisi Apakah Perlu?*
Sebagai masyarakat yang peduli akan lingkungan dan kesejahteraan bersama, penting bagi kita untuk meninjau kembali praktik-praktik yang telah menjadi bagian dari kehidupan kita.
Kembali pada diri kita sendiri, apakah tradisi ini masih relevan? Adakah manfaat yang dapat diperoleh dari tradisi ini? Akankah sebanding dengan dampak negatifnya?
Pertanyaan paling utama, apakah terdapat cara untuk mengembalikan nilai-nilai tradisi dan menjadikannya lebih sesuai dengan norma masyarakat yang beradab dan peduli lingkungan?
Mengubah atau menyesuaikan tradisi bukan berarti mengkhianati warisan budaya kita. Sebaliknya, itu adalah langkah menuju pembaruan yang diperlukan untuk menjaga kelestarian budaya kita sembari mengakomodasi kebutuhan masa kini.
Versi yang lebih berkelanjutan dapat tercipta apabila terdapat campur pikiran antara masyarakat dengan pegiat lingkungan.
Misalnya, koin yang biasa dilempar diubah dengan bahan-bahan yang lebih ramah lingkungan. Solusi lainnya yakni mengadopsi prosesi ritual yang lebih kontemplatif daripada materi.
Dengan demikian, dapat ditemukan keseimbangan antara memelihara warisan budaya dan memastikan tidak terjadinya dampak kerusakan pada lingkungan dan masyarakat.
Pentingnya keberanian untuk mempertanyakan dan memperbarui tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat sosial, dengan begitu kita tidak hanya membentuk masa depan yang lebih berkelanjutan, tetapi juga memastikan bahwa warisan budaya Indonesia tetap hidup dan relevan bagi generasi yang akan datang.(*)
Penulis: Shabila Meidiana Utami
Mahasiswa PBSI FKIP UAD
Aktif di IMM PBII UAD*
Game Edukasi Wordwall sebagai Solusi Evaluasi Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Menyenangkan
Efektivitas Aplikasi Quiziz dalam Melakukan Asesmen Diagnostik Kognitif
Teaching at the Right Level (TaRL): Penyusunan Asesmen yang Berpihak pada Peserta Didik
Sosialisasi Pembuatan Ekoenzim oleh Mahasiswa KKN UAD Alternatif-94