Publikasi Minus Etika

Kamis, 09 Mei 2024 - 17:10:51


Sudaryanto
Sudaryanto /

Radarjambi.co.id-Belakangan, viral seorang profesor muda (berinisial KD) di sebuah PTS Jakarta, telah menerbitkan 160 artikel jurnal selama tahun 2024.

Angka 160 menjadi sorotan banyak pihak, termasuk sesama dosen. Selain itu, muncul dugaan sang profesor mencatut nama 24 staf pengajar di Universiti Malaysia Terengganu (UMT) dalam artikel-artikelnya itu.

Dari kasus ini, kita telisik terjadinya ketidakberesan urusan publikasi dosen kita selama ini.

Ketidakberesan urusan publikasi dosen kita bukanlah hal baru. Ia sudah terjadi lama sekali.

Tahun 2023 lalu, muncul laporan investigasi di media massa nasional tentang joki publikasi guna keperluan jabatan fungsional/jafung guru besar (GB).

Tahun-tahun sebelumnya, pernah tersiar berita profesor di sebuah PTS Bandung memplagiat artikel penulis di media massa Australia. Pendek kata, daftar ketidakberesan urusan publikasi dosen kita kian lama kian (bertambah) panjang.

Norma Kepatutan

Atas kasus profesor muda itu, kita sampaikan tiga catatan. Pertama, publikasi ilmiah bersinggungan dengan etika/norma akademik.

Dalam buku Panduan Operasional Penilaian Angka Kredit (PAK) Oktober 2019 (terbitan Kemendikbud), disebutkan norma kepatutan terkait PAK dosen.

Misalnya, dosen hanya boleh mengajukan satu buku ajar per tahun guna keperluan PAK. Demikian juga dosen hanya boleh mengajukan satu artikel jurnal per semester.

Terkait itu, diduga profesor muda berinisial KD tidak membaca dan memahami buku Panduan Operasional PAK Oktober 2019 tadi.

Jika yang bersangkutan membaca dan memahami buku terkait, pastinya tidak akan menerbitkan 160 artikel jurnal selama 3,5 bulan.

Dengan demikian, publikasi yang dilakukan profesor muda itu menabrak norma-norma kepatutan PAK. Terlebih dia melakukan pencatutan nama dosen UMT tanpa izin sekalipun.

Kedua, publikasi ilmiah bertalian dengan evaluasi kinerja dosen. Tiap semester, dosen penerima tunjangan sertifikasi dosen/serdos wajib mengisi Beban Kinerja Dosen (BKD) pada laman Sister-nya.

Khusus dosen jafung Lektor, Lektor Kepala, dan GB memiliki kewajiban khusus berupa (1) menulis buku ajar/buku teks dan (2) menulis publikasi ilmiah.

Dua kewajiban itu bersyarat minimum satu buah (1 buku dan 1 publikasi ilmiah) dan berdurasi tiga tahun lamanya.

Jujur saja, selama 7 tahun menjadi dosen penerima tunjangan serdos, jumlah publikasi ilmiah penulis belum sebanyak 160 buah.

Jadi, dari aspek evaluasi kinerja dosen, publikasi ilmiah sebanyak 160 buah betul-betul tidak wajar.

Secara ideal, dosen penerima tunjangan serdos cukup memenuhi kewajiban khusus tadi. Dengan istilah lain, dosen tersebut tergolong dosen sedang-sedang saja.

Artinya, dia tidak produktif sekali, tapi juga tidak mandul sama sekali.
Ketiga, publikasi ilmiah berkaitan dengan insentif.

Seorang profesor pernah bercerita, dirinya mendapatkan insentif Rp 25 juta karena artikelnya terbit di jurnal terindeks Scopus Q1. Tentu, tidak ada yang salah pada cerita profesor itu.

Tatkala seorang dosen memublikasikan artikelnya di jurnal terindeks Scopus dan memperoleh insentif, hal itu sah-sah saja.

Yang jadi sorotan ialah, jika dosen itu melakukan pelanggaran etika publikasi demi memperoleh insentif belaka.

Faktor Insentif?

Insentif merupakan salah satu faktor penyebab seorang dosen produktif menulis publikasi ilmiah. Dua faktor lainnya ialah aktualisasi keilmuan dan kenaikan pangkat.

Kita tak paham apa faktor utama penyebab seorang dosen menulis publikasi ilmiah sebanyak 160 buah? Apakah faktor aktualisasi keilmuan, kenaikan pangkat, atau insentif? Agaknya, faktor terakhir yang dominan dilakukan sang profesor sehingga dia abai terhadap etika/norma akademik.

Akhir kata, ada banyak hikmah dari kasus sang profesor muda itu. Salah satu hikmahnya ialah publikasi ilmiah bertalian erat dengan etika/norma akademik, evaluasi kinerja dosen, dan insentif.

Etika/norma akademik menjadi hal pertama sekaligus utama bagi dosen. Terlebih, jika dosen itu telah meraih jafung tertinggi, yaitu GB atau profesor. Tidak sepantasnya seorang GB atau profesor melakukan publikasi ilmiah minus etika/norma akademik.(*)

 

Penulis : Sudaryanto, M.Pd., Dosen FKIP UAD; Mahasiswa S-3 UNY; Divisi Humas Asosiasi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia (Adobsi) 2024-2029; Anggota PRM Nogotirto